NASIONAL - Bagi dokter Soetomo, rakyat yang membaca adalah rakyat yang maju. Maka, di masa pergerakan nasional, ia menganggap penting kehadiran surat kabar. Tak heran jika dalam sejarah pers di Indonesia, dokter Soetomo terkait dengan sejumlah media, di antaranya Soeara Oemoem dan Panjebar Semangat.

Dokter Soetomo mengatakan hendak menyebar bacaan yang berfaedah untuk rakyat, dikatakan dalam Panjebar Semangat pada 1933 saat media itu didirikan. Di tahun itu pula didirikan organisasi Persatoean Bangsa Indonesia.

Menurut Karkono Kamajaya Partokusumo dalam Kebudayaan Jawa, Perpaduannya dengan Islam (1995:169), Penjebar Semangat terbit sejak 2 September 1933 dengan memakai huruf latin. Pada zaman kolonial, huruf ini diajarkan pula di sekolah paling murah jenis Volkschool (sekolah rakyat tiga tahun). Sementara bahasa yang digunakan Panjebar Semangat adalah bahasa Jawa ngoko yang biasa dipakai rakyat jelata.

Sapardi Djoko Damono dalam Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (2000:44) mengatakan mungkin penggunaan ragam bahasa Jawa ngoko memang cocok untuk pers. Menurut Sapardi Djoko Damono, Panjebar Semangat adalah pengembangan edisi bahasa Jawa dari mingguan Soeara Oemoem yang berdiri pada 1931.

Panjebar Semangat sejak awal dipimpin oleh Imam Soepardi, mantan guru yang berasal dari Probolinggo. Media ini semula berbentuk lembaran, lalu pada 1935 mulai berupa jilidan tabloid, dan berubah lagi menjadi majalah. Menurut catatan Kurniawan Junaedhie dalam Rahasia Dapur Majalah di Indonesia (1995:326), majalah ini terkenal dengan gambar sampul yang selalu merah, dan kerap dianggap sebagai simbol yang membara, seperti seharusnya sebuah semangat.

Kisah majalah berbahasa Jawa yang telah berusia lebih dari delapan dekade dan masih bertahan hingga kiwari.

Sapardi Djoko Damono menjelaskan nama majalah itu saja sudah menunjukkan adanya keinginan pengasuhnya untuk tidak sekadar menjual berita. Panjebar Semangat ingin menyebarluaskan berbagai gagasan baru. Hal ini terkait dengan Indonesische Studieclub yang didirikan dokter Soetomo pada tahun 1924. Sapardi Djoko Damono menyebut dalam majalah ini, berita dan berbagai karangan sampai kepada rakyat banyak di desa-desa dan di dalamnya pula kebudayaan populer mendapat tempat.

Seingatnya, majalah ini sempat memuat iklan keluarga, yang pada 1956 menetapkan biaya untuk iklan jenis ini sebesar Rp 10. Selain itu, Panjebar Semangat juga memuat iklan barang-barang konsumsi, asuransi, dan tak ragu mengiklankan majalah lain.

Rubrik andalan Panjebar Semangat, seperti dicatat Edi Sedyawati dalam Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum (2001:212), antara lain cerita bersambung, cerita pendek, cerita bergambar, Jula-Juli, dan Apa Tumon.

Penyusun Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Prakemerdekaan (2001:203) mengatakan bahasa Jawa ragam ngoko mulai ditempatkan sebagai bahasa narasi fiksi Jawa modern, baik itu yang berbentuk cerita bersambung maupun cerita pendek. Dalam buku itu pula disebutkan bahwa pada 1930-an dunia sastra Jawa mulai menuju suasana baru. Meski dokter Soetomo wafat pada 1938, tetapi Panjebar Semangat terus mengawal suasana baru itu.

Majalah ini dibaca oleh orang dewasa dan anak-anak usia sekolah. Hersri Setiawan misalnya, pada zaman pendudukan Jepang, pengarang yang pernah ditahan di Pulau Buru ini usianya belum genap sepuluh tahun dan ia telah membaca Panjebar Semangat, selain Pandji Poestaka dan Kedjawen.

Hersri dalam Berkah Kehidupan-32 Kisah Inspiratif tentang Orangtua (2013:308) mengatakan aku lalu menjadi sering membacakan untuk ibu berita-berita peperangan dari Panjebar Semangat, sambil berbaring di bawah mori batikan ibu.

Baca Juga: Dapodik PAUD Versi 2021 Membangun Integrasi Data Dunia Pendidikan


Seperti banyak media lain, Panjebar Semangat pernah dimatikan Jepang lewat tentara ke-16 di Jawa. Menurut catatan Edi Sedyawati (2001:211), dari zaman Jepang hingga akhir masa revolusi, Panjebar Semangat tidak terbit. Majalah yang dimodali orang-orang penting yang pernah bergelut di Boedi Oetomo ini akhirnya terbit lagi pada 1949 setelah mati suri bertahun-tahun karena perang.

Di zaman masih sekolah, Sapardi Djoko Damono adalah juga pembaca Panjebar Semangat. Tiap majalah Panjebar Semangat datang, Sapardi Djoko Damono sekeluarga berebut untuk membaca cerita pendek anak-anak yang dimuat di suplemen itu.

Meski dokter Soetomo telah wafat pada 1938, dan Imam Soepardi menyusul pada 1963, tetapi Panjebar Semangat tetap bertahan. Mohammad Ali, adik Imam Soepardi meneruskan pengelolaannya.

Suparto Brata dalam Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa: Bacaan Populer untuk Perguruan Tinggi (1981:90) mengatakan Panjebar Semangat memang sudah berakar dalam masyarakat, banyak pelanggan yang turun-temurun, dan terjual dengan harga yang amat murah (karena dicetak banyak).

Di era Orde Baru, menurut catatan David Hill dalam Pers di Masa Orde Baru (2011:151), oplah majalah berbahasa Jawa ini mencapai 57 ribu eksemplar. Tahun 2013, ketika berusia 80 tahun, majalah ini masuk rekor MURI sebagai majalah tertua di Indonesia yang masih hidup sampai sekarang.

Sumber/Rewrite: tirto.id/Tiyas Aprilia

Lebih baru Lebih lama