Mantan Kepala Dusun Sudimoro sekaligus penggagas pendirian tugu, H. Samsul Hadi mengatakan bahwa tidak ada cerita khusus yang heroik layaknya kisah perjuangan yang lazim dan banyak diceritakan. Cerita di balik pendirian tugu tersebut hanyalah sebagai penanda sekaligus pengingat bahwa pernah ada tentara gerilya yang tidak diketahui namanya gugur di wilayah Dusun Sudimoro.


MEGALUH – Keberadaan sebuah monumen atau tugu peringatan selalu dibarengi dengan pelbagai kisah yang melatarbelakangi. Tidak terkecuali di Jombang, cukup banyak monumen yang sengaja dibangun untuk menandai atau mencatat sebuah cerita perjuangan kemerdekaan bangsa. Mulai dari Monumen Winara di pemandian Sumberboto, Mojowarno hingga Mastrib di Jalan KH. Wahid Hasim.

Selain itu ada juga di Desa Sudimoro, Kecamatan Megaluh. Sebuah monumen yang menggambarkan pejuang dengan membawa bendera merah-putih diikatkan pada sebilah bambu runcing. Penuh kegaagahan mengacungkan tangan ke langit. Terletak tepat di persimpangan menuju ke bendungan karet Sudimoro.

Mantan Kepala Dusun Sudimoro sekaligus penggagas pendirian tugu, H. Samsul Hadi mengatakan bahwa tidak ada cerita khusus yang heroik layaknya kisah perjuangan yang lazim dan banyak diceritakan. Cerita di balik pendirian tugu tersebut hanyalah sebagai penanda sekaligus pengingat bahwa pernah ada tentara gerilya yang tidak diketahui namanya gugur di wilayah Dusun Sudimoro.



Baca Juga : Desa Mojokambang, Bandar Kedungmulyo Kesederhanaan Masyarakatnya

Samsul Hadi melanjutkan bahwa kejadian gugurnya tentara gerilya tersebut berlangsung di sekitar masa-masa Agresi Militer yang dilakukan oleh Belanda pasca kemerdekaan. Saat itu rumah-rumah warga juga banyak yang dibakar. Untuk bertahan, masyarakat bersama tentara-tentara gerilya terjun berperang melawan penjajah. Hingga suatu waktu, terjadi sebuah penembakan oleh penjajah yang menewaskan satu orang tentara pejuang.

“Posisinya saat itu kalau dikonversi ke lokasi yang sekarang ada di selatan SD Sudimoro. Arah yang ditunjuk oleh patung yang ada di atas tugu itulah lokasi tempat gugurnya tentara itu,” ujar H. Samsul Hadi.

Seingat Pak Wo Sam, sapaan akrab Samsul Hadi, tugu setinggi lima meter dan seluas sekitar satu setengah meter persegi itu selesai dibangun pada tahun 1980. Bahan baku utamanya batu-bata dan semen seperti layaknya pembangunan rumah atau tugu pada umumnya. Namun yang menjadikan tugu itu berdiri kokoh adalah bahan pondasi yang menggunakan beton dan besi yang kuat.

Terkait siapa sosok pejuang yang menjadi representasi patung yang ada di atas tugu, kakek lima orang cucu itu mengatakan tidak pernah ada identitas yang jelas mengenai siapa dia. Sehingga jika ada orang yang mengartikan sosok patung pejuang itu sebagai tentara yang gugur karena tertembak penjajah Belanda seperti kisah yang sudah diceritakan, sangat diperbolehkan. Begitu pula terkait nama, sebagai yang menelurkan gagasan, membuat dan membangun tugu, Samsul Hadi tidak pernah menyematkan satu nama khusus. Sehingga saat ini masyarakat lebih mengenal tugu peringatan tersebut sebagai Tugu Perempatan Sudimoro.

“Terpenting orang-orang bisa mengingat bahwa di daerah sini pernah menjadi salah satu tempat terjadinya peperangan antara masyarakat dan Belanda pada masa Agresi Militer dan ada seorang pejuang yang gugur karena melindungi kedaulatan negara. Sebagai warga seharusnya kita juga tetap menghargai dan mengingat jasa perjuangannya. Meski secara resmi ceritanya tidak tercatat dalam sejarah,” urai H. Samsul Hadi. fitrotul aini.
Lebih baru Lebih lama