Manusia bukan mesin, demikian pula peserta didik yang belajar di sekolah. Namun kenyataannya, terkadang pembelajaran di sekolah masih menyamakan peserta didik seperti mesin. Guru memberikan informasi, peserta didik mendengar, menghafal agar nanti dapat ditagih kembali melalui instrumen tes. Seperti yang dikatakan Doktor bidang Sejarah dan Filsafat Pendidikan dari Universitas Recife (1959), Paulo Freire bahwa belajar menjadi mirip dengan kegiatan menabung.

Pada dasarnya manusia adalah mahluk adaptif. Prinsipnya bisa lekas menyesuaikan lingkungan atau sebaliknya potensinya pun sebagaimana lingkungan tempat lahir serta tumbuh. Lingkungan bisa mempengaruhi reaksi biologis di dalam tubuh. Tubuh manusia terprogam untuk mengikuti perubahan-perubahan di lingkungan yang disebut ritme biologis. Ritme ini seperti siklus harian dengan pola 24 jam mengatur berbagai aktivitas tubuh manusia seperti tidur-bangun. Ada juga pola 12 jam yang menjadikan rasa kantuk pada siang hari. Ritme-ritme ini diatur oleh bagian-bagian otak, misalnya, hipotalamus, nukleus superkiasmatik, dan kelenjar pineal.

Proses belajar pun terjadi di otak. Karenanya, belajar juga tak lepas dari pengaruh siklus-siklus fisiologis dalam tubuh. Kadang, sekolah mungkin tak sadar bahwa pelajaran yang diberikan tidak sesuai dengan cara kerja otak peserta didik. Seperti halnya pemberian beban belajar yang banyak dan waktu belajar lama dapat mempengaruhi kerja otak. Terlebih kemampuan optimal otak manusia menyerap pelajaran hanya 20 menit pertama. Setelah itu kemampuannya menurun.

Baca Juga: Nina Bobok Dongeng

Seperti yang dilansir pada republika.co.id, Direktur Pusat Neurosains Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka dr Rizki Edmi Edison PhD mengungkapkan bahwa kebanyakan guru tidak paham soal hal tersebut. Mereka bicara di depan kelas bisa lebih dari 50 menit, padahal kemampuan peserta didik mendengar rata-rata hanya 20 menit. Karenanya, Dia menganjurkan setiap 20 menit penyampaian pelajaran, peserta didik diberi waktu istirahat dengan disuruh bergerak, berdiri atau berjalan keluar kelas, sehingga dalam beberapa menit bisa kembali duduk menerima pelajaran dengan konsentrasi yang maksimal.

Pengamat Pendidikan Jombang, Drs. M. Thamrin Bhey, M.Si menyatakan, “Selama ini beban dan waktu belajar masih sangat besar, sehingga peserta didik dituntut untuk belajar ekstra. Tidak sedikit pula, sekolah kemudian menambah jam pelajarannya. Penambahan jam sebenarnya tidak efektif, terlebih jika dilaksanakan sampai menjelang sore hari. Idealnya untuk anak ataupun orang memulai belajarnya itu dari jam 7 hingga jam 12. Setelah itu mereka akan lelah dan materi yang disampaikan tidak bisa di cerna dengan baik.”

Pasalnya, jam pelajaran bagi peserta didik di Indonesia jauh melampaui batas normal. Para peserta didik di negeri ini rata-rata harus menjalani sekitar 1.400 jam pelajaran setiap tahunnya. Padahal, panduan yang dibuat UNESCO menyarankan jam pelajaran yang ideal sebesar 800 jam setiap tahunnya.

Dirinya menyoroti adanya penambahan jam adalah untuk mengejar target guru dalam memberikan materi terhadap peserta didik, namun tidak mempertimbangkan kondisi psikologis peserta didik saat pembelajaran berlebih. Guru hanya berusaha menggugurkan kewajiban untuk memenuhi target mendulang sertifikasi. Padahal jika ditelisik lebih dalam daya tangkap peserta didik juga ada batasannya.

Pembelajaran pada dasarnya seperti halnya wadah yang selalu diisi, jika terus diisi maka akan tumpah dan tidak berfaedah. Dengan kata lain akan sia-sia. Disinilah perlu manajemen guru dalam memberikan materi yang pas yang akan diajarkan kepada peserta didiknya. Tidak perlu yang ‘bertele-tele’, tetapi berikan dasar-dasarnya. Maka mereka (peserta didik) akan dapat mengembangkannya.

“Pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak. Misalnya, jika kurikulum pendidikan berubah, guru jangan lantas diam saja dan menunggu, setidaknya untuk peserta didik di kelasnya saja. Tanya kepada diri sendiri, apa yang bisa dilakukan untuk menjadi guru yang lebih baik. Orang tua juga demikian. Jika melihat ketidaksesuaian, ambil peran. Jika semua pihak melakukan hal ini, keadaan pasti berubah,” saran laki-laki yang juga menjadi dosen di STIE Dewantara Jombang itu.

Orang tua dalam hal ini dituntut harus tegas dalam menyikapi hal seperti ini. Jika dirasa waktu yang dipergunakan anak untuk belajar terlalu padat harus dipangkas. Tetapi pemangkasan waktu belajar diluar jam pokok sekolah, seperti les ataupun hal lain yang sifatnya tidak wajib. Terlebih itu yang dilaksanakan selepas jam belajar wajib di sekolah.

Menyoal kurikulum 2013 (K13) saat ini, Thamrin Bhey berpendapat bahwa kurikulum ini cukup bagus karena konsepnya adalah mengubah anak dari obyek pendidikan menjadi subyek pendidikan. Bahkan ragam metode pengajarannya pun diubah. Hal ini juga menuntut guru agar lebih inovasi dan kreatif dalam pembelajaran dikelasnya agar pembelajaran dikelas tetap kondusif dengan beban belajar peserta didik saat ini.

Sementara itu, menurut Juara II Nasional Inovasi Pembelajaran (Inobel) 2017, Kiki Ratnaning Arimbi S.Pd justru menyebut bahwa K13 merupakan kurikulum paling fleksibel. Meski harus diakui juga bahwa K13 juga sebenarnya adalah kurikulum dengan konten atau materi yang banyak dan padat. Namun dengan kefleksibilitasannya, guru diberi ruang seluas-luasnya untuk berinovasi dan berkreasi dalam kegiatan pembelajarannya dengan menciptakan beragam metode untuk mendorong dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Suasana pembelajaran di dalam kelas juga tidak lagi konvensional dengan guru yang menjelaskan materi dan peserta didik yang menulis penjelasan guru, akan tetapi kelas bisa dikondisikan laiknya laboratorium tempat peserta didik melakukan beragam percobaan dari tugas-tugas proyek yang diberikan.

“Untuk menyiasati padat dan banyaknya materi yang harus disampaikan, peserta didik bisa diajak untuk mengerjakan tugas proyek terstruktur. Dari tugas-tugas proyek ini peserta didik akan mendapatkan langsung pengalaman sekaligus ilmu dari materi-materi yang dipelajari. Dengan pemberian tugas proyek yang tepat, beban tugas guru dalam menjelaskan materi yang cukup banyak bisa terkurangi karena dalam satu jenis tugas proyek bisa mengkolaborasikan berbagai macam materi pembelajaran yang harus disampaikan. Melalui tugas proyek juga peserta didik bisa diarahkan untuk mendapatkan konsep dasarnya dan guru tinggal memberikan penguatan. Guru tidak perlu lagi menjelaskan secara definitif, bahkan per materi hingga secara mendetail. Justru peserta didik yang akan memahami dan menemukannya sendiri,” urai Kiki Ratnaning Arimbi ketika dihubungi via telepon.

Selain konten materi yang cukup banyak, hal lain yang membuat K13 dirasakan berat dalam pelaksanaannya adalah terjadinya perubahan dalam pola cara mengajar guru kepada peserta didik. Jika sebelum-sebelumnya guru adalah sumber ilmu, orang yang menyampaikan materi dan peserta didik hanyalah objek yang harus menerima apa yang disampaikan guru, maka di K13 peserta didik menjadi subjek utama. Mereka harus diajak untuk berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan kreatif atau yang dalam istilahnya disebut dengan High Order Thinking Skill (HOTS).

“Kurikulum lama hanya mengajak peserta didik menghafal sehingga guru pun juga terbiasa mengajar dengan penyampaian secara definitif. Sementara di K13 guru seyogianya tidak menyampaikan materi pembelajaran secara definitif yang kemudian dihafalkan oleh peserta didik akan tetapi justru mengajak peserta didik untuk menemukan, menganalisis, hingga menyimpulkan dari beragam kegiatan yang mendukung mereka untuk memahami materi pembelajaran yang harus dipelajari. Disamping juga permasalahan sistem penilaian yang masih harus juga dilakukan secara mendetail sehingga sedikit banyak menyita perhatian guru,” jelas Kiki Ratnaning Arimbi.

Senada dengan Kiki Ratnaning Arimbi, Pendiri Forum Pendidikan Jawa Timur, Yusron Aminulloh meyakini bahwa dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis proyek akan dapat memaksimalkan peserta didik dalam K13. Pasalnya peserta didik akan terlibat langsung dengan pembelajaran tersebut. Peserta didik akan interaktif kepada guru dan menyimpulkan sendiri apa yang mereka temukan.

Dalam hal ini, guru harus membuat kelompok-kelompok antar peserta didik agar pembelajarannya lebih efisien. Terlebih, Yusron Aminulloh menambahkan, guru harus paham dengan gaya belajar peserta didiknya. Ada tiga gaya belajar yaitu visual, kinestesis, dan auditori. Dalam pembagian kelompoknya harus beragam, jangan sampai dominan gaya belajarnya karena akan membuat kelompoknya tidak berjalan dengan baik.

Pada masa ini yang paling penting ditingkatkan adalah potensi guru. Guru benar-benar dituntut harus inovasi, kreatif, dan menyenangkan dalam pembelajarannya. Tidak harus berfokus pada model ceramah di dalam kelas, metode pembelajaran di luar kelas serta teknologi pembelajaran sederhana sampai digital juga perlu diterapkan.

“Hal ini karena memang tuntutan zaman dan perubahan pembelajaran pada generasi milenial. Memang sulit untuk memulai terlebih bagi guru yang sudah usia lanjut. Ini juga yang menjadi beban di K13. Padahal jika ditelisik lebih dalam ini akan semakin memudahkan guru dalam mengajar,” keluh laki-laki yang juga sebagai Praktisi Pendidikan dan Master Trainer Menebar Energi Positif (MEP) tersebut.

Masukan Yusron Aminulloh perihal K13 ada tiga hal. Pertama, jangan ubah kurikulum 2013, tapi perbaiki dan sempurnakan. Karena menuju perubahan kurikulum yang ini saja, guru sudah ‘berdarah-darah’ lewat ragam Bimtek dan pelatihan. Kedua, cara berpikir Mendikbud Nadiem Makarim adalah memerdekakan pendidikan. Guru merdeka, sekolah merdeka.

“Artinya ada kebebasan dalam menata seluruh model pendidikan dan pengajaran. Ini sudah sesuai denganK13. Hanya dengan menyempurnakan aplikasinya menjadi lebih praktis, maka sudah pasti akan memudahkan guru, peserta didik dan sekolah melaksanakan kurikulum,” tegas sambung laki-laki berdomisili Mentoro, Kecamatan Sumobito itu.

Berikutnya ialah problem besar pendidikan di Indonesia sebenarnya bukan soal kurikulum, tetapi mindset pembelajaran. Banyak orang yang masih ingin mencetak anak pintar. Sehingga jika pintar alasannya mudah bekerja. Padahal anak yang pintar dibidang mata pelajaran, rata-rata tidak berani kreatif dan inovatif. Prinsip ini berlawanan dengan zaman yang tidak lagi membutuhkan anak pintar mata pelajaran, tapi yang dibutuhkan adalah anak pintar dan merdeka pikirannya sehingga dia mampu kreatif dan inovatif.

Pentingnya mengembangkan kurikulum pendidikan untuk menghadapi era saat ini juga terkait dengan hakikat kurikulum pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Kurikulum tak hanya bertugas menjadi seperangkat pedoman dalam pembelajaran, tapi juga untuk mencapai tujuan pendidikan Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pengembangan kurikulum kemudian dapat didasarkan kepada lima ciri. Tiga diantaranya yaitu sebagai konten pengetahuan (subject matter), transfer pengalaman dan pengetahuan (experience), serta mengembangkan kapasitas mereka yang memperoleh ilmu (currere). Kombinasi serta konsistensi dalam melaksanakan tiga ciri tersebut, akan mewujudkan dua ciri kurikulum lainnya yang mewujudkan tujuan pendidikan (intention) sembari tetap mempertahankan nilai dan falsafah bangsa melalui pendidikan karakter dan budaya kecendekiaan (cultural reproduction). fitrotul aini / aditya eko
Lebih baru Lebih lama