Rahmat Sularso Nh.*

Pendidikan hari ini tak luput akan hempasan Covid-19. Banyak kegiatan pembelajaran bahkan proses sakral sebuah pencapaian kelulusan tingkat pada akhir jenjang mesti dipungkasi dengan cara yang tak biasa.

Cukup menggunakan aplikasi tatap muka virtual, semuanya dapat digelar. Namun begitu rasa dan nuansanya akan berbeda ketika secara langsung dilakukan. Heroisme hingga suasana haru tak bakal terasa sebagai kenangan pamungkas.

Walaupun begitu tak dapat larut begitu mendalam. Semua tetap harus berjalan dengan cara yang berbeda dan disesuaikan dengan kondisi saat ini. Diantaranya yang mengalami perubahan itu adalah kurikulum.

Guru sebagai pemangku pembelajaran harus mengolah pembelajaran supaya membangkitkan motivasi peserta didik guna terlibat langsung. Demikian pun tatkala mendorong kepercayaan diri mereka. Bukan sekedar pasif menerima apa adanya penyampaian yang diberikan.

Kedudukan kurikulum dalam dunia pendidikan bangsa ini tak boleh dipandang hanya dengan sebelah mata. Ibarat sebuah peta, kurikulum adalah gambaran menyeluruh arah pendidikan kedepannya yang antar jenjang tingkat sangat terkait satu dengan lainnya.

Pelbagai turunannya dalam merancang mekanisme pembelajaran, pastilah berpijak dari kurikulum. Tak ayal kembali mengungkap kisah masa peralihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ke Kurikulum 2013 (K13). Semua dibuat gelabakan tak karuan. Dari dirasakan begitu cepat dan dini peralihan itu terjadi tanpa menguatkan terlebih dahulu.

Sehingga terkesan membabi-buta saat pelatihan di sana-sini digalakkan tiada henti. Hingga penyesuaian yang wajib dilakukan meskipun secara infrastruktur baik fisik maupun non-fisik belum siap sepenuhnya.

Baca Juga: Pembelajaran Menyenangkan Selama Pandemi Korona


Betapa semakin ambyar ketika berganti menteri, maka turut pula berganti kebijakan. K13 yang sudah berjalan di tengah medan belantara pendidikan Indonesia, seketika dibuat 'balik kucing' ke KTSP. Betapa banyak yang disia-siakan dalam fase tersebut.

Tidak hanya secara material yang jelas dirugikan, tentunya moril pun ikut terenggut sebagai salah satu dampak dari sekian banyak. Bahkan tak menutup kemungkinan kedepannya kualitas pendidikan di negeri Gemah Ripah Loh Jinawi ini semakin terpuruk diantara negara-negara yang lagi berkembang di dunia.

Muncullah Kurikulum Kondisi Khusus yang menyesuaikan keadaan negeri ini dalam terpaan pandemi Covid-19. Selain ada penyesuaian juga perubahan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI. Lebih lanjut pun daerah yang bakal mengejawantahkan dalam pembelajarannya diperkenankan untuk melakukan modifikasi.

Dari sini akhirnya tumbuh banyak pertanyaan, salah satunya apakah tidak bakal menimbulkan boomerang di belakang? Hal itu tak lain kembali pada hakikat makna kurikulum itu sendiri.

Bisa dibayangkan andaikan tiap daerah diberikan opsi memodifikasi tanpa diberikan kerangka dasar dan batasannya, maka otonomi ini akan berbalik memberikan kesemrawutan tatanan pendidikan kedepannya. Baik itu dari ketimpangan kualitas hingga pencapaian pembelajaran sebagaimana yang telah terpatri pada kurikulum sebelum pandemi.

Selain itu penting diperhatikan adalah corak, sebagaimana diketahui bersama pada tiap kurikulum selalu dibarengi dengan kekhasannya. Seperti pada K13 yang belakangan telah banyak diterapkan oleh sekolah. Mengedepankan partisipasi dan keaktifan peserta didik.

Tak ayal guru sebagai pemangku pembelajaran harus mengolah pembelajaran supaya membangkitkan motivasi peserta didik guna terlibat langsung. Demikian pun tatkala mendorong kepercayaan diri mereka. Bukan sekedar pasif menerima apa adanya penyampaian yang diberikan.

Untuk itu dalam mempersiapkan Kurikulum Kondisi Khusus ini adanya kemungkinan memodifikasi harus ditelaah matang sepenuhnya. Jangan sekedar mengejar pada capaian pelaksanaan sehingga segala aspek untuk mempertimbangkan kedudukan kurikulum itu sendiri abai. Dampaknya jelas generasi pembelajar pada masa pandemi Covid-19 menjadi korbannya.

Selain itu memastikan bahwa para pelaku yang bakal menerapkan Kurikulum Kondisi Khusus ini sudah mampu memahami, menguasai, dan menerapkan dengan baik. Lagi-lagi muara akhir yang rentan merasakan risikonya adalah peserta didik.

Tinjauan lain yang tak kalah penting menjadi titik acuan melihat itu adalah pada tujuan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Jadi, bukan saja perkara teknis pertemuan dalam memodifikasi tetapi upaya menuju SNP pun tetap terjaga. Seperti halnya yang telah dipaparkan oleh Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP) RI bahwa dalam pengembangannya, kurikulum harus mengacu pada standar kompetensi.

Selain itu juga kompetensi dasar di Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Demikian melihat pada basik kurikulum yang digunakan, andaikan K13 maka titik pijaknya sesuai prinsip dasar dalam pengembangkan di sana.

Senyampang itu dalam pengembangan atau langkah-langkah melakukan modifikasi tetap pada relevansinya. Sebagaimana dijelaskan dalam Prinsip Pengembangan Kurikulum. Dengan begitu maka bisa selaiknya alur yang ada sebelumnya dalam penyusunan kurikulum itu sendiri.

Entah kurikulum KTSP maupun K13, karena sekarang ini sekolah dibebaskan menggunakan kurikulum sesuai dengan kemampuan dan latar kondisinya.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pendidikan

Lebih baru Lebih lama