Hal inilah yang dihadapi beberapa desa yang ada di Kabupaten Jombang. Salah satunya adalah Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngoro. Perangkat desa yang saat ini tengah menjabat merasa kebingungan ketika mendapat pertanyaan mengenai sejarah atau asal-usul nama desa tempat mereka menunaikan tugas.
“Menilik dari data yang ada di pemerintahan Desa Sugihwaras, tercatat perangkat desa mulai lurah (kepala desa), carik (sekretaris desa), kamituwo (kepala dusun), kepetengan, kebayan, mataulu (kepala urusan), mulai menjabat pada 1921,” jelas Sekretaris Desa Sugihwaras, Rahmat Galih Satrio Utomo.
Baca Juga: Berawal dari Rosi (Roso'an Wesi) Kini Menjadi Guru Profesional dan Memiliki Mobil
Saat kembali disinggung mengenai asal-usul nama desa, Rahmat Galih Satrio Utomo mengaku tidak ada catatan resmi yang menerangkan mengenai hal tersebut. Para sesepuh desa yang kemungkinan bisa dijadikan sebagai rujukan sudah banyak yang meninggal. Kalau pun ada yang masih hidup, sangat sulit untuk diajak berkomunikasi lantaran keterbatasan fisik dan daya ingat (pikun).
Namun menurut Kepala Dusun Ketawang, Agung Akhmad Agus Santoso terdapat satu legenda yang kemungkinan bisa dipercaya sebagai awal mula daerah yang berbatasan dengan Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek ini.

Kemudian sekitar1965 ada seorang dukun tiban bernama Mbah Simin yang masyhur. Dia dikenal bisa menyembuhkan dan membantu orang jika mengalami kesulitan. Begitu manjurnya keilmuwan Mbah Simin, orang-orang dari berbagai daerah banyak yang datang. Tentu saja, hal itu berdampak pada kehidupan sosial-masyarakat warga Desa Sugihwaras. Perekonomian warga yang sempat mengalami kesulitan menjadi membaik.
Selain itu, dugaan bahwa wilayah Jombang dahulunya merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit juga teridentifikasi di Desa Sugihwaras. Beberapa waktu yang lalu, di desa yang berpenduduk sekitar empat ribu jiwa ini ditemukan situs purbakala berupa bata kuno. Batu bata dengan struktur membentuk bekas dinding tersebut memiliki ketebalan 5-6 sentimeter dan lebar 21 sentimeter, sedangkan ukuran panjangnya 31 sentimeter.
Sayangnya saat dikunjungi pada Rabu (4/3) lokasi situs sudah tertutup tanaman tebu milik warga serta ilalang rerumputan. Sehingga struktur situs tidak bisa terlihat jelas.
Reporter/Foto: Fitrotul Aini