Prasasti Rukam yang ditemukan di Temanggung dari sebelas abad lalu menyebutkan hidangan yang disajikan usai penetapan sima (tanah bebas pajak). Makanan itu diolah dengan cara diasinkan dan dipanggang. Beragam ikan dan daging tak dijelaskan proses pengolahannya. Prasasti-prasasti dari masa Jawa Kuno maupun Bali Kuno lebih sering mencatat makanan yang diolah dengan cara dikeringkan, diasinkan, diasap, direbus, dan dipepes (dikukus).

Peneliti Balai Arkeologi Medan, Eny Christyawaty mencontohkan orang Mentawai yang masih mengolah makanan dengan cara seperti itu. Mereka mengolah daging dengan diasap atau direbus; mengasinkan makanan dengan air laut, serta mengolah sagu, keladi, pisang, dan ikan dengan dibakar. Di kalangan orang Mentawai yang masih sangat tradisional tidak dikenal cara memasak dengan menggoreng. Cara mengolah makanan dengan menggoreng belum lama dikenal masyarakat Nusantara.

Diperkenalkan Orang Tionghoa

Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia menyebut teknik menggoreng diadopsi dari orang Tionghoa. Kuali dan penggorengan pun adalah alat memasak yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa.

Baca Juga: Bekas Galian C Wajib Direklamasi

Sinolog Thomas O. HÓ§llmann dalam The Land of the Five Flavors: a Cultural History of Chinese Cuisine menyebut bahwa menggoreng adalah salah satu dari banyak metode memasak yang sudah lama dikenal oleh orang Tionghoa. Di dalamnya termasuk teknik stir-fry (jian chao) dan deep-fry (zha).

Zha dilakukan dengan mencelupkan makanan ke genangan minyak panas. Teknik ini membutuhkan wajan atau penggorengan yang cukup dalam agar bahan makanan bisa tercelup dengan baik di dalam minyak panas. Di Nusantara, cara ini digunakan khususnya ketika membuat kudapan gorengan. Sementara itu, Jian Chao atau tumisan dilakukan dengan sedikit minyak goreng yang dipanaskan di atas api bersuhu tinggi, lalu diaduk dengan cepat.

Ahli sejarah dan budaya makanan Tiongkok di Zhejiang Gongshang University, Rongguang Zhao dalam A History of Food Culture In China, mengatakan bahwa metode ini adalah yang utama dalam mengolah masakan tradisional Tiongkok.

Sejarah kuliner Tiongkok mengungkap bahwa teknik menumis berkembang dari penggunaan peralatan masak besi. Thomas O. HÓ§llmann menjelaskan peralatan besi menjadi semakin penting untuk mengolah makanan sejak abad ke-3 dan seterusnya. Orang Tiongkok sudah memanfaatkan teknologi pengecoran untuk membuat peralatan masak jauh sebelum teknologi itu tiba di Eropa.

Menurut Thomas O. HÓ§llmann, bentuk awal wajan, wajan cekung yang dalam, mungkin telah dikembangkan ketika itu juga. Kata wok (wajan), yang berasal dari pelafalan kata pot (guo) dalam bahasa Kanton, telah umum di dunia Barat.

Karenanya, di Tiongkok masakan yang ditumis atau digoreng kemungkinan besar sudah mulai dikenal antara abad ke-3 dan ke-6, selama Dinasti Wei, Jin, Utara dan Selatan. Rongguang Zhao mengatakan sebelum peralatan masak dari logam ditemukan, teknik ini tidak digunakan dalam masakan Tiongkok. Orang Tiongkok kuno tak melakukannya karena bisa merusak kuali gerabah.

Penggunaan Minyak

Di Nusantara, keterangan mengenai makanan yang digoreng baru ditemukan pada masa yang lebih muda. Salah satunya dalam Serat Centhini karya bersama para pujangga Keraton Surakarta yang dipimpin Sunan Pakubuwono V, dan diselesaikan pada 1814.

Di naskah itu diceritakan tentang sesaji dalam upacara. Ceritanya beragam masakan lauk pauk lengkap dalam acara kendurian upacara pernikahan. Di antaranya masakan berbahan daging. Ada yang ditusuk, disapit, dibakar, digoreng, direbus, maupun dikukus. Disebut juga menu sayuran yang ditumis.

Tampaknya, orang Nusantara mulai terbiasa menggoreng makanan didorong oleh pemanfaatan buah kelapa sebagai minyak dan masuknya kelapa sawit pada abad ke-19. Pada awal abad ke-20, minyak kelapa menjadi hasil utama dari budidaya kelapa. Dari keperluan domestik, minyak kelapa kemudian menjadi komoditas perdagangan.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rucianawati dalam “Usaha Kelapa Rakyat di Daerah Jawa Timur pada Awal Abad ke-20” yang terbit di Lembaran Sejarah Volume 4 2001, mencatat kala itu juga sudah ada beberapa pengusaha Eropa dan Tionghoa yang mengolah buah kelapa dengan mesin modern. Sedangkan rakyat membuat minyak kelapa langsung dari buah kelapa yang masih segar secara tradisional.

Ragam panganan yang digoreng pun menjadi banyak diperjualbelikan. Seperti disaksikan Justus van Maurik, seorang pengusaha cerutu, ketika melancong ke Jawa pada abad ke-19. Dalam Indrukken van een totok (1897), dia bercerita tentang keberadaan para penjual makanan di warung pinggir jalan. Mereka menjual nasi, sayur, dan gebakken vischjes (ikan goreng) yang dibungkus bladeren (daun pisang).

Di perkampungan orang Tionghoa, Justus van Maurik juga menjumpai beberapa warung kecil yang menjajakan berbagai hidangan, seperti nasi, ikan goreng dan asap, dendeng, sambal, kopi, buah-buahan, kembang gula, dan aneka macam kue.

Sumber/Rewrite: historia.id/Tiyas Aprilia
Lebih baru Lebih lama