JOGOROTO – Dunia kesenian tak lepas dari akulturasi kebudayaan. Entah itu di dalam negeri sendiri atau bahkan dari luar negeri. Seperti Zikir Saman, sebuah kesenian Timur Tengah yang mampu masuk dan diterima oleh masyarakat di Kota Santri.

Meski kini jarang terdengar, namun para pelakunya masih aktif dan melakukan pentas kecil saat ada hajatan, semisal peringatan hari besar Islam. Salah satu pelaku seni itu adalah H. Syamsuddin yang tinggal di Dusun Kebun Melati, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto.

Dikisahkan oleh Syamsudin ketika Majalah Suara Pendidikan menemui di kediamannya, dia mulai mendalami Zikir Saman saat usia 15 tahun. Ceritanya, sekitar tahun 1960-an ada seorang tokoh agama dari Bangkalan, Madura, H. Rifaei datang ke desanya dan mengenalkan kesenian itu. Syamsudin pun langsung tertarik lantas mempelajari secara merenik tentang Zikir Saman.

Guna menarik minat masyarakat sekarang, H. Syamsuddin kerap mengubah dan menciptakan lirik-lirik yang sesuai dengan kondisi setempat. Gubahan lirik itu dia sesuaikan dengan nada salawat yang akan dibawakan dengan tidak mengesampingkan lirik aslinya.

“Saking antusiasnya masyarakat Dusun Kebun Melati terhadap Zikir Saman, H. Rifaei mendatangkan langsung gurunya dan mengajarkannya untuk warga,” ungkap Syamsuddin.

Sebetulnya tidak ada pakem khusus dalam gerakan Zikir Saman. Gerakannya bisa bebas dan diciptakan, namun ada yang harus tetap diperhatikan yakni kesesuaian antara salawat (samanan), zikir, dan rodat.

Salah satunya saat zikir, saat mengucap hi’i atau ilallah, maka gerakan atau rodatnya harus pas di sebelah kiri. Hal itu disesuaikan dengan ajaran tasawuf dimana saat menyebut asma (nama) Allah, tolehan atau anggukan kepala condong ke sebelah kiri. Begitu di dalam hati rasa itu juga ditepatkan di sebelah kiri,” jelas H. Syamsuddin.

Sementara untuk salawat yang dilantunkan biasanya berasal dari kitab-kitab atau bacaan yang sudah diturunkan secaran turun menurun seperti misalnya As Shalah, li khamsatun, atau tsanakhal.

Baca Juga: Vibrato Voice Teknik Menyanyi Baru Bagi Anak Didik

Syamsuddin mengaku dari sekian banyak salawat, yang benar-benar dihafal dan dikuasainya hanya sekitar empatpuluh salawat. Namun tidak perlu melantunkan salawat sebanyak itu untuk sekali melakukan Zikir Saman. Untuk durasi waktu satu jam, salawat, zikir, dan rodat yang dilakukan hanya sekitar lima hingga enam paling banyak delapan.

Guna menarik minat masyarakat sekarang, H. Syamsuddin kerap mengubah dan menciptakan lirik-lirik yang sesuai dengan kondisi setempat. Gubahan lirik itu dia sesuaikan dengan nada salawat yang akan dibawakan dengan tidak mengesampingkan lirik aslinya.

“Kunci untuk bisa menikmati Zikir Saman, baik hanya melihat atau hingga mengikuti gerakan, salawat, hingga zikirnya adalah hati yang mengharap rida Allah SWT,” ujar bungsu dari delapan bersaudara itu.

Saat ini meski Syamsuddin merasa kesulitan mencari penerus Zikir Saman namun dia tetap berkeyakinan tradisi ini tidak akan hilang. Selama pemuda-pemuda terus diajak untuk melestarikan kegiatannya.

Syamsuddin pun bersama kelompoknya Jamiyah Zikir Saman Dusun Melati rutin tiap malam Jumat Pahing menggelar latihan. Juga menerima permintaan tampil ketika bulan Jumadi Akhir, Rajab, dan Syawal di Jombang, Mojokerto, dan Kediri.

Reporter/Foto: Fitrotul Aini
Lebih baru Lebih lama