JOMBANG – Kesenian daerah merupakan peninggalan adiluhung yang patut dilestarikan. Selain mencerminkan identitas daerah tersebut, tentunya banyak nilai-nilai yang baik sehingga perlu untuk terus dilanjutkan oleh generasi muda. Jangan sampai ditinggalkan dan mengalami kepunahan.

Menyadari pentingnya hal itu, Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Jombang mencoba melestarikannya dengan langkah yang sederhana yaitu mengenalkan kepada peserta didik di Kota Santri Ini. Seperti diungkapkan Kepala Seksi (Kasi) Kesenian, Bidang Kebudayaan, Disdikbud Kabupaten Jombang, Heru Cahyono, S.Sn bahwa tidak lama lagi akan diselenggarakan seminar dan pelatihan Jaran Dor.

Dipilihnya Jaran Dor bukannya tanpa alasan, menurut Heru Cahyono, Kabupaten Jombang merupakan satu di antara empat kabupaten/kota yang melahirkan kesenian ini, yakni Kota Mojokerto, Malang, dan Batu. Fokus kabupaten/kota lainnya pada kesenian tradisional Bantengan, sehingga Kabupaten Jombang memilih focus mendalami dan mengembangkan Jaran Dor.

“Sudah saatnya untuk mengeksplorasi secara totalitas. Sebab hampir puluhan tahun kesenian tradisional Jaran Dor tidak tersentuh secara spesifik. Meski tak dipungkuri setiap tahunnya selalu mendapat fasilitas minimal satu kali pementasan,” terang Heru Cahyono saat ditemui di ruang kerjanya.

Baca Juga: Pendidikan Diniah Terkendala Membaca Huruf Pegon


Pria berkumis tipis ini juga menceritakan, meski dilaksanakan pertujukkan dalam bentuk festival yang saat itu sudah diawali tahun 2019, tak ada respon aktif dari pihak sekolah. Semisal, ketika terdapat kompetisi pada ajang Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat kabupaten dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisi (PPST) jarang yang menampilkan kesenian Jaran Dor secara mendalam.

“Sehingga selama dua tahun ini kami fokus pada pengembangan dengan mendatangkan para penggiat seni Jaran Dor dari beberapa wilayah seperti Kecamatan Tembelang, Plandaan, dan Bareng agar berembuk menemukan khasanah yang mampu dijadikan acuan pelestarian leluhur. Intinya, perpaduan gerakan dari masing-masing pegiat dikolaborasikan dan mampu melahirkan persepsi yang selaras sehingga nantinya menjadi arahan untuk ciri khas gerakan serta piranti dari Jaran Dor Jombang,” ungkapnya.

Heru Cahyono menjelaskan, “Nantinya ada pula tindak lanjut yang mendalam dari sejarah dengan pengamatan yang menghasilkan kajian ilmiah kesenian tradisional Jaran Dor. Dari sinilah yang terpenting ialah nilai dari Jaranan Dor itu sendiri. Kajian ilmiah oleh guru sejarah nantinya akan dijadikan sebagai syarat untuk pengajuan warisan budaya tak benda dari Kabupaten Jombang.”


Sementara itu berkaitan gambaran pertunjukkan Jaran Dor, diungkapkan salah satu pegiatnya asal Mojowarno, Harjo Suyitno. Menurutnya, pentas Jaran Dor diawali dengan lagu pembuka misalnya Sekarsari dari Jawa Timur yang mengiringi para penari. Selanjutnya sejumlah penari lain muncul meggunakan replika kuda dari anyaman bambu. Gerakannya pun disesuaikan dengan properti yang digunakan (Kuda, red) sehingga tampak menyatu dan hidup.

“Segi cerita kebanyakan masih mengisahkan peristiwa lampau. Utamaya perlawanan terhadap penjajah yang ada di Indonesia. Namun mesti cermat kalau menyaksikan sehingga tidak hanya gerakan saja yang ditangkap, melainkan penceritaanya juga dapat disimak,” ungkap Harjo Suyitno.

Heru Cahyono yang juga merupakan seorang dalang menambahkan, para pelaku seperti halnya Harjono Suyitno akan menjadi tutor. Namun tak sampai menyentuh unsur magisnya, melainkan menekankan pada pembuatanan Jaranan dan tata geraknya. Penilaian akhir akan digelar unjuk pentas yang melibatkan keseluruhannya atau secara kolosal.

Reporter/Foto: Chicilia Risca Y./Aditya Eko P.
Lebih baru Lebih lama