BARENG – Keberadaan suatu nama tempat selalu dibarengi dengan cerita tutur yang panjang. Hal itu tak lepas dari tokoh yang membabat (baca: membuka wilayah) tersebut. Bahkan hingga kini pun sejumlah petilasan atau pundennya masih ada dan menjadi tempat sakral karena sangat dihormati oleh masyarakat setempat.

Laiknya Desa Bareng, Kecamatan Bareng tak bisa dilepaskan dari jasa Mbah Suro Negoro. Seperti diceritakan oleh Kepala Desa Bareng, Kasiyanto. Dia menjelaskan, dulunya Mbah Suro Negoro dan keluarganya mencari tempat tinggal. Tentunya harus terjangkau dengan sumber mata air (Jawa: Blandongan) atau telaga sebagai penghidupan. Peristiwa itu terjadi sekitar abad ke XVIII.

“Setelah cukup lama tinggal, Mbah Suro Negoro kemudian mengajak dua saudaranya yang lain dan sudah berkeluarga. Lambat laun semakin banyak penghuni di kawasan yang dibabat oleh Mbah Suro Negoro,” tutur Kasiyanto.

Baca Juga: Sate Kapur Santapan Unik dengan Sansasi Berbeda

Akhirnya nama Bareng tercetus dari singkatan wilayahnya yang luas (Jawa: Jembar) dan landai (Jawa: Mireng) akibat berada di bawah kaki Gunung Anjarmoro, Kecamatan Wonosalam.



Selepas meninggalnya Mbah Suro Negoro, wilayah Desa Bareng samakin meluas menjadi sejumlah dusun. Mulai dari Dusun Mojounggul dan Kembang Tanjung di sisi Barat. Kemudian Dusun Kedungpring di bagian Utara dan sebelah Selatan ada Dusun Kuwik. Selanjutnya di Timur ada Dusun Banjarsari, Kedung Galih, serta Tegalrejo.

Kasiyanto mengatakan, “Hingga sekarang masyarakatnya cukup tentram dan damai. Walaupun luasnya cukup lumayan dengan kontur tempat berbeda-beda, tetap rukun dan tidak ada perselisihan berarti.”

Sementara nama masing-masing dusun pun ada kisah tersendiri. Tapi tak sampai seperti Desa Bareng yang dibuka oleh tokoh sakti mandraguna, melainkan karena keadaan alam yang ada di sana.

Reporter/Foto: Aditya Eko P.
Lebih baru Lebih lama