H. Aam Muamar *

Pandemi Covid-19 (Korona Virus Desease tahun 2019) telah menjalar di setiap sendi kehidupan. Di antara pranata sosial yang sangat merasakan dampaknya adalah ekonomi dan pendidikan. Hampir semua negara di dunia ini terpapar virus yang mematikan dan sampai kini belum ditemukan vaksinnya.

Untuk bidang ekonomi, dibuktikan dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dari beberapa lembaga usaha, terutama sektor swasta, sementara untuk perusahaan atau lembaga milik pemerintah dengan dilakukannya work from home (WFH) atau bekerja di rumah, yang tentunya tidak seoptimal bila dibandingkan dengan hadir langsung di tempat kerja. Semua itu sudah jelas-jelas mengurangi nilai produktifitas lembaga maupun individu (karyawan/pegawai).

Sementara di bidang pendidikan, dengan larangan keluar rumah atau pembatasan hubungan fisik (fisical distancing) tentunya mengharuskan peserta didik untuk belajar di rumah. Demikian pula tenaga pendidik diharuskan menyampaikan pelajaran secara daring atau dengan jarak jauh. Tentunya hal ini akan berdampak yang signifikan terhadap mutu lulusan peserta didik, terlebih lagi pandemi ini terjadi di akhir tahun pelajaran, dimana sekolah tengah gencar-gencarnya menuntaskan tuntutan dan muatan kurikulum dengan menyelenggarakan penilaian (ujian sekolah dan ujian akhir tahun serta ujian nasional)

Ketika tahun 2020 ditetapkan sebagai pelaksanaan UN terakhir, sebelum dihilangkan/diganti tahun pelajaran berikutnya, ternyata karena pandemi Covid-19 sama sekali UN ditiadakan dengan tanpa adanya instrumen pengganti, hanya diminta agar sekolah mengoptimalkan pelaksanaan ujian sekolah, dan dijadikan nilai perolehannya sebagai penentu kelulusan peserta didik disamping nilai raport.

Karena pandemi Covid-19 ini ada tiga kegiatan yang dihilangkan dalam pembelajaran di tahun pelajaran 2019/2020, yaitu: Ujian Nasional (UN), jumlah pertemuan di kelas yang efektif serta pelepasan lulusan.

Ujian Nasional yang Hilang

Berdasarkan kebijakan pemerintah yang disetujui oleh DPR, bahwa UN tahun 2020 ini ditiadakan dengan alasan memutus mata rantai penularan virus Korona, meskipun rencana semula bahwa untuk tahun pelajaran 2019/2020 ini merupakan pelaksanaan UN terakhir, setelah sebelumnya Mendikbud Nadiem Anwar Makarim merencanakan penghapusan itu akan dilakukan di tahun depan (tahun pelajaran 2020/2021).

Ketetapan UN didasarkan pada peraturan pemerintah (PP) Nomor 13 tahun 2015 Junto PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Tentunya ketetapan ini dibuat dalam rangka mengawal mutu lulusan dari semua jenjang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, dimana hasilnya dibutuhkan untuk memetakan tingkatan (grade) dari setiap sekolah di masing-masing wilayahnya, meskipun tidak lagi untuk standar kelulusan seperti pada periode-periode sebelumnya.

Tentunya pemetaan ini penting untuk pemerintah atau para stakeholder pendidikan dalam menyusun dan menetapkan kebijakan atau regulasi yang akan menentukan arah kemajuan pendidikan di negeri ini.

Belakangan Mendikbud telah merancang 3 instrumen pengganti UN; Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang meliputi literasi dan numerasi, serta Survey Karakter (SK). Dua instrumen ini digadang-gadang akan lebih menyederhanakan dan meringankan dibanding UN dengan tanpa menghilangkan fungsi dari hasil UN, khususnya dalam memetakan mutu lulusan dan kesiapan sekolah dalam menyelenggarakan wajar Dikdas 12 tahun.

Baca Juga: Pembelajaran Anak Didik PAUD Saat Covid-19

Ketika tahun 2020 ditetapkan sebagai pelaksanaan UN terakhir, sebelum dihilangkan/diganti tahun pelajaran berikutnya, ternyata karena pandemi Covid-19 sama sekali UN ditiadakan dengan tanpa adanya instrumen pengganti, hanya diminta agar sekolah mengoptimalkan pelaksanaan ujian sekolah, dan dijadikan nilai perolehannya sebagai penentu kelulusan peserta didik disamping nilai raport.

Sementara US-nya sendiri diakukan dengan tidak seperti biasa, melainkan dengan cara daring (online). Tentunya dengan mempertimbangkan pandemi Covid-19 ini yang di luar dugaan alias datang secara tiba-tiba. Maka penyelenggaraan UN secara daring pun dilakukan tanpa persiapan yang matang, baik dari aspek konsep, regulasi maupun infrastruktur. Sudah dipastikan pelaksanaan (proses) dan hasilnya pun tidak akan maksimal.

Pertanyaannya, mungkinkah manfaat UN sebagai instrumen penilaian yang akan memetakan kualitas lulusan dapat tergantikan dengan “hanya” penyelenggaraan US secara daring dalam kondisi yang serentak dan mendadak?

Tentunya persoalan ini bukan hanya ditujukan kepada peserta didik yang duduk di akhir tingkat (kelas 6, 9 atau 12) saja, melainkan bagi semuanya, karena instrument penilaiannya berubah dari yang biasa (konvensional) kepada daring (online).

Pembelajaran di Rumah

Pembatasan kontak fisik (fisical distancing) tidak memungkinkan peserta didik belajar seperti biasa melalui tatap muka langsung di kelas atau di luar kelas. Sebagai gantinya mereka dituntut untuk tetap di rumah dan menyelenggarakan pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi informasi (HP, TV atau Internet) dan bimbingan orangtua.

Seandainya ada pilihan lain, tentunya pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini tidak atau belum waktunya untuk diterapkan di Indonesia untuk sekarang-sekarang ini. Mengingat berbagai faktor yang belum menunjukan kesiapan dunia pendidikan kita dengan “protokol” PJJ yang seharusnya (terstandar).

Paling tidak ada dua aspek yang harus betul-betul dipersiapkan dalam hal ini; kompetensi guru dalam berinternet (TIK) dengan kemampuan peserta didik untuk menyediakan perangkat pembelajaran berbasis jaringan (daring).

Untuk aspek yang pertama, terus terang saja belum semua guru di negeri ini familier dengan ICT. Berdasarkan survei tahun 2018 yang dilakukan Pustekkom, baru 40% guru di Indonesia yang melek teknologi, sisanya 60% masih gagap teknologi (gaptek).

Informasi ini diungkap langsung oleh Kepala Pustekom, Gatot Suhartowo. Menurutnya jika total umum guru di Indonesia mencapai tiga juta orang, berarti baru 1,2 juta yang melek dengan teknologi informasi komunisasi. Sisanya sebanyak 1,8 juta guru masih gagap alias tidak siap dengan kemajuan zaman (Didi Sanusi: 2019).

Menurut UNESCO, Kompetensi TIK guru dapat dikelompokkan ke dalam enam aspek, yaitu: 1) Pemahaman TIK dalam pendidikan, 2) Kurikulum dan Penilaian, 3) Pedagogi, 4) Teknologi Informasi dan Komunikasi, 5) Organisasi dan Administrasi, dan 6) Pembelajaran Guru Profesional.

Sementara aspek Kurikulum dan Penilaian meliputi kompetensi guru dalam pemanfaatan TIK dalam hal pengembangan kurikulum, pengelolaan lingkungan belajar, pengelolaan pengalaman belajar peserta didik, penilaian dan pengukuran, serta pemanfaatan TIK untuk peserta didik berkebutuhan khusus.

Adapun aspek Pedagogi meliputi pemanfaatan TIK dalam hal perencanaan dan penyusunan strategi pembelajaran, pengembangan pembelajaran aneka sumber, pembelajaran berbasis masalah, serta komunikasi dan kolaborasi.

Aspek Teknologi Informasi dan Komunikasi meliputi kompetensi guru dalam penggunaan piranti TIK, baik pemanfaatan multimedia, internet, media audio visual untuk pembelajaran ataupun TIK sebagai penunjang administrasi pembelajaran.

Aspek Organisasi dan Administrasi meliputi integrasi TIK dalam pembelajaran, pengelolaan pembelajaran berbantuan TIK, serta pemahaman tentang etika dalam pemanfaatan TIK. Dan Aspek Pembelajaran Guru Profesional meliputi kemampuan guru dalam memanfaatkan TIK untuk pengembangan diri, partisipasi dan kontribusi dalam forum profesi, serta memanfaatkan TIK sebagai sarana riset dan pengembangan profesional.

*) Pengawas SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung
Lebih baru Lebih lama