Rahmat Sularso Nh.*

Pagi itu, matahari sangat gagah di tengah udara yang masih lega. Pepohonan rindang di tembus oleh cahayanya berbarengan dengan anak-anak berangkat ke sekolah. Ada yang memilih berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan motor. Jalanan seakan penuh oleh mereka yang telah bersiap menuntut ilmu dengan mengenakan seragam licin agar tampak rapi dan di nilai tertib.

Tak lupa tas sekolah dikenakan dan terlihat begitu penuh hingga seakan kegemukan. Isinya tentu buku-buku yang bakal menjadi pelajaran hari itu. Mungkin juga ditambah beberapa baju ganti andai ada jadwal olahraga atau bekal karena tak sempat sarapan.

Waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB. Pintu gerbang telah sesak anak-anak sekolah yang baru saja datang. Beberapa saya tanya, biasanya setelah memarkir kendaraan ataupun kalau tidak membawa langsung menuju kelas. Meletakan tas yang cukup berat kemudian kalau ada jatah piket langsung turut membersihkan, jika tidak lebih senang ngobrol santai dengan teman sebangku atau lainnya di lorong kelas sambil menunggu bunyi bel tanda proses pembelajaran di mulai.

Baca Juga: Digitalisasi UMKM Mampet

Seperti hari-hari sebelumnya, semua berjalan normal hingga waktu belajar usai siangnya. Dari satu mata pelajaran satu ke mata pelajaran berikutnya. Memahami sampai paripuna ditunjukkan dengan kemampuannya mengerjakan soal-soal latihan.

Kalau di rata-rata sesungguhnya beban belajar peserta didik sangatlah besar. Hal itu pangkal permasalahannya terletak pada kurikulum yang dipergunakan. Diketahui bahwa kurikulum adalah acuan dalam menjalankan pembelajaran peserta didik. Selanjutnya dikerucutkan dengan turunan menjadi silabus, kompetensi dasar, standar kompetensi, rancangan pelaksanaan pembelajaran, berikutnya dieksekusi dalam pelaksanaan pembelajaran riil. Jadi dari awal sesungguhnya skenario sudah di susun dengan mengacu pada kurikulum yang dipergunakan.

Bahkan di kesempatan lain penyusun kurikulum dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengatakan bahwa hasil evaluasi menunjukkan anak-anak sekarang ini kurang waktu memperkaya diri karena beban belajar yang dipikul terlalu berat. (edukasi.kompas.com : 2012) Padahal standar pembelajaran yang ditetapkan oleh badan Perserikatan Bangsa-bangsa yang menggarap soal pendidikan UNESCO memaparkan bilamana jam belajar peserta didik jenjang SD hanyalah 800 jam/tahun. Kalau di rata-rata maka per minggunya sekitar 16-17 jam saja. Hal ini jelas menjadi kontradiksi lantaran jika ditelaah dari kurikulum 2013 yang digunakan kebanyakan sekolah saat ini per minggunya bisa mencapai 30-36 jam, dikutip dari Dokumen Kurikulum 2013 yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sedangkan kalau disandingkan dengan perkembangan kecerdasan anak terbagi atas tiga fase yakni saat usia 0-4 tahun mencapai 50%, 4-8 tahun 80%, saat menginjak dewasa rentan usia 8-17 tahun mampu maksimal hingga 100%. Diakui juga oleh pakar pendidikan anak, Seto Mulyadi awal kegagalan anak di kelas awal juga dipengaruhi konsep pendidikan (kurikulum) yang kurang humanis. Menganggap anak sebagai orang dewasa mini.

Muaranya peserta didik dengan usia anak-anak menjadi remote kontrol. Misalnya secara tidak langsung dari beban di kurikulum ditambah kehendak sosial atas capaian belajar, membuat semakin tertekan. Oleh karena itu Kak Seto, mendefinisikan anak seperti remote kontrol karena harus menuruti capaian tersebut. Dengan kata lain, anak tidak diperlakukan sebagaimana seorang anak yang seyogyanya di penuhi dunia bermain. Melainkan menjadi orang dewasa dalam tubuh anak-anak.

Perlu adanya evaluasi kembali tentang kurikulum dengan dilengkapi penerjemahannya kedalam proses pembelajaran agar tercipta sebuah pembelajaran efektif.

Artinya dengan penuh kesungguhan kembali dipetakan sejatinya pendidikan bangsa ini berorientasi ingin kemana? Menjadikan peserta didik/out put yang seperti apa? Bahkan kalaupun menyesuaikan perkembangan dan kebutuhan zaman harus jelas, perkembangan dan kebutuhan yang bagaimana? Lantas jangan menjadikan peserta didik sebagai objek pelaksanaan kurikulum dengan pelbagai alasan terjadinya perubahan.

Resikonya terlampau besar. Hal itu didasari esensi kurikulum sebagai sebuah acuan atau pijakan langkah teknis pendidikan yakni pembelajaran peserta didik. Seakan menggadaikan masa depan bangsa karena peserta didik sekarang inilah yang mengambil peran kedepannya.

Meninjau lagi tiap-tiap komponen yang memungkinkan menjadikan pembelajaran efektif. Guru sebagai garda terdepan selain memiliki kualitas sumber daya manusia dengan kompetensi memadai tentunya mampu membaca kebutuhan yang dikehendaki kurikulum sehingga diejawantahkan dengan disesuaikan kondisi dilingkungannya.

Berangkat dari sana maka mampu menentukan strategi yang pas saat dikelola dalam pembelajaran/kelas. Namun sebelumnya harus mengkondisikan peserta didik dengan beragam indikator. Baik karakteristik pembelajaran, kemampuan belajar, hingga pada mengikuti tren peserta didik di usia itu.

Dari sana, akhirnya meramu beban kerja guru yang semestinya tidak dipenuhi dengan kerja-kerja administratif yang menggunung. Melainkan lebih konkrit mengedepankan strategi guru dalam mentransformasi keilmuan.

Jadi, kalaupun ada perubahan kurikulum tidak menjadi gagap. Guru kembali butuh penyesuaian dari awal. Sebaliknya jikalau telah terbiasa berpikir melakukan penyederhanaan konsep pembelajaran dengan mengetahui tujuan dasar kurikulum tersebut dibuat. Sangat sigap menghadapi perubahan itu karena telah terbiasa.

Apalagi muncul mitos dalam dunia pendidikan Indonesia, ganti menteri hampir dipastikan kurikulum menjumpai babak baru. Walau belum pasti tak ada salahnya sedia payung sebelum hujan.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pendidikan
Lebih baru Lebih lama