Penggerak PKK Kabupaten Jombang bersinergi dengan Polres Jombang dan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Jombang mengadakan kegiatan sosialisasi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sosialisasi tersebut dilaksanakan di SMP Negeri 1 Jogoroto dengan melibatkan peserta didik dan warga sekolah.

JOGOROTO – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengingatkan, kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) setiap tahun semakin meningkat. Seperti yang dilansir dari laman sindonews.com, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Vennetia R Dannes mengungkapkan, berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang di-launching pada 6 Maret 2019 menyebutkan jumlah kasus KtP tahun 2019 sebesar 406.178.

Jenis Ktp yang paling menonjol adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga/Ranah Personal (KDRT/RP) yang mencapai angka 71% (9.637). Posisi kedua KtP di ranah komunitas dengan persentase 28% (3.915) dan terakhir KtP di ranah negara dengan persentase 0,1% (16). Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik sebanyak 3.927 kasus (41%), kemudian kekerasan seksual sebanyak 2.988 kasus (31%), psikis 1.658 kasus (17%), dan ekonomi sebanyak 1.064 kasus (11%).

Menyikapi permasalahan tersebut, Penggerak PKK Kabupaten Jombang bersinergi dengan Polres Jombang dan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Jombang mengadakan kegiatan sosialisasi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sosialisasi tersebut dilaksanakan di SMP Negeri 1 Jogoroto dengan melibatkan peserta didik dan warga sekolah.


Baca Juga : Sekolah Rapuh Semangat Tangguh

Ketua tim Penggerak PKK Kabupaten Jombang, Wiwin Isniati Sumrambah mengatakan, “KDRT merupakan kejadian yang merusak sendi-sendi utama ketahanan keluarga dengan korban terbanyak perempuan dan anak. Dampaknya pun juga akan terbawa dalam siklus kehidupan dan tumbuh kembang anak dalam rumah tangga. Oleh karena itu, meskipun sulit pencegahan KDRT bisa dimulai dari keluarga itu sendiri.”

Faktor dominan penyebab KDRT bersifat kolektif atau multifaktor, tambahnya. Oleh karena itu, solusi yang diperlukan juga terdiri dari banyak faktor dan perlu melibatkan banyak pihak misalnya kesiapan dalam membangun rumah tangga. Selain itu, kedewasaan calon pengantin, kesiapan ekonomi, pengetahuan masing-masing pasangan, lingkungan keluarga, lingkungan sosial, budaya dan lain-lain.


“Perlu diingat bahwa perhatian khusus untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak membutuhkan upaya yang serius di bidang hukum dan budaya. Produk hukum terkait pengaturan tata kelola dan penggunaan internet juga harus memasukkan dimensi pencegahan kekerasan terhadap perempuan, bukan semata-mata hanya dalam konteks pornografi,” ujar Wiwin Isniati Sumrambah.

Sementara itu, Kepala SMP Negeri 1 Jogoroto, Rudy Priyo Utomo, S.Pd., M.Pd menjelaskan bahwa, sekolah mempunyai peran besar dalam mencegah kekerasan pada anak. Hal ini juga sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

“Sosialisasi ini sangat penting untuk meningkatkan komitmen dan mendorong warga sekolah agar beperan lebih aktif untuk bersama melindungi anak. Sebab, pemenuhan hak anak harus dilakukan secara holistik agar terwujud anak Indonesia yang terlindungi, sehat fisik dan mental tanpa kekerasan,” ungkap pria yang kerap disapa Yoyok tersebut.

Pendekatan yang dapat diterapkan guru dan tenaga pendidik dalam menumbuhkan kedisiplinan pada diri peserta didik tanpa kekerasan, yakni melalui disiplin positif. Guru mempunyai kewenangan yang cukup besar untuk membentuk anak. Penerapan disiplin positif sebagai budaya mendorong kemampuan anak dalam mengelola perilakunya secara positif dengan membangun nilai kedisiplinan secara mandiri, bukan melalui kekerasan atau hukuman.

“Penting bagi pengawas sekolah, kepala sekolah, komite sekolah dan guru-guru untuk memahami disiplin positif sehingga dapat membangun pembelajaran dan menciptakan lingkungan sekolah tanpa kekerasan, dan penerapannya harus dilakukan secara konsisten. Sebab anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah. Jadi melalui sosialisasi ini saya pesan, jangan sampai ada potensi kekerasan terjadi di lingkungan sekolah,” pesan Rudy Priyo Utomo.

aditya eko
Lebih baru Lebih lama