JOMBANG – Desa merupakan bagian struktur pemerintahan terkecil di masyarakat. Kendati demikian nyatanya desa menjadi ujung tombak pembangunan di Indonesia. Sehingga pemerintah melalui berbagai upaya mendorong perekonomian desa. Salah satu diantaranya adalah dengan penyaluran Dana Desa (DD) dan program pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Namun dalam pelaksanaannya yang sudah berjalan hampir lima tahun, keberlangsungan BUMDes khususnya di Kabupaten Jombang belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang memuaskan. Dari total 302 BUMDes, hanya dua yang masuk dalam kategori maju, kemudian 12 dalam kategori berkembang, lalu sisanya masuk dalam kategori tumbuh dan dasar.

“Terlepas dari pengkategorian yang ada tersebut, berdasar dari monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan, mayoritas BUMDes di Kabupaten Jombang memiliki permasalahan yang hampir sama yakni terkait dengan proses manajemen, pengelolaan keuangan, dan bentuk perencanaan usaha yang konkret,” jelas Kepala Seksi Pemberdayaan Usaha Ekonomi dan Pelatihan Masyarakat, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Jombang, Andri Herlambang.

Terlepas dari pengkategorian yang ada tersebut, berdasar dari monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan, mayoritas BUMDes di Kabupaten Jombang memiliki permasalahan yang hampir sama yakni terkait dengan proses manajemen, pengelolaan keuangan, dan bentuk perencanaan usaha yang konkret.

“Di sisi lain, perlu adanya perubahan pola pikir bahwa BUMDes tidak hanya sekadar lembaga kemasyarakatan desa. Melainkan sesuai dengan namanya yakni badan usaha, sehingga harus dikelola secara profesional selayaknya sebuah perusahaan yang bertujuan pada keuntungan (profit) selain kegiatan sosial,” lanjutnya.

Sehingga untuk menangani permasalahan tersebut maka pemerintah mengadakan Program Sekolah BUMDes. Tujuannya untuk memberikan ilmu serta pemahaman dalam pengelolaan usaha yang maksimal. Bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) PGRI Dewantara Jombang, angkatan pertama akan diikuti oleh tigapuluh pengelola BUMDes dari tiap-tiap kecamatan yang ada di Kabupaten Jombang.

“Pada dasarnya penentuan BUMDes yang terpilih dilakukan secara acak. Setidaknya sudah memenuhi kriteria telah memiliki unit usaha yang bukan hanya jasa keuangan tapi ada rintisan usaha lain yang mampu berkembang. Tetapi tidak lantas menutup kesempatan pada BUMDes yang murni bergerak pada jasa keuangan, hanya saja harus sudah memiliki program pengembangan yang mampu mendukung. Terpenting adalah telah ada kepedulian dari seluruh aspek masyarakat, terutamanya kepala desa yang peduli,” tambah Andri Herlambang.

Baca Juga: Penghargaan Bahasa 2020 Supremasi Tertinggi Majalah Suara Pendidikan

Pelaksanaannya Sekolah BUMDes akan dilakukan seperti sekolah pada umumnya. Pengelola BUMDes akan mengikuti kegiatan pembelajaran di dalam kelas juga di luar kelas. Kegiatan pembelajarannya secara garis besar mempelajari tentang pengelolaan manajerial, keuangan, dan keberlanjutan BUMDes. Selain itu dilakukan analisis terhadap kasus-kasus yang kerap dihadapi pengelola BUMDes di lapangan beserta dengan langkah penyelesaiannya.

“Sudah ada kurikulum tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi di Jombang. Mengingat bahwa kurikulum harus disusun sesuai dengan kondisi dan lingkungan tempat operasional pembelajaran. Penyusunan kurikulum dan materi melibatkan sekitar dua puluh dosen dengan modul pembelajaran yang juga disusun oleh praktisi sesuai dengan bidang masing-masing,” terang Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) dan Kerjasama STIE PGRI Dewantara Jombang, Chusnul Rofiah, SE., MM.

Lebih lanjut, Chusnul Rofiah menjelaskan bahwa Sekolah BUMDes dilaksanakan dalam dua model yaitu in class dan out class. In class lebih kepada materi dan studi kasus yang ada di lapangan. Materi ini dilaksanakan dalam waktu 36 jam atau setara dengan enam kali pertemuan. Sedangkan masing-masing pertemuan selama lebih kurang 5 jam. Sementara untuk out class durasinya belum ditentukan. Namun pelaksanaannya akan melibatkan mahasiswa pengusaha muda Dewantara dengan didampingi dosen.

“Setiap tahap perkembangan dalam proses out class akan dilaporkan oleh mahasiswa dan dianalisa oleh dosen pendamping kemudian dilaporkan kepada tim Sekolah BUMDes. Jika muncul permasalahan akan segera diselesaikan tanpa menunggu pertemuan tatap muka di kelas. Ini demi keefektifan kinerja. Namun jika dipandang perlu untuk kegiatan tatap muka, serta dimungkinkan BUMDes sebagai pilot project melaporkan perkembangannya agar saling memotivasi sejauh mana usaha meruak dan keberlanjutan usahanya,” ungkap Chusnul Rofiah.

Ketua BUMDes Mojowarno Enggal Makmud, Haris Sakti Handono, S.Pd menyambut baik program yang digagas ini. Haris merasakan sendiri bahwa pengelolaan BUMDes memang sudah seharusnya dilakukan secara profesional didukung dengan ilmu yang mumpuni. Hal itu karena biasanya BUMDes dikelola seadanya saja.

“Ini momen belajar bagi pengelola BUMDes untuk bisa mengembangkan usahanya lebih baik dan maksimal lagi. Pengelolaan yang baik dan profesional ditunjang ilmu yang sesuai diharapkan, BUMDes dapat menjadi sumber pendapatan bagi desa yang selanjutnya bisa digunakan untuk pengembangan desa dalam segala aspek,” ungkap Haris Sakti Handono.

Namun pria yang juga seorang pengajar ini berharap persentase praktik dan pendampingan-pendampingan nyata di lapangan lebih banyak dilakukan dalam Sekolah BUMDes dibanding hanya teori. Sebab masyarakat kecenderungannya lebih menyukai serta lebih memahami saat hal yang dipelajarinya langsung dan nyata dilaksanakan.

Mengingat akan luasnya kemungkinan bentuk usaha yang tercipta dalam BUMDes, tentu diperlukan dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya dari DMPD dan STIE PGRI Kabupaten Jombang. Sehingga harapannya melalui Sekolah BUMDes, sinergitas, kerja sama, dan kebersinambungan program dan pelaksanaan antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait bisa terlaksana dengan baik. Sehingga mampu menciptakan desa dan masyarakat yang makmur.

Reporter/Foto: Fitrotul Aini/Istimewa

Lebih baru Lebih lama