Bentuk rumah bergaya Indis sepintas tampak seperti bangunan tradisional dengan atap berbentuk Joglo Limasan. Bagian halaman terpapar pelataran yang luas dengan berbagai tanaman dan pohon yang rindang. Bagian depan berupa selasar terbuka sebagai tempat untuk penerimaan tamu.

NGORO – Orang Belanda pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1619. Mereka semula berdagang tetapi kemudian memonopoli lewat VOC dan akhirnya menjadi penguasa sampai datangnya Jepang pada tahun 1942. Kehadiran orang-orang Belanda selama tiga setengah abad di Indonesia tentu memberi pengaruh pada segala macam aspek kehidupan. Perubahan antara lain juga melanda seni bangunan atau arsitektur.

Seperti halnya bangunan rumah tua yang berada Desa Jombok, Kecamatan Ngoro. Rumah bergaya Indis ini dibangun pada tahun 1901 oleh seorang priayi kaya di desa tersebut pada waktu itu. Masyarakat di sekitar situ menyebutnya Mbah Bau. Dari beberapa sumber yang ditemui tidak ada yang tahu siapa nama asli dari Mbah Bau tesebut.

Salah satu keluarga pemilik rumah tua, Subiyantoro (65) mengatakan, “Sebelum dimiliki buyut saya, rumah itu dahulu milik Mbah Bau. Mbah Bau itu sebutan orang dahulu yang menjabat sebagai koordinator kepala desa yang ada di kecamatan. Lantaran kondisi rumahnya yang besar, dan Mbah Bau tidak memiliki seorang anak kemudian rumah itu dijual ke keluarga saya.”

Baca Juga :
SSB Arselona Desa Plemahan Sumobito Berkibar di Kancah Nasional

Menurut kakek yang sudah memiliki lima cucu tersebut, dirinya saat ini merupakan generasi ketiga. Pasalnya dahulu rumah dengan lebar lebih kurang 20 meter dan panjang hampir 37 meter tersebut sempat menjadi gudang mesiu pada sekitar tahun 1945-an. Selain itu disekitar rumah tersebut dahulu juga pernah dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Jombang meski hanya beberapa waktu saja.

Arsitektur Indis merupakan asimilasi atau campuran dari unsur-unsur budaya Barat terutama Belanda dengan budaya Indonesia khususnya dari Jawa. Dari segi politis, pengertian arsitektur Indis juga dimaksud untuk membedakan dengan bangunan tradisional yang lebih dahulu telah eksis, bahkan oleh Pemerintah Belanda bentuk bangunan Indis dikukuhkan sebagai gaya yang harus ditaati, sebagai simbol kekuasaan, status sosial, dan kebesaran penguasa saat itu.

Bangunan Indis juga terkandung berbagai macam unsur budaya tersebut. Faktor-faktor lain yang ikut berintegrasi dalam proses perancangan antara lain faktor lingkungan, iklim atau cuaca, tersedia material, teknik pembuatan, kondisi sosial politik, ekonomi, kesenian, dan agama. 


Bentuk rumah bergaya Indis sepintas tampak seperti bangunan tradisional dengan atap berbentuk Joglo Limasan. Bagian halaman terpapar pelataran yang luas dengan berbagai tanaman dan pohon yang rindang. Bagian depan berupa selasar terbuka sebagai tempat untuk penerimaan tamu. Masuk pada ruang dalam terpapar ruangan yang sangat luas, biasanya juga dipergunakan untuk menerima tamu. Subiyantoro menggambarkan jika ruangan tersebut muat untuk 100 orang dengan duduk bersila.

Masuk kedalam ruangan selanjutnya terdapat empat kamar tidur terletak pada bagian tengah, di sisi kiri dan kanan, sedang ruang yang terapit difungsikan untuk ruang makan atau perjamuan makan malam. Bagian belakang terbuka untuk minum teh pada sore hari sambil membaca buku dan mendengarkan radio, merangkap sebagai ruang dansa pada kala itu.

Pengaruh budaya Barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan pada gaya bangunan Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi. Lampu-lampu gantung dari Italia dipasang pada serambi depan membuat bangunan tampak megah terutama pada malam hari. Pintu terletak tepat di tengah diapit dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanan. Selain itu bangunan diluar rumah dijadikan sebagai dapur dan kamar mandi. 


Kebudayaan Indis sebagai perpaduan budaya Belanda dan Jawa juga terjalin dalam berbagai aspek misalnya dalam pola tingkah laku, cara berpakaian, sopan santun dalam pergaulan, cara makan, cara berbahasa, penataan ruang, dan gaya hidup. Arsitektur Indis sebagai manifestasi dari nilai-nilai budaya yang berlaku pada zaman itu ditampilkan lewat kualitas bahan, dimensi ruang yang besar, gemerlapnya cahaya, pemilihan perabot, dan seni ukir kualitas tinggi sebagai penghias gedung.

Mengamati arsitektur Indis hendaknya jangan terpaku pada keindahan bentuk luar semata, tetapi juga harus bisa melihat jiwa atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Rob Niewenhuijs dalam tulisannya Oost Indische Spiegel yaitu pencerminan budaya Indis, menyebutkan bahwa sistem pergaulan dan tentunya juga kegiatan yang terjadi di dalam bangunan yang bergaya Indis merupakan jalinan pertukaran norma budaya Jawa dengan Belanda. Manusia Belanda berbaur ke dalam lingkungan budaya Jawa dan sebaliknya.

Arsitektur Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status, keagungan dan kebesaran kekuasaan terhadap masyarakat jajahannya. Pemerintah kolonial Belanda menjadikan arsitektur Indis sebagai standar dalam pembangunan gedung-gedung baik milik pemerintah maupun swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh mereka yang berkecukupan terutama para pedagang dari etnis tertentu dengan harapan agar memperoleh kesan pada status sosial yang sama dengan para penguasa dan priayi. aditya eko
Lebih baru Lebih lama