PLANDAAN –
Tempe merupakan salah satu lauk yang lazim disantap khususnya pada masakan rumahan. Selain murah, rasanya pun nikmat dan sesuai jika dipadukan dengan pelbagai masakan. Bila kebanyakan tempe dijual batangan dan berbungkus plastik, tetapi ketika berkunjung ke Desa Pojoklitih, Kecamatan Plandaan maka akan menjumpai tempe yang berbeda. Hal itu lantaran tempe dibuat dengan cara tradisional dan dibungkus dengan daun pisang.

Mbah Surati adalah pemilik usaha tempe yang sudah berjalan lebih kurang 40 tahun. Menurutnya, pengolahan tempe dengan cara tradisonal hingga pengemasannya mampu memberikan citarasa tersendiri. Selain itu ketepatan dalam pemberian ragi, menjadi kunci kenikmatan tempe. Apabila kurang atau terlalu banyak, rasanya akan berbeda. Untuk itu perhitungannya haruslah tepat sesuai takaran yang dikehendaki.

“Kedelai yang saya gunakan memang ukuran besar. Kemudian ditambahkan sedikit ragi dan dibungkus dengan daun pisang. Hasilnya bisa dilihat sendiri, baik aroma hingga rasa yang tercipta sangat khas. Berbeda dengan tempe kebanyakan,” jelas perempuan berusia senja ini.

Kedelai yang saya gunakan memang ukuran besar. Kemudian ditambahkan sedikit ragi dan dibungkus dengan daun pisang. Hasilnya bisa dilihat sendiri, baik aroma hingga rasa yang tercipta sangat khas. Berbeda dengan tempe kebanyakan.

Bahkan pada musim-musim tertentu, Mbah Surati memilih menggunakan jenis dedaunan lain untuk membungkus. Mulai dari daun temulawak, kunyit, hingga jati. Terlebih lagi kalau menggunakan daun temulawak atau kunyit, serasa ada aroma berbeda yang nikmat tatkala dibuka untuk digoreng.

Tiap harinya Mbah Surati menghabiskan kurang lebih 15 kilogram sampai 20 kilogram kedelai guna bahan dasar pembuatan tempe. Lantaran sudah ada pelanggan tetap yang saban pagi selalu mengambil. Belum lagi jika ada kegiatan dari Pemerintah Kabupaten Jombang, tak jarang tempe produksi Mbah Surati menjadi rujukan buat buah tangan.

Baca Juga: SMP Negeri 2 Jogoroto Membangun Karakter Anak Didik dengan Karawitan

Mbah Surati menuturkan, “Harganya pun relatif murah. Per tempe dihargai Rp 1.000, sementara jika dibeli untuk dijual kembali, saya berikan harga sama, namun diberi bonus dua bungkus.”

Kini karena usia yang sudah 70 tahun, Mbah Surati tidak sendiri dalam mengerjakan. Dibantu anak dan menantunya yang tiap hari menemaninya menyelesaikan segala rangkaian proses pembuatan tempe. Oleh karena itu, dia berharap jika mau memesan untuk oleh-oleh tempe buatannya setidaknya dua hari sebelum diambil.

Reporter/Foto: Chicilia Risca Y.

Lebih baru Lebih lama