Akhmad Idris*

Banyak faktor yang dapat membentuk identitas manusia, seperti budaya; agama; media; sejarah; bahasa; sistem ekonomi; politik; dan lingkungan, bahkan ada yang berasumsi bahwa identitas itu diturunkan ̶ genealogis ̶ , tidak dibentuk. Satu di antara tokoh dari pendapat ini adalah F. Barth dalam bukunya yang berjudul Boundaries and Connections.

Ia menyatakan bahwa identitas merupakan hal yang dapat ditandai lewat ciri fisik. Seorang anak yang memiliki orangtua keturunan Jawa (Indonesia), secara otomatis juga akan memiliki identitas Jawa (Indonesia). Ciri-ciri fisik seperti warna kulit, postur tubuh, dan bentuk hidung ̶ menurut Barth ̶ juga menjadi ciri khas seseorang untuk diidentifikasi oleh orang lain sebagai orang Jawa (Indonesia) atau yang lain.

Pendapat Frederick Barth tersebut dibantah oleh banyak tokoh, seperti Baumann dan Cohen yang menyatakan bahwa identitas dibentuk oleh lingkungan masyarakat dan sejarah. Pendapat ini didukung oleh Geertz dalam penelitiannya yang berjudul The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization.

Sebutan identitas palsu dilatarbelakangi oleh identitas maya yang diagung-agungkan dalam dunia maya ternyata berbanding terbalik dengan dunia nyata.

Geertz menjelaskan tentang seorang anak keturunan Jawa yang dididik oleh keluarganya untuk bertingkah laku sebagaimana sikap dan budaya Jawa. Penelitian Geertz menghasilkan sebuah temuan bahwa seorang anak yang sudah dapat dipastikan sebagai keturunan etnik Jawa tetap membutuhkan pengakuan orang lain ihwal ‘ke-jawa-annya’ lewat pendidikan Jawa di dalam keluarga (dibentuk oleh lingkungan keluarga).

Di era yang telah dilabeli dengan istilah society 5.0 ini, faktor pembentuk identitas manusia yang paling dominan di antara yang lain adalah media dan teknologi. Kecanggihan teknologi berbasis dalam jaringan seperti internet, telah menciptakan lingkungan budaya baru. Dulu arti lingkungan adalah teman sepermainan di lapangan; teman belajar di sekolah; atau peran orang tua di rumah, namun kini arti lingkungan telah bergeser menjadi medsos atau media sosial.


Baca Juga: Iuran Kesehatan Minus Rp 5 Miliar


Kini, permainan tidak lagi dilakukan bersama-sama di lapangan, tetapi dilakukan di atas kasur dengan hanya menggerakkan jari-jemari di atas sebuah layar. Kini, pembelajaran tak melulu tentang kertas-kertas yang dibaca bolak-balik bersama teman sebangku, tetapi dilakukan dalam sebuah komunikasi dalam jaringan dengan membaca sebuah materi yang tersimpan secara digital. Kini, orangtua tidak lagi menjadi prioritas ketika berada di dalam rumah, tetapi ‘teman-teman virtual’ lah yang disapa dan diajak bicara ihwal kejadian selama seharian di luar rumah.

Di dunia yang hiper-realitas (media sosial) tersebut, sesuatu yang maya dan sesuatu yang nyata telah melebur menjadi satu. Celakalah bagi mereka yang gagal membedakan di antara dua hal tersebut. Salah satu akibat kegagalan dalam membedakannya adalah ketaksadaran diri terhadap tipuan media sosial lewat sebuah telepon pintar yang dibawa kemana-mana.

Telepon pintar yang telah menjadi gaya hidup memaksa seseorang menilai kelas sosial dari merk telepon pintar yang digunakan. Semakin ‘bermerk’ telepon pintar yang dimiliki, berarti semakin tinggi pula kelas sosial yang disandangnya. Sialnya, beberapa kelompok orang yang sejatinya tidak mampu membeli telepon pintar yang ‘bermerk’ memaksakan diri untuk membeli telepon pintar ‘bermerk’ tersebut agar dapat diakui sebagai kelompok dengan kelas sosial yang tinggi.

Parahnya lagi, kelompok orang seperti ini tidak sadar bahwa dirinya telah ‘ditipu mentah-mentah’. Bukti nyata yang juga sempat menggemparkan dunia adalah aksi seorang pria 24 tahun asal China (Xiao Wang) pada 2011 lalu yang nekat menjual organ ginjalnya demi mendapatkan iphone 4. Fenomena ini agaknya sesuai dengan yang dikemukakan oleh Featherstone dalam Postmodernisme dan Budaya Konsumen bahwa di dalam budaya konsumen, konsumsi tidak harus dimengerti sebagai konsumsi nilai manfaat, tetapi bisa saja dipahami sebagai konsumsi tanda.

Akibat lainnya dari kegagalan membedakan antara hal yang maya dan hal yang nyata adalah ketaksadaran diri manusia yang telah menjadi homo ludens. Frissen, dkk dalam Playful Identities: the Ludification of Digital Media Cultures menjelaskan bahwa homo ludens merupakan kelompok atau golongan manusia yang sangat menyukai permainan. Lewat permainan inilah (media sosial), manusia membentuk identitasnya. Tanpa disadari bahwa identitas yang dibentuk hanyalah sebuah permainan. Sialnya lagi, permainan tersebut akan menimbulkan kesenangan dan sulit untuk ditinggalkan sehingga akan tumbuh menjadi sebuah gaya hidup.

Sebutan identitas palsu dilatarbelakangi oleh identitas maya yang diagung-agungkan dalam dunia maya ternyata berbanding terbalik dengan dunia nyata. Kepopuleran tokoh Dilan dan Milea dalam novel sekaligus film di jagad media sosial yang kemudian ditiru oleh penggemarnya di dunia nyata lewat mengenakan jaket persis jaket yang dipakai oleh Dilan dan Milea.

Pada awalnya proses imitasi hanya terjadi dari segi pakaian, lama-kelamaan proses imitasi tersebut akan melebar pada aspek-aspek lainnya, seperti cara bicara; motor yang dipakai; hingga cara menjalani kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, secara perlahan identitas asli telah ‘ditelan hidup-hidup’ oleh identitas palsu yang tak lain hanyalah sebuah pencitraan bayangan. Penciptaan identitas palsu seperti ini merupakan bagian dari fenomena krisis identitas karena kepalsuan hidup yang terus terjadi secara berlapis-lapis.

Ujung-ujungnya, kehidupan manusia hanya akan ditentukan oleh sebuah tiruan. Padahal sebagaimana yang diungkapkan oleh Rene Descartes, bahwa manusia yang hidup adalah manusia yang berpikir. Apa jadinya jika kehidupan manusia ditentukan oleh sebuah tiruan, bukan pikiran?

Kebenaran Pernyataan-pernyataan di atas dapat dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunuhadi, dkk (2013) dari Universitas Negeri Semarang dalam Journal of Social and Industrial Psychology tentang status identitas remaja. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ditunjukkan bahwa faktor yang sangat berperan dalam pembentukan identitas remaja adalah media teknologi informasi dan komunikasi, keluarga, lingkungan teman sebaya, dan pengalaman masa lalu.

Faktor lainnya seperti gender, budaya, dan etnis kurang berpengaruh terhadap pembentukan identitas remaja. Hal ini berbanding terbalik dengan pendapat orang-orang yang berusia lanjut. Berdasarkan hasil survei PEW Research Center yang dikutip oleh Wibisono, ditunjukkan bahwa hanya orang-orang berusia lanjut yang mengatakan tempat lahir penting bagi identitas kebangsaan. Sementara sebagian besar responden menyatakan bahwa tempat lahir tidak terlalu penting untuk persatuan bangsa.

Mengamati fakta-fakta yang telah dikemukakan, bukan hal yang mustahil bahwa dalam beberapa tahun ke depan ‘satu-satunya’ faktor pembentuk identitas adalah teknologi informasi dan komunikasi alias media sosial. Jika yang mempedulikan etnis dan budaya hanya orang-orang berusia tua, maka hanya tinggal menunggu waktu saat kepedulian itu akan menjadi puing-puing kenangan belaka.

*) Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya.

Lebih baru Lebih lama