Letjen TNI Achmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat mengirim utusan ke Malaysia pada awal 1965 untuk melakukan penjajakan guna mengakhiri Konfrontasi. Setelah Achmad Yani dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, operasi itu dilanjutkan Mayjen TNI Soeharto.

Soeharto membentuk tim operasi khusus yang dipimpin oleh Ali Moertopo. Salah satu anggota tim adalah Des Alwi, anak angkat Sutan Sjahrir yang bersahabat dengan tokoh-tokoh Malaysia, seperti Tun Abdul Razak, Tunku Abdul Rahman, Tan Sri Ghazali Shafei, sejak sama-sama kuliah di Inggris tahun 1947. Ketika liburan kuliah pada 1948, Des Alwi mengajak Tun Abdul Razak ke Indonesia dan memperkenalkannya kepada Soeharto yang saat itu masih berpangkat mayor.

Perundingan dilakukan di Malaysia dan Bangkok, Thailand pada Mei 1966. Setelah itu, Tun Abdul Razak, Menteri Luar Negeri merangkap Deputi Perdana Menteri Malaysia, diundang ke Indonesia. Presiden Soekarno menerimanya sebagai tamu negara. Meski suasana kedua negara masih tegang, selama pertemuan itu tidak ada kesan kaku.

Ada peristiwa menarik, Presiden Sukarno menawarkan kue onde-onde dan klepon, kepada Tun Abdul Razak. Kue ini makanan khas Indonesia yang menjadi menu wajib istana untuk tamu negara. Des Alwi mengatakan suasana semakin akrab, saya hanya tersenyum saja menyaksikan. Dikutip dari “Juru Damai Saudara Serumpun” di majalah Tempo, 19–25 November 2007.

Baca Juga: SDN Tanjunggunung Peterongan Berjejaring dan Bersinergi Kunci Prestasi

Dari pertemuan kenegaraan itu, Des Alwi percaya jalan perundingan damai kian terbuka lebar. Soeharto menunjuk Adam Malik mewakili pemerintah Indonesia dalam pertemuan puncak mengakhiri Konfrontasi. Pada 11 Agustus 1966 di Bangkok, Adam Malik dan Tun Abdul Razak menandatangani perjanjian damai. Secara resmi Konfrontasi berakhir dan hubungan Indonesia-Malaysia pulih kembali. Manisnya kue klepon dalam pertemuan Soekarno dan Tun Abul Razak seakan menjadi saksi perdamaian antara negara serumpun.

Budayawan Agus Dermawan T. dalam Dari Lorong-lorong Istana Presiden menyebut bahwa masakan di Istana Negara pada semua era presiden ternyata sangatlah Nusantara, meski pernah disela sebentar oleh makanan Eropa kala B.J. Habibie menjabat presiden. Agus Dermawan menuliskan makanannya pun sederhana dan sangat Indonesia, seperti wajik, nogosari, lemper, lopis, semar mendem, dan klepon.

Agus Dermawan melanjutkan makanan yang termasuk menu itu adalah jagung rebus berurap parutan kelapa, yang syah dan merupakan tanda kenangan kedekatan Soekarno dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Berkaitan dengan makanan itu, Soekarno pernah bilang, “Go to hell, croissant, spekkoek, dan glace!”

Bahkan, Sukarno pernah mencanangkan gerakan makan jagung dalam revolusi menu makan orang Indonesia. Gerakan ini gagal karena orang Indonesia sehidup semati bersama nasi.

Mingguan Panji Masyarakat, No. 20 Tahun IV, 6 September 2000, melaporkan bahwa jangan anggap remeh jajanan pasar. Kue seperti onde-onde, lemper, atau pukis yang lebih dikenal sebagai makanan rakyat, rupanya disukai juga kalangan Istana. Presiden dan pejabat negara menyukai jajanan tradisional ini.

Hampir semua jenis jajanan pasar disukai keluarga Presiden Durrahman (Gus Dur). Begitu pula Soeharto ketika masih berkuasa. Sementara Habibie lebih suka makanan ala Eropa, demikian laporan Panji Masyarakat.

Panji Masyarakat melanjutkan, biasanya kue-kue itu dihidangkan di bagian belakang ruang utama Istana Negara. Setelah acara resmi seperti pelantikan menteri atau peresmian program pemerintah, para tamu beranjak ke bagian belakang untuk menikmati berbagai jajanan tradisional itu sembari berbincang. Kue-kue tersebut selain dihidangkan pada acara resmi, juga menjadi suguhan sehari-hari keluarga presiden.

Ada tiga pemasok hidangan itu untuk Istana Negara, yakni Ibu Nasution, Ibu Supit, dan Kukuh Pudjiantoro. Di antara ketiga pemilik katering itu, kue-kue buatan Kukuh, pemilik Katering Proklamasi, yang paling digemari keluarga presiden. Bahkan, kue buatan Kukuh beberapa kali dipesan khusus untuk hidangan pribadi keluarga Gus Dur di Ciganjur.

Gagas Ulung dalam All About Wedding (2010) menyebut bahwa Katering Proklamasi berdiri sejak 1979 dengan spesialis jajanan tradisional khas Jawa, seperti klepon, lumpia, kue mangkok, carabikang, pisang goreng, apem, semar mendem, dan lain-lain. Katering ini berusaha melestarikan dan mengembangkan makanan tradisional. Alhasil, sejak 1987 hingga kini, pihak Istana Negara selalu menunjuk Katering Proklamasi sebagai penyedia hidangan tradisional khas Jawa untuk jamuan kenegaraan.

Kue-kue jajanan pasar dihidangkan di Istana Negara, selain untuk melestarikan makanan khas Indonesia, ternyata juga memiliki makna. Agus Dermawan menyebut klepon, tepung berbalut kelapa dengan gula Jawa di dalamnya, dimaknai sebagai “negara yang berhati manis”

Sumber/Penulis: historia.id/Hendri F. Isnaeni
Lebih baru Lebih lama