Hingga kini, masyarakat masih sangat menghargai bentuk tradisi yang berkembang. Masih dipercaya, bahwa perlu adanya prosesi keliling desa layaknya seperti pagelaran karnaval bagi salah satu masyarakat yang memiliki hajad atau acara pernikahan. Satu rombongan pengantin perempuan dan pihak laki-laki dengan memutar bekas lokasi adanya pagar banon secara bersama jika melintas Bedander. - Sekertaris Desa Sumbergondang, Iswandi -

KABUH – Sebuah nama selalu memiliki arti serta defenisi sehingga disepakatilah sebagai identitas. Mengulas arti sebuh nama, satu diantaranya ialah nama desa yang memiliki makna bahkan sejarah hingga akhirnya dikenal.

Tim Majalah Suara Pendidikan menyisir ke wilayah Utara Kabupaten Jombang, tepatnya di Dusun Bedander, Desa Sumbergondang, Kabuh. Dusun Bedanser memiliki sejarah yang penting dalam cerita Kerajaan Majapahit kala itu.

Berdasarkan ulasan dari Sekertaris Desa Sumbergondang, Iswandi menceritakan dahulu terdapat pagar batu banon yang mengelilingi di tengah dusun. Pagar tersebut membentuk huruf ‘O’ dengan berdasarkan dari penuturannya, para leluhur terdahulu menggambarkan jika terdapat pemimpin Kerajaan Majapahit yang melarikan diri dan singgah ke Dusun Bedander dan membangun tempat tinggal keraton. Letak lokasi Kabuh ini dinilai sangat strategis, karena akses yang dekat jika ke arah Tuban serta Kediri.

Baca Juga :
Belajar Dari Lingkungan Sekitar

Desa yang dihuni oleh 431 Kepala Keluarga (KK) ini secara fisik tak memiliki peninggalan dalam bentuk visual petilasan. Jika ditelusuri berdasarkan petutur dari para leluhur, justru asal usul Dusun Bedander yang menjadi lambang dan arti. Sehingga berkembanglah cerita sejarah yang diambil dari makna bentuk bangunan tembok serta disebut pagar banon. Pagar tembok tersebut membentuk lingkaran yang berada pada tengah wilayah Dusun Bedander. Tetapi secara visual bangunan ini berubah menjadi bangunan rumah masyarakat.

“Dusun Bedander terbilang sudah cukup tua jika menghitung usia, terbukti benda yang dianalisis dari penumuan terdahulu di dalam tengah pagar. Terdapat batu yang berbentuk plemahan pintu atau alas kerangka pintu. Kini batu atau yang biasa disebut dorpel tersebut diletakkan di rumah Ngateno (salah satu warga di desa setempat),” ulas Iswandi.


Hingga kini, masyarakat masih sangat menghargai bentuk tradisi yang berkembang. Salah satunya, ketika terdapat masyarakat yang memiliki acara misal saja mengadakan pernikahan. Satu rombongan pengantin perempuan dan pihak laki-laki untuk wajib mengelilingi bekas lokasi pagar banon. Meski bukan masyarakat wilayah tersebut yang memiliki acara namun lokasi pelaksanaan melewati dusun tersebut, juga harus mengelilingi layaknya seperti pagelaran karnaval.

“Proses tersebut juga diikuti dengan membawa suguhan yang sering disebut sajen. Berisi sirih, jarum, koin, batang padi kering yang diikat, wewangian menyan, dupa yang diletakkan pada piringan daun yang dibentuk oval. Kemudian diletakkan pula dibeberapa titik tertentu yang dianggap sakral. Bentuk proses ini merupakan pelestarian budaya setempat yang wajib dijaga keberadaannya,” ungkap Kepala Desa Sumbergondang, Paejo, S.E.

Berdasarkan atas sejarah yang berkembang hingga kini, keberadaan pagar banon juga terdapat kesinambungan sejarah dengan Makam Jladri yang terletak di Dusun Gondong serta masih dalam wilayah Desa Sumbergondang. Disana terdapat punden begitu masyarakat menyebutnya. Pengunjung akan melihat sembilan makam yang sebagian terpisah letaknya. Di atas puncak bukit terdapat delapan makam dan sedikit jauh ke bawah jurang, ada satu makam.

Setiap satu kali setahun area Makam Jladri dipergunakan sebagai tempat pertemuan untuk sedekah desa sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta dengan doa dan makan bersama. Sedekah dilakukan setelah panen padi dilaksanakan, jika tahun ini pada Juli lalu. Berdasarkan ceritanya, lokasi ini dahulu tempat berundingnya para wali. Sejak dahulu tempat ini terjaga bentuknya yakni dikelilingi oleh tumpukan batu bata yang tersusun rapi dengan susunan simetris pohon beringin yang tinggi besar. Kini Makam Jladri dijaga oleh juru kunci generasi ke enam yakni, Wahiti. Menurutnya, lokasi tersebut sudah ada sejak 350 tahun lalu.

“Nama Makam Jladri ini berasal dari Bahasa Jawa ialah Njeladreni, yang artinya membuat sebuah aturan atau membuat suatu keputusan bersama-sama. Karena tempat tersebut sebagai tempat pertemuan diskusi, sehingga nama tempat yang disematkan guna mengenangnya,” jelas Paejo. chicilia risca
Lebih baru Lebih lama