PLOSO – Desa Kebonagung, Kecamatan Ploso ternyata menyimpan sejarah yang cukup panjang dan menarik di simak tentang keberadaannya. Jika di dalami dari cerita sejumlah juru kunci punden tokoh yang membuka di daerah Utara Sungai Brantas tersebut, tidak lantas bernama Kebonagung. Sempat mengalami perubahan beberapa kali baik nama dan kondisi administratifnya.

Dahulunya Desa Kebonagung merupakan sebuah kawasan hutan berawa. Selain itu banyak di tumbuhi ilalang hampir di setiap sudutnya. Barulah ketika kehadiran Mbah Kertosono atau Mbah Tosono warga setempat menyebutnya, mulai dilakukan babat alas (Jawa: Membuka) hingga menjadi sebuah pemukiman warga. Hal itu serupa dengan yang disebutkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD) Kebonagung tahun 2019-2025.

Ditambahkan oleh Juru Kunci Punden Mbah Tosono, Suwarno jika sebelumnya bernama Desa Kalimati. Hal itu dilatarbelakangi kehadiran Mbah Tosono melalui sungai yang bersih dan mengaliri sejumlah persawahan di sana. Namun begitu datang, langsung berhenti mengalir sehingga dinamakan Desa Kalimati daerah di sekitar sungai tersebut.

“Mbah Tosono tidaklah sendiri ketika babat alas, melainkan dibantu oleh adik kandungnya yakni Mbah Buyut Tomo beserta dua pengikutnya yakni Mbah Buyut Pandansari dan Mbah Lelono,” terang Suwarno ketika ditemui di Punden Mbah Tosono.

Baca Juga: Dekajo Kian Tancapkan Eksistensi 

Kedua pengikut Mbah Buyut Tomo bukanlah orang sembarangan, mereka tergolong sakti mandraguna sehingga tidak butuh waktu lama saat menyulap hutan belantara menjadi sebuah pemukiman. Mbah Buyut Pandansari di kenal sebagai ahli pengobatan dan Mbah Lelono penjaga pusaka Kerajaan Majapahit.

Selanjutnya, tak jauh dari Desa Kalimati, Mbah Buyut Tomo lantas membangun desa baru yang diberi nama Desa Balongjuwet. Hal itu dilatari karena daerah itu merupakan telaga yang disekitarnya tumbuh Pohon Juwet, seperti yang diungkapkan oleh Juru Kunci Punden Mbah Buyut Tomo, Samijan.

Samijan menceritakan, “Seiring berjalannya waktu, nama Desa Balongjuwet berubah menjadi Desa Balongrejo dikarenakan banyak memberikan manfaat untuk kehidupan warga telaga tersebut.”

Akhirnya pada tahun 1940 seluruh desa yang tersebar di sana dijadikan satu menjadi Desa Kebonagung oleh Kepala Desa ketika itu, Nitiharjo atau yang akrab dipanggil Mbah Nawi karena lokasinya berdekatan. Kebonagung sendiri memiliki makna dari gabungan dua kata itu yaitu Kebon (Jawa: Kebun) dan Agung berarti kemakmuran. Hal itu tak lepas disebabkan seluruh wilayah di sana memberikan kesejahteraan bagi warganya. Akibatnya kembali terjadi perubahan nama pada desa yang bersatu ke dalam Desa Kebonagung dan beranjak jadi dusun.

Seperti yang dijelaskan oleh Kepala Desa Kebonagung saat ini, Yeni Anang Setiawan, S.T., M.T, “Beberapa nama desa yang berubah setalah menjadi dusun diantaranya Balongjuwet beralih Balongrejo, Kalimati berganti Rejomulyo, Jegreg menjadi Patoman.”

Lelaki yang berkumis tipis ini menambahkan sekarang Desa Kebonagung terdiri empat dusun yakni Balongrejo, Rejomulyo, Patoman, dan Bakalan. Warga desa kebanyakan berprofesi sebagai petani. Uniknya hasil pertanian kemudian di tabung menjadi hewan peliharaan berupa ayam, kambing, hingga sapi.

Reporter/Foto: Fitrotul Aini
Lebih baru Lebih lama