Pendidikan di Indonesia sudah ada jauh sebelum terbentuknya pola pendidikan keseragaman yang telah diterapkan sekarang ini. Seperti dijelaskan dalam “Sejarah Kurikulum SD di Indonesia” oleh Pusat Kurikulum Padan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan, terdapat tiga sistem pendidikan yaitu tradisional, Barat, dan Nasional.

Ketiganya memiliki perbedaan dengan kekhasan masing-masing. Jika pendidikan pondok atau padepokan adalah tergolong tradisional yang sudah berjalan sejak era kerajaan di Nusantara. Biasanya jika di padepokan seorang murid disebut dengan cantrik. Dia berada dalam satu hunian dengan guru atau begawan. Seringkali khusus mempelajari satu hal tertentu kepada seorang guru yang notabena orang yang ahli. Misalnya ahli agama, kanuragan, pembuat senjata, hingga di dunia berkesenian dalang .

Oleh karenanya, perkembangan pendalaman agama muncullah pesantren. Dahulu dari pelbagai referensi yang diperoleh dijelaskan santri mengabdi para kiai. Selain memperdalam ilmu agama, dia juga bekerja untuk menghidupi dirinya. Mulai dari mengelola pertanian, peternakan, hingga yang lainnya. Semua hasilnya akan digunakan untuk menghidupi dirinya dan para santri yang lain.

Sementara kalau pendidikan Barat terafiliasi dari penjajahan Belanda kurang lebih 350 tahun. Negeri seribu kincir angin itu mengenalkan sebuah prototape sekolah berjenjang. Dicirikan dengan model eksploitatif dengan tujuan menghasilkan tenaga kerja unggul guna mendukung peningkatan sektor ekonomi penjajah. Selanjutnya sangat identik dengan rasialisme. Hal itu lantaran membedakan latarbelakang ras, starta sosial, hingga profesi. Akhirnya dalam pengkelompokannya pun dibuat berdasarkan latar belakang masing-masing.

Sedangkan pendidikan nasional, dirintis oleh tokoh nasional yang telah mengenyam pendidikan Barat kemudian mempelajari polanya dan disesuaikan dengan keadaan bangsa saat itu. Diantaranya seperti Taman siswa yang diprakarsai serta dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara.

Baca Juga: Ransel Gemuk

Lambat laun citra pendidikan nasional mengadopsi model penjenjangan yang telah dilakukan oleh pendidikan ala era kolonial. Pembedanya ialah tidak menggunakan dasar latar belakang ras, sosial, atau profesi orang tuanya. Melainkan didasarkan pada materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik sesuai dengan perkembangan otaknya.

Sejatinya pendidikan di Indonesia bahkan sejak zaman kolonial Belanja telah diatur melalui seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang kemudian akrab disebut sebagai kurikulum. Kurikulum pun berkembang sesuai kearifan zaman.

Usai Indonesia merdeka, untuk menggantikan kurikulum yang diterapkan pada masa kolonial Belanda dan Jepang, pemerintah kala itu menyusun Rencana Pembelajaran tahun 1947. Penekanan pada kurikulum ini adalah pendidikan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat di muka bumi. Kurikulum ini mengurangi aspek pendidikan kognitif melainkan lebih menekankan pendidikan karakter dan moral.

Selanjutnya kurikulum terus dikembangkan sesuai dengan kondisi alam sosial, tujuan pendidikan nasional yang ingin diraih serta beberapa alasan yang lain. Secara garis besar, dari data buku elektronik Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010 tercatat ada sembilan jenis perubahan serta perkembangan kurikulum terhitung sejak tahun kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Jenis kurikulum tersebut diantaranya yang terkonsep pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 2004, dan 2006. Jika dikalkulasi, jeda waktu yang dibutuhkan dalam perkembangan antara satu kurikulum ke kurikulum berikutnya ialah berkisar dari dua hingga duabelas tahun.

Menurut pengembangan dalam penelitiannya pula, pergantian kurikulum yang semakin cepat dipengaruhi perubahan politik. Sehingga dalam kurun waktu tujuh tahun setelah merdeka sudah menerapkan dua kurikulum. Selama duabelas tahun dari 1952 sampai 1964 bertahan menerapkan Kurikulum 1952. Selanjutnya Kurikulum 1964 hanya diterapkan empat tahun lalu beralih ke Kurikulum 1968. Hal tersebut terjadi, disebabkan oleh peralihan dari kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru.

Berdasarkan perkembangannya, Kurikulum 1968 dilaksanakan selama tujuh tahun. Kemudian muncullah dampak semakin terbukanya Indonesia terhadap pengaruh Barat setelah PKI tersingkir dari arena perpolitikan Indonesia. Sehingga hadirnya Kurikulum 1975 dan dinilai cukup komprehensif dari segi pengembangannya. Pasalnya kurikulum ini tercipta sebagai hasil kerjasama internasional karena dunia politik dan ekonomi Indonesia semakin terbuka terhadap Blok Barat.

Sebagai dampak hasil riset pendidikan, perkembangannya begitu pesat sejak awal 1970-an, hingga diterapkannya Kurikulum 1984. Berkesinambungan dengan pengadaan berbagai komponen pendidikan yang lain, seperti buku pelajaran, sarana belajar lain, metodologi mengajar, penilaian dan ujian, dan kurikulum pendidikan guru.

Guna menampung hasil inovasi kurikulum dan pendidikan yang sudah cukup menyakinkan, pendekatan komunikatif dalam bahasa, belajar aktif dalam IPA, IPS, dan mata pelajaran lain, serta perlunya diterapkan mata pelajaran desain dan teknologi di sekolah, lahirlah Kurikulum 1994. Walaupun jika ditarik runtutan perjalanannya, Kurikulum 1947, 1964, dan 1968, lalu Kurikulum 1984 dan 1994 konsisten melakukan pendekatan belajar aktif. Artinya sejak kemerdekaan terhitung selama kurang lebih limapuluh tahun, Indonesia belum terlepas dari pendekatan pengembangan kurikulum berbasis materi atau pengetahuan (content-based curriculum development).

Menganalisis perkembangan kurikulum yang terjadi selama masa awal kemerdekaan hingga akhir Orde Baru, Pengamat Pendidikan Jombang, Drs. M. Thamrin Bhey, M.Si menyatakan bahwa di era pasca kemerdekaan, pendidikan memang difokuskan untuk membetuk masyarakat yang nasionalis mengingat Indonesia yang baru saja terbebas dari penjajahan. Sehingga pelajaran yang ditekankan pada era itu adalah penanaman ideologi juga dasar negara dengan tambahan materi pelajaran umum lain diantaranya ilmu bumi, ilmu hitung, aljabar, dan botani.

“Baru pada sekitar era orde baru, demi mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, pemerintah menginginkan masyarakatnya untuk bisa menguasai beragam ilmu pengetahuan. Sehingga dalam struktur pendidikan (kurikulum), dimasukkanlah beragam jenis mata pelajaran dengan beragam materi pembelajaran. Dari sinilah, salah satu asal muasal mengapa pembelajaran di sekolah saat ini sangat banyak dan padat,” urai Thamrin Bhey.

Namun jika sedikit kembali menelisik ke belakang mengenai perencanaan struktur kurikulum, Pusat Pengembangan Kurikulum (Puskur) ketika menyusun dan merencanakan Kurikulum 1975, salah satu prinsip yang dipegang adalah Prinsip Efisiensi dan Efektivitas. Prinsip ini pula yang setidaknya mampu sedikit menjelaskan mengapa jumlah jam pelajaran yang harus ditempuh peserta didik sejumlah 36 dan 42 jam.

Dikutip dari naskah elektronik Sejarah Pusat Kurikulum edisi 2010 yang disusun oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, Puskur melalui Prinsip Efisiensi dan Efektivitas, Puskur menilai bahwa waktu sekolah hanyalah sebagian kecil dari waktu kehidupan peserta didik yang berlangsung selama duapuluh empat jam dalam sehari. Dari duapuluh empat jam tersebut hanya sekitar enam jam peserta ada di sekolah. Karena itu kalau waktu yang terbatas ini tidak dimanfaatkan bagi kegiatan-kegiatan yang seterusnya dilakukan para peserta didik di luar lingkungan hubungan peserta didik, guru dan fasilitas pendidikan, berarti akan terjadi pemborosan yang merupakan gejala inefisiensi.

Atas dasar prinsip efisiensi dan efektivitas inilah kurikulum 1975 memilih jumlah jam pelajaran selama seminggu 36 jam dan 42 jam, karena pertimbangan bahwa para peserta didik dapat dituntut untuk bekerja lebih keras pada setiap jam yang tersedia, dengan tetap memberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih santai pada saat-saat tertentu. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan belajar yang sifatnya wajib dan akademis ditekankan pada hari Senin sampai dengan Jumat sedangkan kegiatan-kegiatan pada hari Sabtu sifatnya pilihan wajib, ekspresif dan rekreatif.

Atas dasar prinsip ini juga disarankan agar setiap pelajaran hendaknya tidak diberikan dalam satu jam pelajaran saja untuk satu minggu, melainkan antara dua jam dan sebanyak-banyaknya tiga jam pada setiap pertemuan.

Prinsip ini pula yang sekiranya hingga saat ini masih dipegang dan dipergunakan. Isi mata pelajaran dan materi yang ada pada kurikulum yang saat ini berjalan pun tidak banyak mengalami perubahan dibanding kurikulum-kurikulum sebelumnya.

“Isi dari kurikulum saat ini seperti masih mewarisi dari kurikulum yang sebelumnya. Perubahan yang terjadi hanya pada metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru pada peserta didik. Seperti misalnya, dalam kurikulum lama peserta didik menjadi subjek yang hanya menerima penjelasan dari guru, namun seiring perkembangan saat ini melalui Kurikulum 2013 (K13) peserta didik telah diubah menjadi objek. Pembelajaran sudah diorientasikan pada penggalian potensi peserta didik. Pembelajaran di kelas juga bukan menggunakan metode ceramah lagi, melainkan mengajak peserta didik untuk berpikir kritis,” ungkap Pendiri Forum Pendidikan Jawa Timur, Yusron Aminulloh.

Dengan beban isi materi yang lebih kurang tetap sama, jelas saja pelaksanaan K13 saat ini dirasa berat. Belum lagi ditambah dengan tuntutan-tuntutan perkembangan zaman seperti globalisasi, konvergensi ilmu dan teknologi, serta kompetensi masa depan yang juga harus dipenuhi.

Widyaiswara Madya LPMP Jawa Timur, Dr. Dwi Ilham Rahardjo, M.Pd. menjelaskan,“Perjalanan kurikulum mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman. Tak lagi konsep pemikiran seorang guru yang mentransfer ilmu saja, tetapi disisipkan metode pengembangan karakter, literasi, dan kompetensi. Lebih dijabarkan, ketika karakter digali, maka ada dua konsep pelaksanaan dari sisi religius dan sosial. Selanjutnya literasi dengan menggali ragam ilmu pengetahuan dari berbagai sumber. Diiringi dengan kompetensi yang menjabarkan tentang pemikiran kritis dengan konsep kreatif dan inovasi.”

Pria yang juga menjadi dosen pascasarjana di Unitomo Surabaya ini juga menambahkan, sehingga dahulu cara mengajar hanya berdasarkan pakem tertulis dari konsep yang diarahkan secara massal, kini mengarah kepada gairah atau yang sering disebut passion. Metode yang diberikan juga mengarah kepada ketertarikan atas bakat minat peserta didik.

“Berbicara tentang wawasan pengetahuan yang dimiliki peserta didik kini, tentu beragam informasi mudah diperoleh dari beragam sumber misal saja buku dan dari internet. Sehingga arahan dan langkah yang diambil serta tujuan menjadi semakin terbuka pada pengembangan ilmu pengetahuan lebih luas,” ungkap pria yang sering dipanggil Ilham tersebut.

Dwi Ilham Rahardjo mengulas, ketika berbicara tentang kualitas pada kemampuan peserta didik secara teori atau akademik, terbilang baik dalam inovasi teknologi pembelajaran yang dikembangkan. Peserta didik mampu berprestasi pada setiap bidang mata pelajaran yang diinginkan dan diminati. Wajar jika peserta didik mendapatkan nilai memuaskan hingga berprestasi. Tetapi, luput dari pantauan pada satu perhatian yaitu karakter peserta didik. Artinya, kini peserta didik memiliki kemampuan secara akademik yang mumpuni, tetapi berbicara Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), masih tak sebagus perkembangan prestasi akademik secara menyeluruh.

“Sehingga pengembangannya pun kini dirubah dalam menerapkan konsep Kurikulum 2013 (K-13). Diimplementasikan K-13 membawa konsekuensi guru yang harus semakin berkualitas dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Sebab mengamanatkan penerapan pendekatan saintifik (5M) diantaranya mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar atau mengasosiasikan, dan mengomunikasikan. Sehingga optimalisasi peran guru dalam melaksanakan pembelajaran abad 21 dan Higher Order Thingking Skills (HOTS),” terang pria asal Mojokerto itu.

Menurutnya, pembelajaran abad 21 secara sederhana diartikan sebagai pembelajaran yang memberikan kecapakapan peserta didik dengan 4C. Diantaranya Communication, Collaboration, Critical Thinking and problem solving, dan Creative and Innovative.

Berdasarkan pengembangan yang dilakukan Dwi Ilham Rahardjo, penerapan pendekatan saintifik, pembelajaran abad 21 (4C), HOTS, dan integrasi literasi dan PPK dalam pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam rangka menjawab tantangan. Tantangan tersebut secara internal dalam mencapai delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan tantangan eksternal yakni globalisasi. chicilia risca / fitrotul aini.
Lebih baru Lebih lama