MOJOAGUNG – Kesenian bela diri semacam pencak tidak hanya digunakan untuk perlindungan. Memang, awalnya bela diri dipelajari guna menyesuaikan dengan kondisi alam, namun sekarang makin berkembang sehingga menjadikannya sebagai seni pertunjukkan. Hal itu tak luput dari gerakkan yang diperagakan cukup menarik, bahkan tak jarang mengundang decak kagum.

Salah satu seni bela diri itu adalah Pencak Bondan dari Jawa Tengah. Selain menggunakan kemampuan kanuragan, juga identik dengan kendi, boneka dan payung. Tapi di Jombang, Pencak Bondan mengalami sedikit perubahan. Selain memakai kendi juga dimainkan dengan hewan berbisa seperti ular kobra.

Perintis seni bela diri Pencak Bondan di Telatah Kebo Kicak adalah Nur Khoirul Huda. Dia, menjelaskan bahwa Pencak Bondan yang dikembangkan olehnya adalah khas Jombangan yang mengangkat unsur Kerajaan Majapahit. Tidak dipungkiri bahwa Jombang sendiri merupakan bagian dari kerajaan tersebut. Penggunaan ular berbisa juga bentuk keunikan yang dimunculkan dalam Pencak Bondan.

Baca Juga: Satpol PP Jombang Tertibkan Pelajar yang Berkumpul di Ruang Publik

“Pencak Bondan merupakan pencak dari kalangan pondok pesantren sebagai ajang penerapan ilmu keagamaan, sosial masyarakat dan budaya. Atraksinya memang terbilang cukup ekstrim yaitu berjalan di atas pecahan kaca, duri pohon salak, cambuk, dan menari dengan ular kobra. Itu merupakan kekuatan doa yang diberikan Allah dan tidak ada sekalipun unsur mistis,” papar Nur Khoirul Huda ketika ditemui di kediamannya.

Bondan, menurut ayah empat anak itu, adalah kendi. Unsur yang diterapkan dalam seni bela diri tersebut merupakan filosofi dari kendi itu sendiri. Otak-atik Bahasa Jawanya kendi memiliki arti kendalining diri (kendali diri). Oleh karenanya pencak yang mulai dirilis pada 1992 ini seluruhnya untuk peningkatan jiwa dan rohani bagi orang yang mempelajarinya.

“Selain itu, makna dari kendi jika dijabarkan adalah sebagai wadah yang bisa diisi dan mengisi. Artinya jika pada manusai yaitu orang tersebut bisa menerima ilmu dan mengamalkannya kepada orang lain juga,” kata Nur Khoirul Huda.

Perbedaan Pencak Bondan dengan pencak yang lain adalah dari sisi gerakannya. Gerakan pada pencak silat biasanya tegas dan kuat, namun Pencak Bondan gerakannya lebih halus seperti tarian, namun masih dalam sikap tegas. Gerakannya dilakukan di atas kendi, sambil berlenggak-lenggok dengan ular. Sudah begitu, ular yang digunakan juga masih liar. Yakni, yang didapatkan beberapa hari sebelum pementasan. Hal tersebut dilakukan agar hewan jenis reptil itu benar-benar masih agresif karena belum pernah berinteraksi dengan manusia.

Nur Khoirul Huda menerangkan bahwa gerakan dalam Pencak Bondan disesuaikan dengan liak-liuk ular ketika dipegang. Hal itulah yang menjadikan gerakan Pencak Bondan terlihat menawan. Selain itu iringan musik kendang, gong, bonang dan jidor juga menambah keindahan dari pertunjukan Pencak Bondan.

“Meggunakan ular berbisa dan agresif tersebut merupakan gambaran dari interaksi kepada masyarakat luas. Suatu bahaya bisa dihadapi dengan tenang dan hati-hati jika seseorang mau mempelajarinya serta berdoa kepada Allah. Kami juga tidak langsung dapat berinteraksi dengan ular tersebut jika kita mempelajari karakternya. Karena itu perlu mempelajarinya lebih dulu,” imbuhnya.

Kedepan, laki-laki berusia 46 tahun tersebut juga akan mengganti ular kobra dengan ular luwuk. Menurutnya ular luwuk memiliki warna seperti kata Jombang yaitu ijo dan abang. Hal itulah yang akan menambah kekhasan seni bela diri ini. Selain itu Pencak Bondan juga diajarkan kepada beberapa santri dan anak-anak di Desa Mancilan, Mojoagung.

“Insya Allah banyak manfaatnya, selain dari unsur agama dan bela diri, anak-anak juga akan sayang dengan binatang. Kebanyakan takut dengan ular dan langsung membunuhnya. Kalau di sini mereka akan lebih suka dengan ular,” tutup Nur Khoirul Huda sambil tersenyum.

Reporter/Foto: Aditya Eko P./Istimewa
Lebih baru Lebih lama