KABUH –
Sukiman, lelaki renta kelahiran 1954 ini populer di Desa Munungkerep, Kecamatan Kabuh. Orang menyebutnya dengan Sukiman Tayub. Sebutan itu tak sekedar disematkan, namun karena ketelatenan dan keuletannya menggeluti kesenian tayub. Sukiman meyakini, kesenian tayub sudah menjadi garis hidupnya.

Sukiman yang aslinya dari Lamongan, sejak 1977 menetap di Kecamatan Kabuh. Dia mengikuti sang istri. Keterlibatannya di tayub berawal dari kegemarannya menyaksikan dan berani tampil ketika diminta para penonton.

“Mulanya saya didapuk sebagai Plandang atau Pramugari Tayub ketika menyaksikan pementasan di Dusun Sulubung, Desa Manungkerep pada sebuah hajatan. Saat diminta naik panggung langsung saja unjuk gigi, Alhamdulillah responnya baik dan berlanjut hingga sekarang,” tutur Sukiman sewaktu ditemui di kediamannya.

Sukiman masih memiliki harapan agar Plandang sebagai penopang ketertiban hajatan dan pentas bisa diregenarasi.

Soal pementasan panggung sudah bukan menjadi sesuatu yang asing bagi Sukiman. Sebab di tahun 1983 dia pernah bergabung dengan grup ludruk sebagai penari Remo Lanang. Baru serius menggeluti tayub tatkala grup Ludruk Taruna Jaya yang diikutinya pamornya meredup.

Peran Plandang Tayub tak ubahnya sebagai pembawa acara yang mengontrol seluruh jalannya pagelaran dari awal hingga akhir. Jangan dibayangkan seperti pembawa acara pada umumnya, karena Plandang Tayub pun ikut larut di dalamnya.

Baca Juga: Sulistyaningati Campursari Adalah Dunianya


Sukiman membeberkan pengalamannya, “Rasa gugup, was-was, dan takut itu lumrah. Selain masih awal tentunya berbeda saat latihan. Namun saya selalu berusaha percaya diri dan yakin mampu menembang suluk, menari menggunakan sampur (baca: selendang), dan tak ubahnya pranoto adicoro.”

Memang pada dasarnya kesenian tayub memiliki makna ayo ditoto sarono guyub. Dalam sebuah pementasan semuanya wajib mengedepankan kerukunan dan kebersamaan. Jika ditelisik lebih jauh, tayub juga memiliki dimensi spiritual mewakili tata cara pembukaan.

Pertama, dibuka oleh Plandang dan wajib diiringi tembang eling-eling. Kedua, dilanjutkan dengan tembang Gedhong Jowo. “Kedua tembang tersebut bermakna bahwa kita sebagai masyarakat, harus ingat budaya dan tradisi Jawa, sekaligus ingat selalu kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Sukiman.

Kini, memasuki usia yang makin senja, Sukiman masih memiliki harapan agar Plandang sebagai penopang ketertiban hajatan dan pentas bisa diregenarasi. Sebagai sosok senior di dunia tayub, pria berkacamata ini mengatakan bahwa dirinya akan menerima dan siap berbagi ilmu, bilamana ada generasi baru yang ingin belajar pakem seni pertunjukan itu.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama