JOMBANG – Ketika Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan dengan mengganti Ujian Nasional (UN) dengan asesmen nasional yang merupakan perincian dari kualitas Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Lingkungan Belajar. Harapannya dalam mengukur kualitas pendidikan yang ada saat ini bisa menyeluruh, tak hanya pada kompetensi peserta didik. Sehingga pada capaian akhirnya nanti adalah penilaian sekolah. Sementara AKM menjadi bagian yang tak erat kaitannya peningkatan pemikiran kognitif civitas akademiknya, baik itu peserta didik maupun gurunya.

Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika Kabupaten Jombang, Khoirul Anam, S.Pd. menerangkan, “Setiap guru mata pelajaran membutuhkan penyesuaian dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebelum mengulas materi dalam soal AKM. Guru mata pelajaran lakukan kolaborasi menyusun RPP lintas mata pelajaran sehingga dipergunakan sebagai acuan guru dalam melaksanakan pembelajaran.”

Dikonfirmasi oleh Guru Matematika SMP Negeri 1 Kabuh yang sempat ikut dalam Diklat AKM, Prastuti, S.Pd. bahwa materi pembelajaran yang dikembangkan cenderung kaitannya pada kegiatan sehari-hari peserta didik. Hal ini dimaksudkan membangun kedekatan yang mudah diilustrasikan secara sederhana oleh peserta didik untuk menyelesaikan suatu masalah dalam soal AKM.

AKM mengajak peserta didik dan guru untuk secara sederhana memaknai konsep masalah yang dihadirkan. Pada prinsipnya tak menuntut peserta didik menghafal teori, melainkan memaknai persoalan yang harus diselesaikan sesuai sudut pandangnya.

“Misal saja menghitung luas lapangan yang akan dipergunakan penonton menyaksikan konser band KPop. Peserta didik diminta menganalisis dari ulasan cerita dan nominal luasan setiap sisi yang dimaksud. Materi bacaan tersebut sebagai tahapan awal yang perlu dilalui peserta didik sebagai stimulus untuk menemukan solusi dari permasalahan soal AKM. Akhirnya peserta didik akan menerapkan logika. Artinya peserta didik perlu menyadari jika setiap pelaksanaan konser, pasti terdapat panggung. Kondisi inilah yang jelas mengurangi ukuran lapangan secara utuh,” jelas Prastuti.

Prastuti juga menambahkan bahwa beberapa sajian soal yang diulas dalam AKM memiliki kekhususan pada kedekatan peserta didik. Artinya yang peserta didik alami, sering lakukan, dan sesuai tren yang sedang diminati. Seluruh mata pelajaran bisa saling sinergi untuk mengembangkan dari satu permasalahan yang diulas.

Khoirul Anam menegaskan bahwa, “AKM dan pengembangan pembelajaran yang terkandung di dalamnya justru tak membuat peserta didik merasa terbebani secara psikis. Kehadiran konsep tersebut memberikan ruang seluas-luasnya peserta didik menyelesaikan soal sesuai dengan caranya. Maksudnya sesuai dengan sudut pandang peserta didik memaknai dan memahami kerangka cerita dari setiap soal AKM.”

Baca Juga: Konversi Pembelajaran SLB ke Rumah

Peserta Diklat AKM yang mewakili Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dari SMP Negeri 1 Kabuh, Iswati Yogi Utami, S.Pd. pada dasarnya soal-soal AKM mesti dipahami alurnya dengan baik karena sebagai stimulus masuk pada inti dari pertanyaannya. Sehingga tak bisa hanya dipahmi per kalimat saja, karena saling tertaut antar kalimat tersebut secara keseluruhan.

“Oleh karenanya, sangat diperlukan kemampuan membaca serta memahami makna dengan segsama. Supaya dalam menangkan maksud daripada soal AKM teraih. Maka diperlukan pembiasaan seperti usai pembelajaran dalam Kompetensi Dasar (KD) tertentu,” Iswati Yogi Utami.

Sementara itu peserta Diklat AKM di Surabaya yang juga menjadi Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 1 Gudo, Fatmah Anna Lusiana, S.Pd. menerangkan, jika soal AKM mengajak peserta didik dan guru untuk secara sederhana memaknai konsep masalah yang dihadirkan. Pada prinsipnya tak menuntut peserta didik menghafal teori, melainkan memaknai persoalan yang harus diselesaikan sesuai sudut pandangnya. Artinya tak menuntut peserta didik menjawab benar, tetapi kemampuan menalar persoalan dengan beberapa pilihan jawaban yang disajikan.



“Sekolah sebagai objek utama penilaian AKM, harus mempersiapkan sarana prasana penduking seperti pengadaan buku sebagai sumber mengasah guru dalam pengembangan literasinya. Diharapkan mampu mendongkrak kualitas pendidikan secara masif khususnya dalam skala kecil,” tandas Khoirul Anam.

Sementara itu Sekretaris Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Kabupaten Jombang, Yoni Tri Joko Kurnianto, S.Pd., M.Si. bahwa AKM merupakan penilaian yang mencitrakan sekolah dengan penekanan kualitas pendidikan secara menyeluruh. Peran sekolah begitu besar untuk mensukseskan AKM. Sehingga pengimbasan yang gencar dilakukan sekolah melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika dan Bahasa Indonesia yang kemudian di kembangkan di setiap sekolah.

“Dalam setiap pertemuan MGMP membahas soal AKM, guru akan di latih dan dibiasakan dalam mengkonsep soal-soal berbasis AKM dengan tingkatan tertentu. Tentunya dengan membangun kedekatan dari peristiwa-beristiwa yang ada disekitaran peserta didik. Keberhasilan ini tak bisa dilepaskan juga dari sinergitas seluruh guru sehingga memiliki kesepemahaman yang sama,” terang Yoni Tri Joko Kurnianto.

Yoni Tri Joko Kurnianto menyampaikan bahwa proses memahami AKM memagang peran penting. Pola yang terbangun ialah menjadikan AKM begitu dekat dengan pembelajaran. Sehingga cara berfikir yang menganggap beban menjadi lebur. Bahkan peserta didik, guru, dan sekolah merasakan kenyamanan dalam mengedepankan kualitas pendidikan dengan memantik kreativitas berfikir kritis dari pembiasaan yang sederhana di sekitarnya.

Melihat pada keterkaitan dengan psikologis peserta didik, melaksanakan hal yang baru memang membutuhkan penyesuian. Menurut Psikolog Jombang, Supirman Kuswinarno, S.Psi. “Adaptasi sudah menjadi proses yang dilalui, tetapi dasar yang ditekankan kepada peserta didik ialah penerapan AKM tak butuhkan persiapan khusus layaknya UN saat itu. Sehingga tak diharapkan ada kecemasan hingga memberikan sebuah keputusan guna mempersiapkan diri sambut AKM.”

Supirman Kuswinarno menegaskan bahwa prinsip dari AKM lebih menguntungkan peserta didik dan seluruh pelaksana pendidikan. Ulasan ini dia dapatkan saat mengikuti suatu pertemuan dengan seluruh psikolog guna membahasa persiapan peserta didik sambut AKM. Melalui AKM peserta didik tak lagi tertekan pada sistem hafalan.

“Peserta didik dikembangkan kerangka berfikir yang mengedepankan kemampuan yang dimilikinya. Dari sinilah penajaman keterampilan terbentuk untuk kemudian mampu dihadapkan pada kebutuhannya. Sasaran berikutnya tak ada lagi kebimbangan serta kegamangan dalam memilih yang harus ditekuni usai sekolah bahkan menentukan jurusan di bangku kuliah,” tegas Supirman Kuswinarno.

Analisis Supirman Kuswinarno, ketika proses perubahan belum terlaksana keseluruhan, tak layak jika di nilai hanya dari cara mendengar saja. Namun dibarengi dengan proses saat pelaksanaan. Artinya seluruh kebijakan menjadi hal baru yang membutuhkan proses kesesuaian, jika terbiasa dengan tempaan itu, hasilkan juga akan dirasakan sesudahnya.

“Prinsip utama peserta didik tak perlu cemas hingga mempersulit diri dengan pemikiran AKM itu sulit. Begitu halnya dengan guru saat memberikan materi sebagai bahan ulasan soal AKM. Semua peserta didik memiliki peluang yang sama dengan beragam fokus yang ditekuni,” ungkap Supirman Kuswinarno.

Khoirul Anam juga mengulas tentang pembiasaan guru yang bergeser pada AKM, utamanya dalam mengembangkan soal. Pertama membutuhkan sebuah penyesuaian antara rekan guru untuk saling bersinergi. Artinya, proses pemahaman, proses perencanaan materi, hingga bentuk soal latihan yang disajikan kepada peserta didik menjadi ringan karena ditanggung bersama dalam RPP kolaborasi antar mata pelajaran.

“Sehingga bagi guru mata pelajaran tetap fokus sesuai dengan tupoksinya. Hal ini dimaksud agar tak membuat rumit proses pembahasan materi per tema yang disajikan saat pembelajaran di kelas. Hanya berbeda saat sajian soal latihan AKM, disana peserta didik mendapat mandat untuk mampu mengklasifikasikan sesuai bahan materi mata pelajaran yang selama ini diterimanya,” tutur Khoirul Anam.

Menurut Khoirul Anam, dalam pembelajaran didapati tiga komponen penting, yakni kurikulum, pembelajaran, dan yang terakhir asesmen. Guru perlu membuat sebuah analisis capaian yang diharapkan melalui penyederhanaan pemahaman kurikulum dalam perwujudan soal AKM. Lalu pola yang menyertai proses mencapai pemahaman serta mampu terilhami secara nyata pada peserta didik. Terakhir pada asesmen yang mengulas dan mengevaluasi apa saja yang sudah dicapai. Di dalamnya juga menyertakan ketegasan dan tindakan dini guru untuk bersikap kepada peserta didik tentang yang menjadi kebutuhannya dalam capaian kompetensi yang diharapkan.

“Hasil laporan capaian kompetensi peserta didik memberikan gambaran secara spesifik untuk seluruh guru mata pelajaran dalam menyusun strategi pembelajaran yang efektif dan berkualitas sesuai tingkatan ketercapaian peserta didik,” sambung Khoirul Anam.

Takaran yang tepat untuk porsi belajar setiap peserta didik mampu terserap berdasarkan kebutuhan peserta didik. Strategi tersebut juga mampu memberikan ruang nyaman dalam menuntaskan setiap soal meski soal AKM merupakan kolaborasi dari beberapa materi mata pelajaran.

“Dengan demikian semangat belajar peserta didik tetap terjaga. Tak ada lagi proses mengeluh hingga mengakhibatkan kecemasan dalam menghadapi ujian, justru peserta didik akan berusaha menempa dengan beragam kemampuan yang dimilikinya. Terakhir, memberikan padangan yang matang pada cita-cita atau keinginan terbaiknya untuk sukses dalam hidup bermasyarakat,” tutup Khoirul Anam.

Reporter/Foto: Chicilia Risca Y.

Lebih baru Lebih lama