FOTO: Beberapa topeng Sandur Manduro yang masih tersimpan hingga saat ini. (aditya)

KABUH – Jombang mempunyai kesenian yang menggunakan topeng selain tari Topeng Jatiduwur. Kesenian ini dinamakan Sandur Manduro. Sesuai namanya, kesenian yang di dominasi dengan tarian yang mengenakan ini mempunyai ciri khas tersendiri dari banyak tarian yang berada di daerah Jawa Timur. Kesenian ini hanya bisa ditemukan di Desa Manduro, yaitu desa yang berlokasi di wilayah Utara Jombang. Tepatnya di atas gunung kapur Kecamatan Kabuh.

Seni Sandur Manduro sampai saat ini masih memegang teguh keasliannya. Namun yang di sayangkan untuk saat ini kesenian Sandur Manduro sudah jarang pentas di depan kalayak. Meski begitu keberadaannya masih mewamai khasanah kesenian di Jombang. Kesenian tersebut juga ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.

Salah satu seniman yang setia mementaskan kesenian tersebut adalah Karlan. Meski dengan usinya yang tidak muda lagi, namun spirit dirinya untuk melestarikan kesenia Sandur Manduro agar tidak punah selalu dilakukannya. Walaupun saat ini dirinya bersama para rekannya jarang menerima order untuk menampilkan.

Baca Juga: Urgensi Mata Pelajaran PMP Sebagai Pembentuk Ideologi Bangsa

“Kesenian Sandur Manduro memang sekarang kalah dengan bentuk kesenian panggung modern dan kontemporer. Banyak kalangan muda yang tidak begitu suka dengan kesenian tradisonal. Ini memprihatinkan, tapi bapak terus berupaya untuk membuat kesenian ini tidak hilang,” terang Warito anak tertua Karlan.

Meski dengan kondisi fisiknya yang tidak sekuat dulu dan sempat mengalami sakit beberapa tahun belakangan ini Karlan tetap bertahan. Ia menjadi palang pintu yang tersisa dari kesenian Sandur Manduro. Pasalnya sejak tahun 1990an sejumlah kelompok lain sudah gulung tikar dan tidak sedikit dari mereka sudah menjual alat-alatnya. Karlan bersikeras mempertahankan Topeng Sandur Manduro karena itu satu-satunya seni asli Desa Manduro.

“Puluhan tahun ayah saya mendedikasikan seluruh hidupnya pada kesenian ini. Ayah dulu mempelajari dari kakek saya. Saat ini terdapat 12 orang personil yang terlibat dalam kelompok kesenian ini, 3 dari 12 orang tersebut masih berusia 30an tahun. Umumnya mereka anak-anak seniman Sandur Manduro pada era saya dulu. Namun yang mau belajar saat ini hanya laki-laki, yang perempuan tidak ada. Padahal salah satu diantara 8 topeng sandur yang biasanya dipentaskan dalam durasi tiga jam itu terdapat tokoh perempuannya,” kata Warito.

Dengan kondisi saat ini, tak mustahil Sandur Manduro memasuki babak akhir. Akan tetapi, di tengah situasi sulit tersebut Karlan masih menyimpan koleksi topeng Sandur Manduro yang terbuat dari Kayu Mentaos yang berbentuk pipih. Karlan kini tetap setia menanti order pentas, yang berarti juga menjaga agar kesenian ini tetap lestari.

Ada 12 topeng yang hingga kini masih terseimpan. Topeng-topeng ini seluruhnya terbuat dari kayu dan dicat dengan warna yang disesuaikan dengan karakternya. 8 topeng berwujud manusia, empat sisanya berwujud hewan. Semuanya masih asli, khususnya pada topengnya. Sejak buyut masih dipakai. Jadi dulu dari buyut, ke mbah, ke bapak saya kemudian ke saya ini, saya turunan ke empat yang melanjutkan,” ungkap Warito saat ditemui di kediamannya.

Delapan topeng yang berwujud manusia, Topeng Klono, Topeng Bapang, Topeng Panji dan Ayon-ayon yang masing-masing ada dua buah. Sementara untuk topeng berjenis hewan, terdiri dari Jepaplok yang menggambarkan macan, Manuk untuk karakter burung, Celeng atau babi hutan serta Sapen atau sapi. Berbeda dengan topeng-topeng pada Wayang Topeng Jatiduwur dikeramatkan hingga harus disimpan dengan perlakuan khusus, topeng untuk Sandur Manduro terhitung lebih mudah diakses.

“Kalau sesajen masih ada, biasanya diberikan pada saat ingin pentas, topengnya ya biasa, latihan ya bisa dipakai, tidak harus sampai ada ritual kalau untuk topengnya,” pungkas bapak dua anak itu. aditya eko


Lebih baru Lebih lama