Rahmat Sularso Nh.*


Laju perubahan zaman tentu beriring dengan segala hal yang berkaitan dengan kemodernan. Termasuk juga dalam dunia pendidikan, harus menyesuaikan adanya perubahan tersebut. Utamanya menyangkut erat pola interaksi berkehidupan peserta didik.

Jadi jangan sampai sama dalam melihat peserta didik sekarang (milenial) dengan yang dulu. Seperti diketahui dalam proses pembelajaran, keberadaan peserta didik adalah kunci selain tentunya guru sebagai pendidik dan kepala sekolah yang merupakan pemegang kendali utama dalam memenejemen ritme di sekolah. Sehingga dengan demikian guru pun masuk ke dalam dunia peserta didik.

Timbulnya banyak kekerasan di lingkungan sekolah sekarang ini bukan saja bersumber dari guru kepada peserta didik. Bisa sebaliknya hingga melibatkan andil orang tua yang merupakan wali peserta didik hanya karenanya terpantik cerita ketidakadilan perlakuan ke buah hatinya. Lantas meletus amarah dengan beragam tindakan yang kurang etis.

Baca Juga: KPK Ajak Masyarakat Anti Korupsi

Perlunya masuk ke dunia peserta didik adalah upaya kecil dalam memasuki kebiasaan-kebiasaan hingga pola pikir yang dijalankan. Tak dipungkiri bila peserta didik saat ini lebih banyak mendapatkan wawasan dan pengetahuan seiring dengan mudahnya mengakses informasi. Khususnya melalui platform media sosial hingga laman pemberitaan. Akibatnya bila cara pencariannya tidak sesuai, maka simpulan yang diperoleh adalah sebuah kekeliruan serta berdampak fatal andaikata diterjemahkan dalam kehidupannya secara pribadi. Utamanya di lingkungan sekolah yang menuntut peserta didik harus mampu beradaptasi dengan cepat dan beranekaragam karakter hingga latarbelakang.

Kekerasan di sekolah memang banyak rupanya. Baik sekedar dikarenakan ikhwal candaan hingga serius, yang sengaja dilakukan sebagai luapan hati. Bisa berawal dari ujaran-ujaran (bullying) hingga merebak pada fisik yang berakhir pada cedera maupun luka tak berkepanjangan sampai berujung pada masa depan peserta didik bisa dihinggapi awan gelap.

Memasuki dunia peserta didik memang tidak mudah. Apalagi dengan adanya jenjang usia dan lingkup pergaulan yang berbeda. Seolah telah terbentang sebuah batas yang memisahkan untuk mengakrabkan diri antar kedua belah pihak. Langkah pertama haruslah mengikis dimensi itu, yakni dimensi jarak. Jarak usia, lingkungan, jalan pikiran, realisasi ujaran, dan perbuatan tentunya.

Apalagi guru maupun kepala sekolah yang sudah merengkuh usia senja. Secara psikologis saja jelas berbeda, terlebih peserta didik di tingkatan SD atau SMP. SD merupakan gerbang utama peserta didik melihat dunia pendidikan. Terlebih perbedaan yang tajam ketika peserta didik sempat menikmati masa-masa penuh tawa dan permainan (kadang-kadang juga mendapat lahar amarah orang tua atau guru). Selanjutnya meruncingkan fokus aktivitasnya ke pembelajaran mutlak yang membutuhkan olah pikir lebih serius.

SMP selain melanjutkan fase sebelumnya dengan tingkatan materi pembelajaran yang lebih curam, peserta didik dihadapkan masalah pribadi yang lebih serius yakni pencarian jati diri. Sewaktu pencarian jati diri, sama halnya yang pernah dialami guru/kepala sekolah saat muda salah satunya berusaha kerasa menaklukan pergolakan batin yang menderanya. Belum lagi muncul ketertarikan terhadap lawan jenis hingga dapat mengkategorikan wujud fisik. Entah itu berkaitan dengan keindahan, kecantikan, hingga penilaian-penilaian yang terbilang negatif.

Ketika berhasil memasuki dunia peserta didik yang bermacam-macam tersebut, maka strategi pembelajaran yang digunakan akan sesuai. Demikian juga dengan penanganan saat membaca potensi yang akan ditimbulkan oleh peserta didik tersebut. Baik dari lingkungan tumbuhnya, perwujudan asli karakternya, hingga kompleksitas permasalahan yang ditimbulkan.

Kekerasan yang bermuara dari peserta didik pada akhirnya dapat dibaca lebih awal sekaligus ditangani dengan cermat penuh dengan kebijaksanaan yang mulia. Jangan sampai dipaksakan selaku mengikuti kehendak guru/kepala sekolah yang notabene sudah dewasa. Perbedaan dua dunia ini wajib disadari sebagai langkah awal menghindari terjadinya kekerasan di sekolah.

Orang Tua, Guru, dan Kepala Sekolah Samakan Visi


Sementara itu orang tua yang merupakan wali peserta didik, guru sebagai ujung tombak pembelajaran, dan kepala sekolah nahkoda menjalankan roda pergerakan lembaga pendidikan harus mengikat satu kesamaan dalam satu kunci yakni visi.

Orang tua harus membuka cara pandang dalam pendidikan modern seperti saat ini. Mau tidak mau orang tua mewarisi pola pendidikan atau pembelajaran dari orang tua dahulu ----kakek/nenek peserta didik. Andaikan masih memegang visi mendidik dan pembelajaran yang sama, jelas relevansinya tidaklah sesuai dengan saat ini yang penuh dengan kebebasan. Meminjam istilah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional yang juga big bos transportasi daring yaitu Merdeka Belajar.

Bentuk-bentuk yang menggambarkan pengengkangan dan pembatasan ruang gerak hingga berpikir, jelas akan menjadi sebuah benturan. Akibatnya sering terjadi persilangan pendapat soal menyikapi pendidikan dan pembelajaran. Orang tua jika masih memegang teguh prinsip-prinsip pendidikan serta pembelajaran lampau, hampir pasti memantik pertikaian. Bukan saja dengan buah hatinya, melainkan civitas yang menjalankan pendidikan/pembelajaran di sekolah.

Demikian pula guru dan kepala sekolah, sering-sering merajuk komunikasi yang baik dengan orang tua. Selain menyampaikan program pendidikan dan pembelajaran yang akan dicapai serumpun juga dengan pengalaman yang telah dilalui peserta didik, kiranya penting menggali seraya mewadahi informasi beserta masukkan dari orang tua.

Jika memungkinkan ditarik benang merah untuk implementasi kebijakan hingga solusi menghadapi masalah yang ada kenapa tidak?

Guru berikut juga kepala sekolah tetap teguh menjalankan profesinya dengan keprofesionalan yang dijunjung tinggi sesuai dengan kode etik tentunya. Alhasil cita-cita menghapuskan kekerasan di sekolah dapat terealisasi dengan penuh keharmonisan dan kepercayaan tinggi antar semua pihak yang terlibat langsung di dalam jalannya perputaran pendidikan serta pembelajaran.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pendidikan
Lebih baru Lebih lama