JOMBANG – Sudah berjalan lebih dari dua bulan terakhir pembelajaran di rumah berlangsung. Seluruh aktifitas pembelajaran di sekolah di tiadakan. Langkah ini diambil oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI lantaran demi mengurangi penyebaran Korona. Sebuah virus mematikan yang awalnya merebak di kawasan Wuhan, Tiongkok. Kini sudah sangat pesat hampir di seluruh penjuru dunia, hingga Indonesia dan tiba juga di Jombang.

Hingga Laporan Utama ini di tulis (19/5) tercatat data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang menyebutkan bahwa penderita kebanyakan merupakan pekerja di wilayah yang masuk pada zona merah seperti Surabaya. Untuk itu harus berputar otak 180° mensiasati pembelajaran di rumah dengan baik agar capaian dari kurikulum mampu teraih.

Sayangnya sampai sekarang belum ada sebuah kebijaksanaan yang konkrit dari kementerian yang dipimpin oleh inisiator stratup pelayanan jasa transportasi daring tersebut. Baik mulai teknis pelaksanaan, ukuran keberhasilan, hingga dukungan yang diberikan. Hanya sebatas instruksi semata yang kesemuanya nanti diserahkan kembali kepada pelaku pendidikan di masing-masing daerah seperti Dinas Pendidikan maupun sekolah.

Jelas hal ini sangat merepotkan dan bakal menjadi sebuah bencana gunung es. Artinya, tidak adanya ukuran yang jelas dalam ketercapaian pembelajaran maka yang terjadi adalah akan muncul sebuah generasi tak terbaca dengan seksama kualitas pendidikannya.

Mungkin untuk jenjang pendidikan reguler sedikit banyak mendapat perhatian. Laiknya beberapa waktu sebelumnya dikeluarkannya imbauan meniadakan Ujian Nasional, kemudian menyerahkan kelulusan kepada sekolah dengan formulasi yang dirembug sendiri melalui serangkaian tugas yang diberikan.

Sementara di Sekolah Luar Biasa (SLB) belum tersentuh sama sekali. Padahal diketahui pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ini seringkali di pandang sebelah mata oleh masyarakat. Sedangkan dalam falsafah pendidikan di negeri ini, pendidikan merupakan hak mendasar bagi seluruh warga negaranya. Jelas sangat tidak elok juga ketika pemerintah juga mengabaikannya.

Padahal meskipun tergolong sebagai ABK, peserta didik SLB memiliki potensi yang mumpuni untuk di kembangkan. Bahkan tidak sebatas berhenti di sana saja, dari potensi tersebut besar kemungkinan sebagai jembatan membuka masa depan yang lebih cerah. Bagaimana pun juga peserta didik di SLB harus mampu berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari), tidak bakal mungkin harus tergantung kepada orangtua maupun keluarga dekatnya seumur hidup.

Aktivis SLB Jombang, Achmad Fathul Iman mengatakan masih banyak sekali bentuk diskriminasi yang terjadi masyarakat. Baik dalam interaksi hubungan antar individu (perundungan, red), pelayanan publik, hingga kesempatan guna mengembangkan diri sangatlah terbatas.

Baca Juga: Thohari, S.Pd Meyakinkan Masyarakat Kembali Belajar


“Misalkan saja dari kurikulumnya, ada beberapa materi yang sebenarnya tidaklah sesuai dengan keterbatasan mereka. Oleh karena itu saya berharap bahwa ada sebuah riset khusus dalam penyusunan kurikulum sesuai ketunaan peserta,” ungkap Achmad Fathul Iman ketika dihubungi melalui sambungan WhastApp.

Data Kemendikbud menyebutkan, dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia, 62 di antaranya tidak memiliki SLB. Jumlah 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia pun baru 10 persen yang bersekolah di SLB. Ada beberapa penyebab yang melatari persoalan tersebut, yaitu sekitar 2.000 SLB yang ada di Indonesia, 75 persennya merupakan SLB swasta yang menarik biaya lebih mahal. Selain itu, penyebaran SLB juga sangat terbatas. Lokasi SLB pada umumnya berada di daerah perkotaan.

Pemerhati Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Indonesia, Bahrul Fuad, M.A menyoroti bahwa SLB sebagai tumpuan harapan kaum ABK mendapatkan pendidikan yang layak masih menjadi sekolah yang langka. Khususnya pada wilayah tertentu yang jauh dari akses perkotaan hanya sedikit yang terdapat SLB. Ini sama sekali tak memadai dengan jumlah kaum ABK yang menurut data WHO berjumlah 15% dari jumlah penduduk setempat. Ini sangat bertolak belakang dengan nilai nilai keadilan. Difabel, dengan kondisi fisik yang sangat tidak memungkinkan untuk bergerak secara leluasa justru di arahkan untuk menempuh pendidikan ke tempat yang jauh dan memerlukan kos transpotrasi yang tinggi.

“Sungguh sangat tidak adil bagi para ABK yang kondisinya sangat memprihatinkan tapi di paksa untuk mengakses pendidikan yang tempatnya sangat jauh dari mereka berdomisili. Sementara pasilitas jemputan dari pemerintah sama sekali tak ada untuk mereka. Kalau sudah seperti ini, harus merogoh kantongnya cukup dalam untuk sekedar biaya transportasi. Belum lagi dengan biaya-biaya lainya,” tambah Bahrul Fuad ketika dikonfirmasi melalui gawai.

Menjalani kehidupan sehari-hari, lanjut Bahrul Fuad, para ABK masih mengalami kesulitan. Sementara peran pemerintah dalam memenuhi hak-hak ABK masih perlu di pertanyakan. Menyediakan fasilitas yang bisa di akses oleh para ABK saja, pemerintah masih kurang.

Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 pasal 2 menunjukan bahwa setiap masyarakat yang ada di negri ini sudah di jamin segala hak-haknya oleh negara. Sedangkan dalam ayat 14 dalam pasal yang sama lebih di tekankan lagi bahwa Unit Layanan Disabilitas (Difabel) adalah bagian dari satu institusi atau lembaga yang berfungsi sebagai penyedia layanan dan fasilitas untuk Penyandang Disabilitas.

Terlebih sekarang ini dengan pemberlakuan pembelajaran di rumah jika tidak mendapat sentuhan dari pemerintah semakin menambah beban tersendiri sebenarnya. Konsep pembelajaran peserta didik ABK sangat jauh berbeda dengan yang reguler atau sehat secara jasmani dan rohani. Mereka peserta didik harus memperoleh penanganan langsung. Tidak bisa hanya sekedar dijelaskan melalui ujaran semata. Walaupun juga sudah menggunakan pelbagai media pembelajaran yang sangat mumpuni.

Dibutuhkan pendampingan hingga teladan yang tepat sesuai dengan kemampuan masing-masing peserta didik. Setiap ketunaan kalau menjurus lebih kedalam tentu berbeda satu dengan lainnya. Oleh karena itu dalam penanganannya, baik menentukan strategi, metode, serta pencapaian pembelajaran tidak bisa disamaratakan.

“Sebagaimana yang kita ketahui, metode pembelajaran di SLB itu menggunakan pendekatan personal atau individual artinya guru tidak menggunakan pendekatan generalistik dalam mengajar ABK, karena masing-masing anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik dan kondisi (hambatan) yang berbeda,” lanjut laki-laki yang juga sebagai Komisioner Komnas Perempuan tersebut.

Terkait dengan pendidikan pada ABK, Bahrul Fuad berpendapat minimal ada tiga dimensi yang harus diterapkan, yaitu mengembangkan budaya ABK, membangun kebijakan ABK, dan mengembangkan metode pembelajaran ABK. Selama ini pemerintah hanya gemar membuat kebijakan namun tidak diteruskan hingga pada tataran praktis bagaimana guru mengajar dengan metode pembelajaran ABK, apalagi mengembangkan budaya ABK. Sementara itu sampai saat ini kebijakan-kebijakan yang ada diserahkan kepada sekolah masing-masing.

Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Seksi Pendidikan SMA dan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PK-LK), Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Wilayah Kabupaten Jombang, Asiyah. Menurutnya memang secara spesifik kebutuhan ABK ini belum mendapatkan pelayanan yang ideal sesuai kekhususannya. Sehingga langkah sedari dini pada kepekaan lingkungan sekitar utamanya orangtua, sangat penting.

“Perannya ini tak hanya sekedar menjadi pendamping, tetapi juga memahami kebutuhan buah hatinya pada kekhususan yang di miliki. Kami selaku kepanjangan tangan provinsi tak bisa menekan sebuah kebijakan di kantor cabang. Termasuk atas kebijakan yang diberikan guna kegiatan, perihal komponen dalam pembelajaran serta modul khusus di masa pandemi ini yang secara keseluruhan dilakukan di rumah menggunakan daring,” terang Asiyah.

Asiyah berpendapat, sejatinya bentuk keluwesan diutamakan, di sana ada kepedulian dari orang terdekat sebagai pembuka gagasan awal agar mampu melaksanakan proses pembelajaran pada koridor kurikulum untuk SLB. Sehingga alternatif yang dijalankan saat ini, setiap guru pada lembaga SLB mengembangkan kreativitas serta berinovasi dalam mendefenisikan pembelajaran yang secara keseluruhan berubah, yang semula bertatap muka kini harus melalui kolaborasi dengan perantara teknologi di media sosial.

“Pelaksanaan pembelajaran SLB di masa pandemi dikatakan berhasil, tentunya di lihat secara global atas keterlibatan berbagai pihak. Kita tak akan mampu hanya mengandalkan keikutsertaan pemerintah semata. Melainkan peduli bertindak sebagai kepanjangan tangan untuk berani bersikap. Pasalnya kebijakan dikembalikan kepada kondisi sekolah dengan spesifikasi ketunaan peserta didik,” ungkap Asiyah.

Melihat dari rasio jumlah guru dengan peserta didik yang tersebar di 21 lembaga, dua diantaranya SLB Negeri jumlahnya tak sebanding. Jumlah peserta didik kurang lebih 800 yang idealnya jumlah guru sesuai jurusan ini juga satu per dua dari jumlah tersebut. Kekurangan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) terjadi di berbagai SLB. Konsekuensinya, pelaksanaan pengajaran ABK tak maksimal. Seharusnya, satu guru menangani lima ABK.

Disinggung mengenai kualitas guru di SLB, pihaknya mengaku juga masih kurang maksimal dalam melakukan pembelajarannya di sekolah. Terlebih dari lulusan guru yang mengajar beberapa ada yang masih belum linier, artinya dalam pengajarannya mereka masih belum mahir untuk menerapkan keilmuannya.

“Ada pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh pemerintah, tapi hanya beberapa saja dan itu masih terbilang sedikit. Hasilnya, beberapa guru yang ikut dalam pelatihan tersebut nantinya akan berbagi ilmu dan pengalaman kepada guru lain. Kami berharap nanti dari pemerintah pusat juga ada program-program untuk peningkatan kompetensi guru tersebut dikalangan SLB,” Keluh perempuan asal kota Surabaya tersebut.

Sementara itu Kepala SMALB Muhammdyah Jombang, Isti Rahmawati, S.Pd membenarkan bahwa kekurangan guru yang mengajar di SLB masih ada. Pasalnya satu guru yang seharusnya mendampingi dua sampai tiga peserta didik ternyata lebih. Bisa mencapai lima sampai delapan peserta didik dan sangat dirasa kurang efisien.

“Masih sangat kurang sekali. Namun kebijakan dari pemerintah pusat juga belum ada mengenai hal tersebut. Sementara ini kami harus rela mengajar dengan keterbatasan guru yang ada,” keluh Isti Rahmawati ketika ditemui di ruangannya.

Diperlukan inisiatif sendiri dari lembaga untuk mengatasi permasalahan yang mendasar ini terkait kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) gurunya. Mulai dari mengikutkan ke serangkaian pelatihan supaya memahami secara mendalam penanganan yang tepat termasuk guna melahirkan inovasi saat pembelajaran. Berikutnya menggunakan sistem simbiosis mutualisme, guru yang sudah mendapatkan pelatihan maka menularkan kepada rekan sejawat lainnya.

Termasuk salah satunya yang sangat dirasakan manfaatnya adalam mempersiapkan pembelajaran jarak jauh. Kini lebih menggunakan daring sehingga kematangan materi agar mampu menjangku dan tidak menjadikan masalah serta intensitas pertemuan yang tidak terjadi lagi. Dengan demikian, cukup melalui formulasi yang sudah di susun mampu menyampaikan materi dengan baik.

“Memang untuk formulanya belum ada dari pemerintah. Jadi kami mencari dan menyusun sendiri dengan menyelaraskan sesuai dengan kemampuan peserta didik. Walaupun di jagad maya banyak pembelajaran daring bagi peserta didik reguler, namun di SLB tidak bisa disematkan langsung. Perlu ada modifikasi sesuai kondisi peserta didik.

Pencapaian pembelajarannya, lanjut Isti Rahmawati, masih berpedoman pada silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sudah dipersiapkan oleh guru. Namun mungkin ada kesempatan perubahan dan penyesuaian dalam penerapannya karena kondisi pembatasan saat ini.

Reporter/Foto: Chicilia Risca Y., Aditya Eko P./Dok.MSP
Lebih baru Lebih lama