SUMOBITO – Di tengah perkembangan alat rumah tangga dengan bahan stenlis, baja, dan tembaga hal ini tak sedikitnya mengurangi permintaan dari peralatan dengan bahan anyaman bambu. Salah satunya alat rumah tangga yang sering disebut tlempe arang (anyam renggang) dan tlempe kerep (anyam rapat) masih bertahan hingga kini.

Berdasarkan penuturan pengrajin anyaman bambu asal Dusun Tulungrejo, RT/RW: 28/10, Desa Segodorejo, Kecamatan Sumobito, Jombang, Muwah sejak tahun 1983 sudah memulai usahanya. Hingga kini tak merasa terkendala atau bahkan mengalami penurunan dari permintaan pesanan konsumen. Justru permintaan cenderung meningkat, seperti salah satu kebutuhan pada beberapa instansi layaknya sekolah jenjang SD dan SMP di wilayah Jombang khususnya memesan untuk proses pembelajaran kesenian. Peserta didik diajarkan proses menganyam hingga menjadi gerabah. Kerajinan ini kemudian dipergunakan sebagai koleksi pribadi peserta didik.

“Prosesnya masih manual dengan membelah satu pohon bambu utuh yang kemudian dibagi beberapa bagian. Satu bambu dengan panjang kurang lebih 1 meter menjadi 7 hingga 10 bagian tergantung besarnya diameter bambu. Serta mampu menghasilkan 16 karya tlempe arang yang berdiameter 30 sentimeter sampai dengan 35 sentimeter,” tutur Muwah, saat ditemui Majalah Suara Pendidikan.

Baca Juga: HAM Berdasarkan Filsafat Pancasila

Perempuan kelahiran 1965 ini menuturkan jika produknya memiliki beberapa pilihan dengan variasi diameter sesuai permintaan dan kebutuhan konsumen. Konsumen juga dapat memesan alat memasak lainnya yang masih erat kaitannya dengan bahan bambu.

“Setiap hari jika tak ada kegiatan rumah yang membutuhkan waktu lama, sejak pukul 09.00 WIB mengawali kerja hingga 16.00 WIB mampu menganyam kurang lebih 100 buah hingga 200 buah tlempe. Setiap dua hari sekali menyetor kepada pengepul dengan harga lima ribu rupiah per tlempe,” ungkapnya sembari menganyam.

Ibu tiga anak ini bercerita, untuk modalnya secara langsung kembali ketika barang disetor kepada pengepul. Biaya terpangkas untuk membeli bambu hijau dan bahan bakar ketika suaminya pergi ke petani pohon bambu yang ada di Desa Muteran, Trowulan, Mojokerto. Bambu hijau yang dipilihnya tak sembarangan, harus bambu yang tua dari pohonnya. Satu bambu dibandrol harga tujuh hingga sepuluh ribu rupiah tergantung pada besarnya lingkar diameter.

Generasi ke dua pengrajin anyaman bambu ini mendeskripsikan cara pembuatan awal hingga usai. Ketika sudah selesai dianyam, bahan anyaman dasar tlempe kemudian dijemur terlebih dahulu hingga terlihat kering dengan ciri terasa ringan ketika dibawa. Waktu yang dibutuhkan lebih kurang satu jam saja penjemuran dengan waktu yang disarankan mulai pukul 8.30 WIB hingga 10.00 WIB. Kemudian membelah bambu ukuran 3 sentimeter dengan tebal ½ sentimeter sebagai bahan pinggiran pembatas tlempe. Ketika sudah siap, barulah disatukan yang diakhiri dengan mengikat ujung lipatan bambu menggunakan tali rafia. Selanjutnya dijemur kembali di bawah terik matahari sekitar satu jam. Sentuhan akhir dengan menjahit keliling menggunakan tali rafia, dan tlempe siap dipasarkan.

Terdapat musim tertentu dalam mengalami pesanan yang cukup menyita tenaga, yakni saat bulan Agustus. Hal ini dipengaruhi beberapa desa menggunakan tlempe sebagai hadiah perlombaan atau menjadi alat perlobaan dan bahkan dipergunakan sebagai hiasan ruangan. Meski liburnya hanya setiap Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, dirinya permintaan terus saja mengalir. Berdasar penejelasannya, tlempe produksinya juga memiliki pembeli yang berasal dari Kertosono dan Nganjuk. Terkadang Muwah juga dibantu oleh anak nomor tiga, Chusnul Khotimah saat permintaan cukup besar. chicilia risca



Lebih baru Lebih lama