Rahmat Sularso Nh.*

Dongeng sudah tak asing dalam hidup seorang manusia. Sejak kanak-kanak selalu disajikan menjelang tidur hingga dipelbagai buku bacaan juga disediakan khusus di halaman tertentu. Bahkan sekarang dongeng sudah memiliki banyak variasi sehingga mampu dinikmati dengan beragam cara. Misalnya ada melalui Puzzle, audio drama radio, hingga audio visual laiknya di televisi atau kanal Youtube.

Dongeng sendiri sesungguhnya adalah sebuah karya sastra lama berisikan sebuah kisah fiksi atau tidak benar-benar terjadi. Maka tak mengherankan apabila endingnya selalu memuaskan. Istilah sekarang ini ialah happy-ending dengan menempatkan pemeran utama sebagai pemenang atau meraih yang dicita-citakan.

Jarang di jumpai bahkan tidak pernah ditemui bahwa tokoh utama selalu kandas. Meski di awal atau tengah cerita mengalami serangkaian permasalahan, namun itu adalah langkah dalam membangun alur. Harapannya yang pada mulanya dongeng dituturkan bisa terasa benar-benar hidup. Alhasil pendengar semakin tertarik bahkan tak akan melepas jalannya kisah yang terjadi barang sekejap.

Dongeng sendiri memiliki sekitar tujuh jenis yakni mite, sage, fabel, legenda, cerita jenaka, pelipur lara, dan perumpamaan. Masing-masing jenis mempunyai karakteristik tersendiri sehingga sangat kentara perbedaan satu dengan lainnya. Mite merupakan bentuk dongeng dengan pencaritaan hal-hal gaip. Umpamanya berkenaan dengan dewa, peri, atau dunia kurcaci. Sage sendiri berkaitan erat tentang kepahlawanan, keperkasaan, serta kesaktian. Sedangkan fabel sendiri berkisah dunia binatang namum memiliki perwatakan atau perilaku laiknya manusia. Sementara cerita jenaka tentunya tak jauh dari namanya yaitu berisikan tentang komedi. Membuat pembaca, pendengar, maupun yang melihat menjadi terbahak dibuatnya.

Baca Juga: Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental

Kalau pelipur lara ini seringkali disajikan dalam sebuah perjamuan. Senantiasa sengaja di setting untuk menghibur undangan. Biasanya dilakoni oleh orang-orang yang berprofesi sebagai pendongeng, sehingga banyak disesuaikan melihat besik dari hadirin. Kemudian perumpamaan ini kebanyakan mengandung amanat atau nasihat berupa kiasan dari sebuah kejadian nyata dikehidupan ini dengan mengganti tokoh hingga latar dongeng tersebut.

Pada dekade tahun 1980-an hingga 1990-an ketika belum banyak media pilihan selain radio dan cetak, drama radio seperti Saur Sepuh, Gundala, serta Misteri Gunung Merapi mampu menghanyutkan masyarakat Indonesia. Tak jarang ungkapan dari masyarakat yang tumbuh di kejayaan drama radio, mereka merelakan menjeda kesibukannya hanya sekedar menantikan drama radio di putar. Seringkali melangsungkan mendengar bersama macam nonton bareng (Nobar) atau main bareng (Mabar) istilah yang lazim digunakan kaula muda saat ini.

Terjadinya gejala maupun situasi seperti itu bukannya tanpa alasan. Selain keterbatasan media hiburan kala itu, kekuatan drama radio memang sungguh luar biasa. Sehingga banyak diantaranya di sadur dalam tayangan di layar kaca.

Kekuatan itu selain dari ide cerita yang digagas oleh penulis skenario, penekanan pada masing-masing tokoh sangat kentara. Jenis dan karakter vokal serius dibentuk sebagai perwujudan tokoh. Misalkan saja seorang kesatria tiada mungkin menuturkan dengan lembeng atau kemayu. Melainkan tegas, terkesan gagah dan tidak banyak mengumbar kata. Demikian pun tokoh antagonis, selalu terwakili dengan pilihan kata yang kurang elok. Selain itu kesan garang dan culas selalu ada. Sebagaimana tokoh Mak Lampir, suara serak dan terkesan menarik sehingga kesan seram semakin mencolok.

Ditambah ilustrasi musiknya sangat mendukung. Menjadikan tiap fragmen cerita mampu membentuk imajinasi pendengar. Diakui bahwa membangun imajinasi atau mempengaruhinya hanya menggunakan suara perlu keahlian khusus dan kekuatan tersendiri. Transfer imajinasi itu berhasil mendorong tiap pendengar menerbitkan imajinasi berbeda-beda sesuai dengan pengalaman batin yang pernah dialami.

Kalau ditarik keselarasannya bahwa dongeng merupakan sebuah kisah fiktif belaka namun dibutuhkan kemampuan tersendiri ketika mendongeng sehingga mampu menghidupkan narasi yang epik. Serigkali pendongeng demi menghidupkan kisah dongeng tersebut memakai aksesoris sebagai handprove dan menuturkan secara berapi-api beserta dengan gesture tubuh menyesuaikan keadaan tokoh. Semua itu demi mencapai tujuan kisah dongeng agar tercapai ke kepala atau imajinasi pendengar.

Andaikan sekedar membacakan saja, maka yang terjadi pendengar hanya mendapatkan informasi dari kisah dongeng tersebut. Tanpa masuk kedalamnya seolah merasakan langsung keadaan di tiap babaknya. Setuju bila ada perumpamaan bila mendongeng bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.

Amanat yang tersirat atau tersurat akhirnya bermetamorfosis sebagai pelajaran bagi pendengar yang notabene kalangan anak-anak. Tetapi disini dimungkinkan selain tumbuh hal-hal positif bisa juga sebaliknya yakni hal negatif. Misalkan saja untuk mencapai tujuan secara cepat dan praktis dengan tindakan kurang terpuji. Oleh karenanya perlu sebuah pemisah yang jelas supaya amanat yang baik itulah yang tertanam.

Sempat terbesit dalam pikiran saya bahwa dongeng seakan-akan memberikan bunga kehidupan yang penuh keindahan belaka. Sehingga menjadi kekhawatiran bila kisah yang dipilih tidak sesuai dengan kondisi pendengar membuat sari yang dipetik jauh dari harapan.

Maksudnya, tiap pendengar memiliki karakteristik berbeda-beda. Untuk itu diperlukan telaah terlebih dahulu kondisi atau latarbelakang pendengar. Serumpun dengan kejadian kisah dongeng yang dibumbui aksi laga. Bisa jadi pendengar menirukan tiap gerakan dalam kehidupan sebenarnya, hal itu berpotensi menciderai diri sendiri bahkan oranglain. Walaupun penyampaiannya melalui gaya bertutur, bukan tidak mungkin membangun imajinasi laiknya tokoh utama yang seorang pembela kebenaran. Apalagi jika sudah menjadi sajian yang berupa bentuk audio-visual. Semakin nyata dan jelas dalam menirukan tiap gerakan.

Secara psikologis sebenarnya dongeng memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan seseorang. Misalkan saja ketika sudah menggemari kisah tertentu dari dongeng maka menjadi ukuran. Artinya, bila kategori cantik sudah disandingkan dengan tokoh perempuan disana, selanjutnya ukurannya adalah serupa itu. Sebaliknya memungkinkan menimbulkan citra buruk dalam dirinya dikarenakan jauh dari perwujudan tokoh yang ada. Dapat dikatakan, seluruh tokoh dalam dongeng menjadi stereotip untuk kehidupannya.

Lebih parahnya bila terlalu terbuai dengan kisah didalamnya, besar kemungkinan yang terjadi tidak dapat memisahkan antara kenyataan dan imajinasi semata. Alhasil dapat menimbulkan ketakutan dalam menghadapi realita sebenarnya. Lantaran yang terjadi di kisang dongeng tampak begitu mudah dan indah bertolakbelakang dengan kehidupan nyata yang lika-likunya bermacam-macam.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pendidikan
Lebih baru Lebih lama