Derasnya arus globalisasi ditandai dengan semakin cepatnya pertumbuhan teknologi dan informasi di masyarakat. Nyatanya perkembangan ini disambut dengan gegap gempita oleh semua. Siapa pun bisa memanfaatkan dan menjadi sumber informasi, walau itu pada akhirnya menjadi blunder besar karena kekurang tepatnya dalam penggunaan atau kebenarannya. Tantangan terbesarnya yang sudah menanti di depan mata ialah kesadaran berbangsa dan bernegara.

Lengkap sudah dengan maraknya budaya asing yang masuk. Semakin mudah dan cepat hingga tak terbendung masuk ke dalam hayat tiap masyarakat. Belakangan berpotensi mendominasi dan mempengaruhi kebudayaan dalam negeri atau lokal di tiap daerah.

Bermacam-macam ideologi pun juga turut hadir meramaikan belantika jagad perkembangan ini. Cenderung berseberangan dengan ideologi negara ini, laiknya terorisme, radikalisme, dan berujung pada konflik sosial berbasis ras, suku, dan agama.

Hal itu sudah bukan isapan jempol semata, apalagi kalau merambah ke dunia maya. Permasalahan sederhana dapat dipantik untuk memicu semakin besar. Tak ada bedanya dengan gunung es yang siap mencair dan menjadi bencana besar kalau dibiarkan begitu saja. Kondisi ini menjelaskan bahwa Indonesia menghadapi tantangan serius terkait dengan nasionalismenya.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya, Universitas Pakuan Jawa Barat, Agnes Setyowati, dibutuhkan strategi yang tepat dan efisien dan menumbuhkembangkan kembali nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan hidup di periode ini. Khususnya di kelompok muda yang notabene bakal menjadi penerus generasi sekarang.

Penurunan nasionalisme didalam bangsa ini dapat dikatakan sebagai masalah klasik. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan direngkuh, nasionalisme masyarakat terpecah belah dengan latarbelakang yang dimiliki dan berbeda-beda. Munculnya pelbagai organisasi kepemudaan saat itu merupakan bukti kecil upaya mengikat kesadaran rasa memiliki atas kesatuan bernegara.

Meskipun hasil survei dari Lingkar Survei Indonesia pada tahun 2019 sedikit memberikan angin segar karena menunjukkan kenaikan. Kendati kenaikan itu belum sepenuhnya besar, tetapi mampu membangun optimisme dalam menguatkan keutuhan bangsa ini.

Hasil survei itu memperlihatkan 66,4% masyarakat mengidentifikasikan dirinya bagian dari Indonesia, 19,1% mengidentifikasikan pada kelompok agama tertentu, dan 11,9% mengidentifikasikan sebagai bagian dari suku tersendiri. Tetapi mesti diperhatikan karena ada sekitar 33,6% tidak mengutamakan nasionalisme. Andai ini didiamkan maka akan terjadi gejolak yang sukar untuk dirampungkan.

Garis Haluan Penguatan Nasionalisme

Jika nasionalisme dulu ketika pra kemerdekaan bertujuan membentuk kesadaran kolektif demi memerdekakan bangsa dari jajahan kolonialisme, di masa kontemporer ini mestinya dibangun guna membawa Indonesia menjadi negara yang maju dan berdaulat.

Baca Juga: Unduh-unduh GKJW Bongsorejo Wujud Syukur dan Keharmonisan Beragama

Dikatakan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya, Universitas Pakuan Jawa Barat, Agnes Setyowati, dibutuhkan strategi yang tepat dan efisien dan menumbuhkembangkan kembali nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan hidup di periode ini. Khususnya di kelompok muda yang notabene bakal menjadi penerus generasi sekarang.

Pendidikan pun pada hakikatnya menjadi wilayah yang urgen dan sesuai. Lantaran di saat itulah masyarakat menempa dirinya baik dari keilmuan, wawasan, potensi, dan anekaragam kemampuan lainnya untuk mampu mandiri menghadapi kehidupan sesungguhnya.

Memang banyak generasi muda yang mampu mengukir prestasi seperti dalam berbagai lomba maupun olimpiade sains di berbagai negara yang telah diselenggarakan. Tetapi suatu hal yang memprihatinkan aktivitas generasi muda yang telah ditulis dan diteliti. Tidak sedikit anak-anak muda kita yang terjebak dalam “The Pursuit of Wow” mengejar kegemerlapan, mengedepankan kenikmatan-kepuasan, mengabaikan idealisme dalam arti lebih materialis dan idividualistik, serta sikap yang acuh tak acuh terhadap kemajuan bangsa. Pendeknya tidak sedikit anak-anak muda yang lebih mengedepankan budaya hedonik yang ditandai oleh pengejaran kepuasan dan kenikmatan.

Sungguh menyedihkan, bangsa yang terkenal peramah, religius, dan menjunjung kesopanan, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang beringas, suka berkelahi dan saling membunuh. Nilai-nilai yang dahulu kita anggap agung, luhur, dan mulia, zaman sekarang ibarat binatang “langka” yang hampir musnah mati suri makin tidak berdaya. Teringat akan penyair Latin Klasik Publius Ovidius yang telah menulis pada awal abad pertama Masehi: “Video meliora proboque, pejora autem sequor” (saya melihat hal-hal yang baik dan menyetujuinya, tetapi ternyata saya mengikuti juga hal-hal yang kurang baik). Kemudian Filosof Nietzche dengan caranya yang khas bahkan menulis bahwa “der Irrtum hat aus Tirren Menschen gemacht” atau kekeliruanlah yang membuat hewan menjadi manusia karena hewan tak bisa khilaf, sedangkan manusia sering keliru (Kleden, 2001: 27).

Ada semacam dugaan umum bahwa untuk menganalisis stagnasi nilai-nilai Indonesia dewasa ini disebabkan adanya kesenjangan yang bersifat struktural dalam masyarakat sendiri. Kesenjangan itu mencuat tidak saja dengan hadir dan diintrodusirnya nilai-nilai budaya Barat dalam pola pikir dan tingkah laku, tetapi juga sekaligus diperuncing oleh ketidaksiapan dan ketidakmatangan budaya domestik, untuk merangkul dan memberi inspirasi terhadap apa yang disebut kemajuan dalam kemodernan.

Di satu sisi nilai-nilai Barat yang hendak dikembangkan di Indonesia ternyata tidak mendapat dukungan yang kokoh dari struktur sosial, ekonomi, maupun politik. Tetapi di sisi lain, banyak contoh dan kasus yang menunjukkan bahwa situasi ekonomi, sosial, politik ini tidak bisa disimpulkan sepenuhnya bersandar pada nilai asli domestik, kendati usaha-usaha ke arah itu dirasakan sangat gencar dalam praktik pembangunan. Di lain pihak, dalam orasi ilmiahnya Prof. Robert A. Scalapino mengatakan nilai-nilai politik pada akhir-akhir ini telah memudar dan ada kekuatan-kekuatan (nilai-nilai) lain yang segera mengisi kekosongan ini, yaitu kesadaran etnik yang meningkat, dan di wilayah-wilayah tertentu oleh komitmen keagamaan yang meningkat.

Redefinisi dan Revitalisasi Nasionalisme

Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah makna kata nasional menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang bagian penduduk resmi suatu negara.

Sebetulnya pengertian nasional sesungguhnya merupakan istilah yang lebih tepat. Daripada pengertian bangsa mengandung unsur-unsur anggapan bahwa sekalian anggota-anggota bangsa bersangkutan berasal dari nenek moyang yang sama.

Nasionalisme pada tahap awal berhasil merekatkan penduduk yang heterogen menentang kolonialisme. Tetapi setelah proses dekolonisasi berlangsung terutama dalam nation building, perlu ada revitalisasi dan redifinisi nasionalisme yang makin kompleks tantangannya.

Menghadapi era globalisasi, bangsa Indonesia tidak boleh menganut paham post-nasionalisme, bagaimanapun kuatnya arus interdependensi yang terjadi. Untuk mengahadapi dunia luar, Indonesia harus selalu membina dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.

Sedangkan untuk membina dan mempertahankan nasionalisme bangsa Indonesia, persyaratan utama adalah kesiapan dan kegigihan serta fleksibilitas dalam mengelaborasikan bentuk-bentuk nasionalisme yang lebih relevan dengan tantangan zaman. Apapun bentuk nasionalismenya, harus disesuaikan dengan kondisi Indonesia yang pluralistik.

Reporter/Foto: Redaksi
Lebih baru Lebih lama