Aditya Ardi N.*

Membincang dunia anak-anak memang tidak pernah ada habisnya, mereka bermain dengan ruang, waktu, logika, dan dunianya sendiri. Untuk itu penting disadari orangtua di rumah atau guru di sekolah dalam mengasuh serta mendidik anak diperlukan pendekatan khusus, yaitu sebuah proses “menghantarkan” dunia kita (baca: orang dewasa) dengan segala kompleksitasnya kepada dunia anak-anak dengan keluguan dan kepolosannya.

Di sini tentu terjadi proses “menjadi” anak-anak, sehingga tidak ada jurang pemisah antara dunia kita dengan dunia anak-anak. Tujuannya agar kita dapat mengakomodir kebutuhan, serta keinginan, bahkan perkembangan anak dari dekat. Sehingga tak terjadi Misunderstanding lantaran keterbatasan kemampuan orang tua menyelami dunia dan alam pikir anak.

Keberadaan sastra bagi anak, kerap dicap sebagai salah satu jalur alternatif untuk menyemaikan nilai luhur dalam diri anak. Beberapa penulis buku sastra anak yang sedang bergulat kreatif dengan berandai-andai secara psikis, antara lain Riris K Toha Sarumpaet, Sugihastuti, Burhan Nurgiyantoro, Henry Guntur T dsb. Umumnya mereka hendak mengkotakkan sastra untuk anak. Aspek psikologi yang paling penting bagi anak adalah soal relevansi, dan relevansi sastra ini akan berkaitan dengan fungsi sastra bagi anak.

Kehadiran gadget seperti smartphone dan tablet tentunya menjadi tantangan tersendiri. Kuncinya tetap ada pada orang tua yang harus protektif, memiliki fungsi kontrol dan pengawasan ketat terhadap anak supaya terhindar dari ekses negatif yang ditimbulkan oleh teknologi mutakhir.

Kondisi kejiwaan anak memang masih labil, saat inilah sebenarnya sastra yang memuat budi pekerti serta moralitas yang baik dapat mulai ditanamkan. Sastra anak dalam konteks ini bukan sebuah genre atau aliran baru dalam kesusasteraan. Sastra anak hanya bentuk kodifikasi untuk memudahkan penyebutan, esensinya sastra tetaplah sastra, dan itu penting bagi perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik bagi anak.

Dalam kaitan ini Roettger (1994) banyak memberikan rumusan sastra anak dan kandungan nilainya. Asumsinya anak-anak akan mendapat manfaat setelah menikmati sastra, dengan kata lain instrinsic values sastra akan menggerakkan pola pikir anak dan dunianya. Salah satunya, bahwa sastra memberi kesenangan dengan cara menyajikan pengalaman serta wawasan baru kepada anak, selepas membaca cerita kesukaannya.

Mengingat anak-anak selalu memiliki rasa ingin tahu dan menggandrungi hal-hal yang baru. Endapan cerita tersebut secara psikis akan berdampak pada perilaku dalam kesehariannya. Misalnya selepas membaca Legenda Timun Mas, atau Bawang Merah Bawang Putih, anak akan mendapat pengalaman-pengalaman yang seolah dialaminya sendiri, gampangnya ia akan mengenali mana tokoh baik, dan mana tokoh jahat dalam cerita yang dibacanya.

Baca Juga: Ahmad Suhuddin, S.Pd Iklim Sekolah Mengantarkannya Jadi Juara

Tokoh dalam bacaan secara tidak sadar akan mendorong atau mengajari anak mengendalikan berbagai emosi, misalnya benci, takut, marah, khawatir, kecewa, angkuh, dan lain-lain. Selanjutnya – meminjam istilahnya Endraswara − anak akan membandingkan, mengklasifikasi, menghipotesiskan, mengorganisasikan, menerapkan, dan mengkritik.

Gagasan tersebut kemudian secara otomatis akan ditimbang-lanjutkan menjadi perilaku insani (human behaviour), yang abstrak telah berubah menjadi yang konkret. Persoalannya kemudian, tidak semua orangtua menyadari pentingnya menyediakan buku-buku bacaan yang bagus bagi anak-anak. Sebenarnya pendidikan dalam keluarga memegang peran penting bagi tertanamnya tradisi membaca bagi anak, orangtua adalah model yang semestinya menjadi teladan.

Jika orang tua di rumah gandrung membaca maka kebiasaan tersebut pastinya akan ditirukan oleh si anak, begitu pun sebaliknya. Tetapi justru reading habitual (tradisi membaca) dalam keluarga kerap kali terhambat oleh adanya tontonan-tontonan murahan yang tidak edukatif bagi perkembangan anak. Disadari atau tidak anak-anak kita lebih nyaman berjam-jam di depan kotak televisi ketimbang menghadapi bacaan.

Belum lagi kehadiran gadget seperti smartphone dan tablet tentunya menjadi tantangan tersendiri. Kuncinya tetap ada pada orang tua yang harus protektif, memiliki fungsi kontrol dan pengawasan ketat terhadap anak supaya terhindar dari ekses negatif yang ditimbulkan oleh teknologi mutakhir.

Sekolah juga kerap kali dicap gagal dalam menanamkan tradisi membaca dengan baik pada diri anak-anak. Saya sangat prihatin saat menemui sekolah yang belum memiliki perpustakaan, dan kalau pun memiliki perpusatakaan kualitas bukunya juga tidak baik, tidak tersedia buku-buku cerita atau puisi anak, buku banyak yang rusak, tidak layak baca sehingga mempengaruhi minat anak untuk bersentuhan dengan buku.

Padahal seharusnya di “sangkar ilmu” inilah tiang pancang paradigma harus ditegakkan. Sejak berubahnya tradisi lisan menjadi tradisi tulisan hampir semua pengetahuan terdapat di buku dan sisanya ada di alam. Maka sudah pada tempatnya bila sekolah menjadi podium yang efektif bagi perkembangan bacaan, dan menjadi laboratorium tempat bertemunya gagasan kreatif antara guru-siswa.

Pendek kata kita harus menumbuh-kembangkan apresiasi baca dan apresiasi sastra anak-anak kita. Khusus kepada guru, disarankan agar anak didik mereka diberi kesempatan membaca buku setiap hari; mengetahui minat anak didik agar membantu mereka untuk menemukan buku-buku yang sesuai dengan minat tersebut; selain itu juga diharapkan memberi informasi kepada anak didiknya mengenai buku-buku yang baik serta membicarakannya dengan sesama teman atau dengan guru.

Semoga nilai plus kehadiran sastra bagi anak yang mana tersimpan nilai-nilai edukatif di dalamnya dapat segera terealisir, sehingga proses perkembangan kognitif perkembangan kepribadian benar-benar dapat diwujud-nyatakan dalam perilaku kesehariannya.

*) Penyair yang tinggal di twitter @aan_sick.

Lebih baru Lebih lama