Awal munculnya cerita Panji dimulai pada zaman Kerajaan Kediri, Cerita Panji berlanjut di zaman Kerajaan Majapahit dan menjelma sebagai alat diplomasi budaya Majapahit yang hingga kini persebarannya telah ada di beberapa tempat di Jawa, Bali, Kalimantan, Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar dan Filipina.

JOMBANG – Perhelatan Festival Panji Nusantara 2019 kali ini diselenggarakan di lima kota di Jawa Timur (9/7-12/7). Festival ini merupakan kali ketiga yang digelar, sementara tahun ini mengangkat tema Transformasi Budaya Panji. Kegiatan tersebut merupakan kerjasama Dinas Kebudayaan dan Provinsi Jawa Timur (Jatim), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia dan pemerintah kota/kabupaten yang menjadi tuan rumah acara tersebut didukung oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan, Mojokerto.

Ketua Tim Kurator Festival Panji Nusantara 2019, Henri Nurcahyo, menjelaskan bahwa Budaya Panji sudah menjadi bagian dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat nusantara. Terlebih cerita Panji sarat dengan filosofi hubungan kehidupan masyarakat biasa dengan kaum bangsawan yang mencoba untuk berbaur. Latar belakang kegiatan ini pun, juga erat kaitannya dengan kisah-kisah Panji yang juga tertera pada pahatan relief percandian di Jatim. Bahkan beberapa tinggalannya, menjadi inspirasi seni topeng Malangan.




“Cerita Panji yang berasal dari Jatim dan menyebar ke berbagai daerah hingga mancanegara merupakan sastra klasik tingkat dunia. Meski beragam cerita Panji yang tersebar, semangatnya sama yaitu pengembaraan dan kemenangan sang pahlawan yang hidup dalam budaya Jawa Kuno, bukan budaya yang berasal dari India,” kata Henri Nurcahyo ketika di konfirmsi melalu telefon.

Awal munculnya cerita Panji dimulai pada zaman Kerajaan Kediri, Cerita Panji berlanjut di zaman Kerajaan Majapahit dan menjelma sebagai alat diplomasi budaya Majapahit yang hingga kini persebarannya telah ada di beberapa tempat di Jawa, Bali, Kalimantan, Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar dan Filipina. Bahkan pada tahun 2013, Thailand menjadi tuan rumah Festival Panji Internasional yang menyajikan kesenian berlatar Cerita Panji dari negara-negara di dunia.



Cerita Panji tidak hanya bercerita mengenai kisah percintaan belaka, melainkan memiliki nilai acuan kepahlawanan, penghargaan kemanusiaan, mengetengahkan etika pergaulan, dan diplomasi pergaulan. Hal itu terlihat pada tokoh Raden Inu Kertapati atau Panji dalam kisah-kisahnya. Tokoh tersebut pada dasarnya selalu menjunjung nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan.

“Dalam perkembangannya, budaya Panji mengalami transformasi yang dimaknai sebagai pengalihan dalam hal bentuk, bahasa, waktu, area, lintas generasi, dan sebagainya. Selain itu juga melakukan revitalisasi untuk menggali nilai-nilai Panji yang relevan untuk masa kini dan masa datang. Maka, dalam festival kali ini dicoba untuk menghadirkan budaya Panji dalam gelombang transformasi tersebut. Sejumlah karya yang dihadirkan, baik visual maupun pertunjukan, ada yang masih mengedepankan wajah tradisi namun sejumlah tampilan lainnya betul-betul kontemporer,” ujar Henri Nurcahyo yang juga sebagai penulis buku Memahami Budaya Panji ini.

Dirinya memberi contoh koreografer asal Yogyakarta, Miroto, yang mempertunjukkan milenial-kontemporer. Kembul Nuryanto dari Surakarta dengan karya kontemporernya, dan Bali menghadirkan karyanya yang klasik. Lain lagi dengan karya Ida El Bahra dari Sulawesi Selatan menyajikan garapan cerita lokal yang memiliki motif Panji. Ada pola-pola petualangan, penyamaran, percintaan, konflik, lalu happy ending.



Selain penampilan dari luar Jatim, tambah Henri Nurcahyo, sejumlah pertunjukan Jatim juga beragam. Seni pertunjukan klasik diwakili oleh pergelaran Wayang Gedhog alias Wayang Panji dari Kediri, Reog Kendang Tulungagung, juga Jaranan. Sedangkan garapan transformasi dilakukan oleh Teater Tombo Ati dari Jombang yang mementaskan Teater Panji Angreni dengan pendekatan semi-kontemporer.

Dalam hal penyelenggaraan, festival kali ini juga merupakan ajang transformasi dari penyelenggara pemerintah kemudian melibatkan komunitas pelaku Budaya Panji. Transformasi sesungguhnya bukan hal yang asing dan mengada-ada, karena sesungguhnya Budaya Panji itu sendiri adalah transformatif.  aditya eko
Lebih baru Lebih lama