Dalam mendirikan sebuah LKP pun diharapkan pemilik atau pengelola sudah harus terlebih dulu memperhatikan kebutuhan pasar atau secara lebih luas lagi melihat potensi daerah.

JOMBANG –
Dalam masa persai
ngan global seperti saat ini, tren pendidikan mengalami pergeseran. Tidak hanya selalu bergantung pada pendidikan formal yang dibuktikan dengan ijazah tetapi juga bisa dilengkapi dengan kompetensi keterampilan yang beragam bentuknya.

Untuk memenuhi kebutuhan akan kompetensi keterampilan tersebut pemerintah melalui Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan (Ditbinsuslat), Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUD dan Dikmas), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) mendirikan Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP). Melalui LKP diharapkan masyarakat mendapatkan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

Untuk mendirikan sebuah LKP, pengelola tentunya harus memenuhi berbagai persyaratan baik secara izin pendirian maupun izin operasional. Izin pendirian dilakukan melalui badan perizinan (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu) yang diajukan secara online. Sementara izin operasional berada di bawah kewenangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) setempat yang kemudian juga melakukan survei lapangan kemungkinan pengajuan pendirian lembaga tersebut dapat ditindaklanjuti atau tidak.


Baca Juga : Paramasastra Jawa

“Pemilik atau pengelola LKP tidak harus orang yang menguasai kompetensi keterampilan yang diajarkan dalam lembaganya, tapi bisa hanya seseorang yang cakap dalam bidang manajerial. Baru dalam kegiatan pembelajaran, pemilik atau pengelola merekrut pengajar/instruktur/tutor yang sesuai dengan bidang keterampilan serta harus memiliki sertifikat keterampilan,” jelas Koordinator Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Non Formal (PAUD dan PNF) Disdikbud Kabupaten Jombang, Winarno.

Pria bertubuh tegap itu lantas menjabarkan bahwa di Kabupaten Jombang terdapat lebih kurang seratus lima puluh LKP, namun hanya sekitar empatpuluh lima lembaga yang diakui statusnya oleh Bidang PAUD dan PNF Disdikbud Kabupaten Jombang. Hal ini terkait dengan ketertiban lembaga dalam memenuhi kelengkapan administrasi yakni Dapodik. Lembaga yang sudah lebih dari satu tahun pelajaran tidak memperbarui Dapodiknya akan dinyatakan tidak aktif dan tidak bisa lagi mengakses program kursus dan pelatihan yang diperuntukkan melalui Disdikbud. Ketaatan pengisian administrasi melalui Dapodik ini juga bisa menjadi salah satu tolak ukur apakah sebuah LKP dapat dikatgorikan sebagai lembaga yang berkualitas atau tidak.

Dalam mendirikan sebuah LKP pun diharapkan pemilik atau pengelola sudah harus terlebih dulu memperhatikan kebutuhan pasar atau secara lebih luas lagi melihat potensi daerah. Sehingga keberadaan LKP diharapkan bisa membantu menyediakan tenaga kerja terampil yang bisa memenuhi kebutuhan kerja daerah. Disisi lain dengan telah dilakukannya analisis diharapkan mampu meningkatkan keterserapan tenaga kerja sehingga tujuan utama untuk mengurangi tingkat pengangguran di masyarakat dapat tercapai.

Disdikbud Kabupaten Jombang ditambahkan Winarno, ketika LKP sudah melaksanakan sebuah program secara berkala dilakukan peninjauan terhadap program yang berjalan. Minimal tiga kali selama masa program berlangsung, pihak Disdikbud melakukan kunjungan serta monitoring pelaksanaan program. Kuesioner terhadap kesesuaian pelaksanaan program yang dikeluarkan Ditbinsulat, Ditjen PAUD, dan Dikmas, Kemdikbud RI menjadi dasar pelaksanaan monitoring. Hal ini sekaligus menjadi langkah Disdikbud Kabupaten Jombang sebagai kepanjangan tangan Ditbinsulat, Ditjen PAUD, dan Dikmas, Kemdikbud RI untuk memastikan kualitas pelaksanaan program pada lembaga berlangsung maksimal serta sesuai tujuan dan sasaran.


“Karena pada dasarnya pendirian LKP memang bertujuan untuk membantu mengurangi pengangguran, memberikan bekal keterampilan pada fresh graduate agar lebih siap bersaing dalam dunia kerja. Disisi lain, LKP juga hadir di masyarakat untuk memberikan ruang guna mengembangkan bakat serta minat para ibu rumah tangga, generasi muda yang masih belum memperoleh pekerjaan dengan melakukan pelatihan guna memberdayakan potensi yang dimiliki. Sehingga ketika usai menempuh program dan dinyatakan lulus di LKP, masyarakat bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai, atau melanjutkan serta mengembangkan secara pribadi di lingkungannya,” ungkap Kepala Bidang Pembinaan PAUD dan Dikmas, Disdikbud Kabupaten Jombang, Sri Retno Ponconingtyas, S.Pd., M.Si.

Kualifikasi dan Kualitas LKP

Dalam kegiatan operasionalnya sebagai lembaga pendidikan di bawah naungan Kemendikbud, LKP juga dituntut untuk memenuhi delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Meski harus diakui bahwa pemenuhannya tidak akan semaksimal pada lembaga pendidikan formal. Sumber dana yang mayoritas hanya didapat ketika ada program kegiatan dirasa tidak mampu mendukung operasional harian LKP. Sehingga untuk memenuhi standar misalnya sarana dan prasarana pengelola harus pandai melihat peluang. Diantaranya yang bisa dilakukan adalah menjual hasil karya para peserta didik.

Hasil penjualan karya, selain keterserapan lulusan menjadi sebuah tolak ukur kualitas lembaga. Dengan semakin banyaknya hasil karya peserta didik yang diminati, maka kualitas pembelajaran pada LKP berjalan dengan baik.

Secara lebih spesifik mengenai proses pembelajaran yang dilakukan di LKP, meski berstatus sebagai lembaga pendidikan non-formal LKP juga memiliki acuan serta standar dalam pencapaian pembelajaran. Setiap kegiatan yang dilakukan berdasarkan pada kurikulum yang telah dibuat. Kompetensi peserta didik dalam memahami materi pelatihan pun juga distandardisasi melalui Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

Hanya saja karena LKP dibentuk untuk membekali peserta didiknya dengan keterampilan yang aplikatif, maka kurikulum, program, metode, dan hasil pembelajaran yang dilakukan di LKP secara spesifik lebih diarahkan pada pengembangan kemampuan peserta didik dengan penekanan dan penguasaan keterampilan, standar kompetensi, mengembangkan sikap kewirausahaan serta pengembangan kepribadian profesional. Sehingga dalam penyusunannya pun lebih luwes dan fleksibel selama tujuannya bisa tercapai.

“Kurikulum yang dilaksanakan oleh LKP bisa disusun atau dikembangkan sendiri oleh lembaga namun tetap mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang dikeluarkan oleh Ditbinsulat, Ditjen PAUD dan Dikmas, Kemdikbud RI,” ungkap Koordinator LKP Kabupaten Jombang, Dwi Purnomo Sidi.

Lebih lanjut, SKL yang dikeluarkan oleh Ditbinsuslat, Ditjen PAUD dan Dikmas, Kemdikbud RI juga berbasis pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). SKKNI merupakan uraian kemampuan yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja minimal yang harus dimiliki seseorang untuk menduduki jabatan tertentu yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI). Sehingga SKL yang tersusun dimungkinkan telah sesuai dengan kondisi yang ada dalam dunia kerja.

Karena setiap keterampilan memiliki kecirian serta kompetensi yang harus dicapai masing-masing, maka SKL untuk tiap keterampilan pun berbeda satu sama lain. Bahkan antara kursus/pelatihan dengan program keterampilan yang serupa tetapi jenjang atau jumlah pelajaran berbeda, rumusan SKL yang digunakan dapat berbeda pula.

Namun yang harus diakui bahwa Ditbinsuslat, Ditjen PAUD, dan Dikmas, Kemdikbud RI belum mampu menyediakan SKL untuk semua jenis program maupun level keterampilan. Untuk itu LKP dapat membuat SKL sendiri bila belum tersedia atau menyusun SKL sesuai dengan paket program yang diselenggarakan dengan mengacu pada SKL acuan yang sudah ada dan diperluas sesuai kebutuhan.

Direktur LKP Bangun Karya, Mahmudin S.E mengemukakan, “Sebagai LKP yang bergerak di bidang keterampilan jahit upper sepatu, untuk SKL peserta didik kami membentuk dan mengembangkannya sendiri dengan mengacu pada SKKNI.”

Selain berdasar pada SKL yang mengacu pada SKKNI, pengontrolan kualitas pembelajaran dalam LKP juga dapat bekerjasama langsung dengan Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI) yang membutuhkan tenaga kerja hasil dari kursus dan pelatihan yang dilakukan oleh lembaga. Perusahaan diberikan kesempatan untuk melakukan kunjungan sekaligus observasi dan supervisi pada LKP yang menggelar pembelajaran sesuai dengan kebutuhannya.

Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Buku Bimbingan Teknis Peningkatan Manajemen LKP yang membahas mengenai SKL LKP. SKL yang ditetapkan oleh lembaga dapat disusun dengan mengacu pada standar khusus dan berdasarkan masukan dari DUDI atau berdasarkan job order, surat permintaan kerja, analisis informasi lowongan kerja, dan yang lain. Standar DUDI biasanya dirumuskan oleh perusahaan tertentu secara spesifik atau oleh Asosiasi Profesi.

Ditambahkan oleh Mahmudin, LKP Bangun Karya sebagai salah satu LKP yang memberikan kursus dan pelatihan di bidang jahit sepatu yang memerlukan pembiasaan intensif, waktu belajarnya pun berbeda dengan LKP yang lain.

“Karena menuntut ketepatan, kecepatan, jarak, dan langkah dalam menjahit upper sepatu, peserta didik disini rata-rata intensif mengikuti tujuh hingga delapan jam pembelajaran selama enam hari. Sehingga untuk satu kali program pembelajaran, bisa ditempuh atau diselesaikan oleh peserta didik dalam jangka waktu satu hingga dua bulan,” ungkap Mahmudin.

Selama menjalani proses pembelajaran, peserta didik tentu didampingi oleh pengajar/instruktur/tutor yang memberikan materi, mengarahkan, sekaligus memantau kegiatan praktik. Untuk bisa menjadi tutor atau tenaga pendidik di LKP yang diutamakan adalah memiliki keterampilan atau keahlian di bidangnya, sehingga kompetensi pendidik tidak hanya pada pendidikan formal namun didukung pula oleh kemampuan lain yang dapat ditempuh melalui pendidikan non-formal seperti pelatihan dan kursus.

Menjadi seorang pendidik di LKP juga harus secara terus menerus meningkatkan dan memgembangkan kompetensinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Memperbarui pengetahuan mengenai inovasi yang berkembang dalam DUDI agar bisa menciptakan peserta didik yang siap bersaing.

Untuk menentukan ketercapaian belajar sekaligus penentuan kelulusan peserta didik, LKP akan mengikutikan peserta didiknya dalam uji kompetensi. Pelaksanaan uji kompetensi bagi peserta didik LKP bisa dilangsungkan secara bersama-sama di Tempat Uji Kompetensi (TUK) atau hanya di lembaga masing-masing.


Menurut Dwi Purnomo Sidi, pelaksanaan ujian di TUK dan di lembaga sendiri secara garis besar sama-sama mengukur kemampuan warga didik dalam memahami materi pelatihan. Hal yang menjadikan berbeda adalah dewan penguji serta sertifikat hasil yang dikeluarkan pasca uji kompetensi. Dewan penguji di TUK berasal asesor utusan dari Kemdikbud sementara jika hanya di lingkup lembaga penguji hanya dari tutor lembaga. Pun sertifikat yang dikeluarkan, bagi yang mengikuti uji kompetensi di TUK diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) Pengelola Lembaga Kursus dan Pelatihan di bawah naungan Ditbinsuslat, Ditjen PAUD, dan Dikmas, Kemdikbud RI.

Selain melalui LSK, uji kompetensi peserta didik LKP juga dapat dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang berada di bawah naungan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Pilihan ini diambil jika ada jenis keterampilan yang tidak atau belum memiliki LSK sendiri.

“Karena selama ini LKP yang ada tidak hanya mengacu pada standar yang ditetapkan oleh Kemendikbud melainkan juga pada Kemnaker. Namun keduanya tidak lantas menjadi saling bersaing atau bahkan menjatuhkan melainkan saling mengisi satu sama lain. Ketika LKP akan mengadakan ujian dan sudah ada LSK-nya maka uji kompetensi cukup mengikuti LSK. Namun jika LSK-nya belum tersedia, bisa mengikuti melalui LSP. Tidak perlu kedua-duanya diikuti,” ungkap Dwi Purnomo.

Kualitas dari sebuah lembaga selain ditinjau dari keberhasilan lulusan juga dinilai melalui sistem akreditasi lembaga. Sejak tahun 2012 Badan Akreditasi Nasional (BAN) sudah mulai melakukan akreditasi untuk lembaga pendidikan non-formal termasuk pada LKP. Tujuannya agar LKP tetap bisa mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitasnya di tengah tuntutan DUDI serta masyarakat yang semakin maju seiring dengan perkembangan zaman.

Perkembangan dan pemberdayaan atas serapan Sumber Daya Manusia (SDM) tersebut sungguh dirasakan oleh Does University Yogyakarta. Tim Majalah Suara Pendidikan Jombang berkesempatan melakukan wawancara melalui telepon dengan Penanggungjawab bagian Administrasi Does University Yogyakarta, Viola Puspa Rani. Does University merupakan salah satu lembaga belajar yang sukses mengambangkan minat dan bakat peserta didik sesuai dengan kemampuan diri yang diminati.

“Berdasarkan atas data dan juga pengalaman empat generasi yang sudah lulus, mayoritas peserta didik langsung mendapat rekomendasi untuk menjadi salah seorang bagian dari beberapa industri yang sudah mengenal Does University,” terang Viola Puspa Rani.

Sehingga output dari Does University dipercaya mumpuni dalam keterampilannya dan kemampuan. Penilaian tersebut berdasarkan atas bentuk ikatan kerjasama. Lulusannya juga mampu menghasilkan karya yang unggul serta tak diragukan dipasarnya.

Perempuan yang juga berprofesi sebagai animator ini juga menambahkan, “Proses yang dilalui oleh seluruh peserta didik selama satu setengah tahun dengan bersedia dikarantina. Sistem belajar terdahulu hanya satu tahun dan terbagi menjadi masing-masing enam bulan untuk praktik dan juga teori. Tetapi waktu ini dirasa sangat kurang sebagai pendalaman materi. Maka terdapat perubahan di tahun ini. Saat ini menerapkan satu setengah tahun, penguasaan materi sembilan bulan dan setelah itu dilepas praktik kerja.”

Artinya dalam prosesnya ini peserta didik secara mandiri dilepas untuk belajar mengahadapi klien tanpa adanya campur tangan pihak Does University. Namun sebelum dilepas secara mandiri, pihaknya melatih cara presentasi yang baik. Hal ini direalisasikan dengan mengajak kerjasama SMA di area terdekat Does University. Setiap seminggu sekali pihaknya mengirimkan beberapa peserta didik guna mengajarkan materi tentang animasi.

Pembelajaran bersifat non profit atau gratis ini semakin berkembang dan memiliki peminatnya tersendiri. Jika ingin bergabung ke Does University, syarat dan ketentuannya pun tak seformal lembaga pada umumnya. Pendaftar hanya mengirimkan biodata, karya jika memiliki, dan alasan mengapa ingin bergabung di Does University, serta terpenting menyertakan surat izin orang tua untuk diperbolehkan dikarantina selama proses kesepakatan belajar di Does University, terakhir kirim ke email.

“Calon peserta didik yang memiliki karya lebih diutamakan, sebab akan mempermudah dalam mencapai target keterampilannya. Melihat dari sisi hasilnya juga semakin matang dan waktu yang dibutuhkan akan berbeda dengan yang memulai dari nol,” ungkapnya.

Does University memiliki komitmen, jika mempunyai hal yang disuka, pelajarilah karena setiap individu memiliki kemampuan. Slogan yang disematkan oleh Does University kepada seluruh SDM dan juga peserta didiknya ialah, ‘Mandiri dalam Bekerja, Merdeka dalam Berkarya’. Tekuni yang disukai, tak perlu memecah fokus serta tidak ada batasan untuk berkarya.

Guna menjaga kualitas Does University dan peserta didik, lembaga yang berdiri sejak tahun 2015 ini mendisiplinkan diri untuk setidaknya menciptakan dan memproduksi satu karya dalam satu hari. Bahkan berkembang hingga kelipatannya yang tentu memiliki nilai estetik seni yang mampu menohok penikmatnya.

Lembaga yang berawal dari pemberdayaan komunitas band anak punk yang tersekesan negatif di mata masyarakat ini, kini menyelaraskan perspektif itu melalui karya dari minat, bakat terarah anak jalanan dan anak punk. Kini Does University justru semakin dikenal dan pendaftarnya membludak bahkan dari luar komunitas.

“Total keseluruhan dari generasi satu hingga enam terdata lebih kurang 180. Generasi keenam yang masih belajar berjumlah 30 peserta didik dari hasil seleksi 600 pendaftar. Sedikitnya pengambilan peserta didik tersebut terkait dengan fasilitas,” jelas Viola Puspa Rani. chicilia risca / fitrotul aini.
Lebih baru Lebih lama