Dra. Nanik Masriyah*

Ibu kita Kartini putri sejati

Putri Indonesia harum namanya

Ibu kita Kartini pendekar bangsa

Pendekar kaumnya untuk merdeka

Wahai ibu kita Kartini

Putri yang mulia

Sungguh besar cita-citanya

Bagi Indonesia

Ibu Kita Kartini - WR Supratman

Lagu tersebut terasa asing bagi para remaja milenial saat ini, bahkan mungkin juga ada yang tidak mengenal. Berbeda jika kita mendengar lagu “Entah Apa, Nyaman, Kartonyono Medot Janji, Mundur Alon-alon” dan sejenisnya, tentu begitu familiar. Lagu Ibu Kita Kartini baru bergema dan mengalun merdu mungkin sekali dalam satu tahun, itupun jika sebuah lembaga pemerintah maupun swasta mengingatnya atau memperingatinya, jika tidak tentulah lagu tersebut cukup sebagai penghias album kenangan.

Baca Juga: Serentak Laporkan Pengadaan Belanja Modal

SMP Negeri 1 Kudu boleh berbangga, karena hampir setiap tahun dengan cukup meriah selalu memperingatinya. Para peserta didik dan ibu guru diwajibkan memakai kebaya dan bersanggul yang mencerminkan ciri fisik R.A Kartini. Berbagai lomba pun dilaksanakan yang diikuti oleh masing-masing perwakilan kelas. Namun, sebatas itukah kita memaknai perjuangan R.A Kartini. Apakah cukup dengan memakai kebaya dan bersanggul seolah-seolah kita sudah melaksanakan amanah perjuangannnya?

Boleh jadi hal tersebut merupakan rangkaian kecil untuk mengenang jasa-jasa R.A Kartini yang begitu besar. Sebuah kisah yang pernah penulis baca ternyata masih ada juga sebagian orang yang berpikir tradisional. Hal ini dikisahkan oleh seorang perancang busana terkenal Anne Avantie. Anne Avantie memfokuskan pada kebaya modern. Pernah ada kritik yang mengatakan, “Andaikan R.A Kartini masih hidup, pasti akan menangis jika melihat kebaya rancangannya (Anne Avantie) telah dimodifikasi menjadi kebaya modern,” hal itu dianggap telah menyalahi pakem berkebaya.

Dari ilustrasi tersebut harusnya kita tidak perlu apriori dan berpikir negatif, bisa jadi hal tersebut apa yang telah dilakukan oleh Anne Avantie mencerminkan upaya kita atau seseorang maupun lembaga untuk bisa mengenang jasa-jasa Kartini dan tidak harus memakai kebaya termasuk juga sanggul yang sama seperti dipakai Kartini. Sebab situasi dan zaman sudah berubah. Untuk itu, mari kita sedikit mengenal siapakah Kartini dan bagaimanakah cita-cita luhurnya.

R.A Kartini lahir pada tanggal 28 Rabiulakhir tahun Jawa 1808 atau 21 April 1879 di Jepara. Cucu dari Pangeran Rio Tjondronegoro, Bupati Demak yang terkenal dan suka akan kemajuan. Beliaulah bupati yang pertama yang mendidik anak-anaknya laki-laki atau perempuan dengan pelajaran Barat atau modern. Malang bagi R.A Kartini, ketika berumur 12 tahun dipaksa dipingit, karena tradisi bagi perempuan Jawa kala itu. Semangat pantang menyerah, R.A Kartini yang saat itu sudah menggebu-gebu ingin kaumnya maju dan pintar terus berusaha mencari cara. Berusaha menerobos tembok dinding penghalang yaitu adat-istiadat yang membelenggunya. Beruntung walaupun dipingit masih mempunyai sahabat-sahabat yang baik dari Eropa.

Suatu hari R.A Kartini diberi kesempatan “Kemerdekaan Resmi”, saat itu masih berusia 16 tahun dengan diizinkan keluar dari tempat tinggal. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan R.A Kartini dengan melihat dunia luar yang selama ini diimpikannya. Semangatnya menyala-nyala dengan berbagai cara dan upaya berusaha mewujudkan cita-citanya. Di benak R.A Kartini sudah tertanam perempuan tidak boleh bodoh, perempuan harus pintar dan maju. Beruntunglah sahabat-sahabat Kartini orang Eropa mendukung dan memberikan semangat dengan mengirimkan buku untuk dibaca. Karena kebebasan yang tidak didapatnya dan sangat terbatas, maka pikiran-pikiran Kartini yang begitu besar banyak dituliskan dalam bentuk surat kepada sahabat-sahabatnya. Salah satu cuplikan suratnya yang mencerminkan bagaimana cita-cita Kartini agar kaum perempuan bisa maju.

“Dari perempuan pertama-tama manusia itu menerima didikannya, diharibaannyalah anak itu belajar. Merasa dan berfikir, berkata-kata, dan makin lama makin tahulah saya, bahwa didikan yang mula-mula itu “bukan tidak besar” pengaruhnya bagi kehidupan manusia dikemudian hari. Dan betapa pula Ibu Bumi Putra itu sanggup mendidik anaknya, bila mereka itu sendiri tidak berpendidikan”.

(Surat untuk Nyonya Abdendanom, 21 Januari 1901)

Dikutip dari buku : Habis Gelap Terbitlah Terang

Dari kutipan surat tersebut dapat diterjemahkan bahwa menurut Kartini, perempuan Indonesia harus mendapat pendidikan sejajar atau sama seperti kaum pria. Walaupun nantinya akan menjadi ibu. Ibu yang akan mendidik anak-anaknya. Bagaimana anak akan menjadi manusia yang pandai, berguna bagi masyarakat, jika ibu yang mengasuhnya hanyalah ibu yang bodoh?

“Pendidikan anak mula-mula didapat di rumah, terutama dari ibunya.Oleh karena itu, pendidkan keluarga sangat menentukan kehidupan seorang kelak. Kemudian, kala anak itu berangkat besar, dia akan menerima pendidkan di sekolah. Oleh karena itu, pendidikan di rumah dan di sekolah haruslah saling mengisi. Agar pendidkan di rumah berhasil, seorang perempuan yang akan menjadi ibu haruslah seorang yang terdidik pula yang mempunyai pandangan luas”. (Buku Pintar Bahasa Indonesia I )

Nah, sekarang bagaimana mengkondisikan cita-cita R.A Kartini di abad yang serba teknologi ini. Sudahkah cita-citanya terwujud dan kita sudah mewujudkannya? Pada dasarnya upaya peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan di Indonesia sudah dimulai pada 22 Desember 1928. Bukan untuk menyaingi pria, tapi untuk menunjukkan bahwa perempuan mampu memberikan hal yang bermanfaat bagi masyarakat.

Sebagai contoh, kita mengenal sosok Megawati sebagai mantan pemimpin tertinggi di Indonesia, Rita Subowo mantan orang nomor satu di jajaran olahraga (Ketua KONI) yang notabene dihuni oleh kaum laki-laki. Di Jawa Timur saat ini kita mengenal sosok perempuan-perempuan tangguh dan hebat. Mulai dari Gubernur, walikota, dan bupati banyak didominasi kaum perempuan. Bahkan sampai muncul jargon The Power of Emak-Emak. Perempuan-perempuan hebat itu, siapa yang tidak mengenal Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya dengan segudang prestasi dan dinobatkan sebagai walikota terbaik di dunia.

Kemudian Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jawa Timur yang tak kalah hebatnya juga. Di Kabupaten Jombang sendiri kita mempunyai sosok hebat yaitu Mundjidah Wahab yang menjabat bupati. Di lembaga legislatif kaum perempuan juga sudah memberikan kontribusi, begitu pula di lembaga pendidikan jabatan tertinggi kepala sekolah juga banyak yang dijabat kaum perempuan dan tentunya masih banyak lagi contoh perempuan-perempuan tangguh saat ini yang sudah mendapatkan kedudukan yang sejajar dengan kaum laki-laki.

Tepatlah kiranya kalau peringatan hari Kartini kali ini, perempuan-perempuan di Indonesia, khususnya di Kabupaten Jombang berupaya terus mengembangkan potensi diri dan banyak belajar. Sebagai seorang pendidik merupakan momentum yang tepat untuk mengingatkan pada peserta didik tentang cita-cita luhur Kartini. Pada peringatan hari Kartini kali ini marilah kita memberikan keleluasaan pada anak didik kita untuk menggali dan mendiskripsikan sendiri sejauh mana anak didik kita mengenal sosok Kartini dengan cita-cita luhurnya sebagai pendekar kaum perempuan.

Akhirnya, selamat memperingati hari Kartini bagi generasi milenilal perempuan khususnya. Mari kita gali potensi diri agar kita bisa mencapai prestasi tertinggi. Aamiin.

*) Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 1 Kudu
Lebih baru Lebih lama