JOMBANG – Penyebaran agama Katolik yang sangat besar pada abad ke 12 di kawasan Eropa Barat dan Timur hingga ke Asia sangat memberikan pengaruh besar terhadap arsitektur gereja. Hal itu seperti tampak pada Gereja Katolik Santa Maria Jombang. Dari halaman muka hingga belakang, hampir seluruhnya bergaya arsitektur khas Benua Biru.

Dahulunya Gereja Katolik Santa Maria Jombang tidaklah sebesar sekarang. Mulanya di bangun pada tahun 1908 atas sumbangan umat Katolik Surabaya. Sayangnya saat terjadi peperangan memperebutkan kemeredekaan Indonesia pada tahun 1945 mengalami kehancuran. Barulah ketika tahun 1956 di bangun lagi secara sederhana. Namun semakin bertambahnya umat sehingga tidak dapat menampung mengakibatkan sampai meluber beribadah di luar gereja.

Romo Kepala Paroki Santa Maria Jombang, Reverendus Dominus Albertus Widya Rahmadi Putra menerangkan, “Berdasarkan buku riwayat berdirinya gereja dijelaskan akhirnya di bangun gereja yang sekarang ini pada 27 Juli 1974. Gereja yang lama dialihkan fungsinya menjadi lembaga pendidikan SD/SMPK Wijana Jombang.”

Baca Juga: Bulaga Menuju Mall Pelayanan Publik

Dilihat dari desain atapnya yang meruncing ke atas, artinya menunjukkan sebagai sarana pembawa hati menghadap Tuhan bagi umat yang beribadah di dalamnya. Gereja Santa Maria Jombang menempatakan Romo (Pemimpin Umat Katolik) menghadap ke Barat, sementara umat ke Timur. Ditambahkan oleh Reverendus Dominus Albertus Widya Rahmadi Putra bahwa keberadaan posisi gereja menggambarkan kesakralan. Filosofi tentang arah mata angin serta terbit dan tenggelamnya matahari sebagai semiotiknya.

Arsitektur gereja tak dapat dilepaskan dari gagasan teologisnya. Kajian fungsi dan bentuk gereja Katolik menggunakan pendekatan teori sakralis. Fungsi liturgial menjadi landasan utama penataan ruang dan bentuk arsitektur gereja Katolik, yang terjadi pada masa sebelum maupun sesudah Konsili Vatikan II.

“Sehingga pada tatanan gereja Katolik yang inkulturatif, fokus ruang selalu pada area altar (sanctuary). Di sana merupakan tempat Ekaristi Kudus dilaksanakan, maka area ini menjadi area tersakral dalam tatanan ruang gereja. Pada bagian tengah gereja (nave) ialah tempat umat mengikuti perayaan Ekaristi Kudus, yang membentang dari pintu masuk (narthex) ke bagian mimbar di area altar. Berdasarkan ritual gereja inilah terjadi pembentukan ruang-ruang sakral.

Ketika sudah memasukin area untuk umat yang ingin beribadah, pada sisi kanan dan kiri terlihat gambar Santo-Santa (pengemuka agama/orang tersohor agama Katolik) memenuhi ornamen kaca jendela. Terlihat pula ornamen yang terletak di atas sisi jendela, disana terukir prosesi atau tahapan dari kisah dalam doa rosario untuk pelaksanaan Jalan Salib dengan mengisahkan Yesus bersama dengan ke duabelas muridnya, Bunda Maria ibunya, dan Yosep ayahnya.

Beberapa bangunan gereja memiliki menara lonceng. Kepemilikan lonceng ini tak diwajibkan di area gereja. Gereja Katolik Santa Maria Jombang, memiliki menara lonceng dengan tinggi kurang lebih mencapai sepuluh meter. Jika pada gereja Katolik lonceng akan berbunyi saat perayaan Ekaristi Kudus di peringatan Paskah (Kenaikan Isa Almasih) dan Natal (Kelahiran Isa Almasih). Kegunaan kesehariannya sebagai pertanda disetiap paruh waktu dalam satu hari.

“Lonceng di Gereja Santa Maria Jombang memiliki berat kurang lebih satu ton dengan diameter sekitar dua meter. Di atas menara, lonceng dikaitkan dengan gantungan besi dan tergantung tali berbahan goni sebagai sarana kayuh membunyikan lonceng,” jelas Romo yang sering dipanggil Widya ini.

Reporter/Foto: Chicilia Risca/Istimewa
Lebih baru Lebih lama