NASIONAL - Pengujung tahun kerap diadakan sebuah refleksi, tidak terkecuali dalam aktivitas pendidikan di Indonesia. Bukan hanya sebatas pada penguasaan materi hingga kemampuan peserta didik dalam mengaktuliasaikan hasil pembelajaran. Namun lebih jauh daripada itu adalah sisi kepribadiannya sebagai manusia sesungguhnya dengan bercermin keragaman yang ada dalam negeri ini.

Membicarakan persolan ini Yayasan Cahaya Guru mengadakan Zoom Virtual yang turut menghadirkan Koordinator Jaringan Gusdurian Nasional, Alissa Wahid; PLT Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno; Febi Yonesta dari YLBHI; dan pengamat Pendidikan, Donny Koesoema, pada Selasa (29/12).

Alissa Wahid mencatat dunia pendidikan di tengah pusaran keberagaman masyarakat hari ini masih berada dalam arus pertentangan dua kutub nilai keagamaan. Dua nilai tersebut terbagi dalam bentuk praktik keagamaan, inklusif substantif dan legal formalisitik.

Tentu bisa dari hal-hal yang sederhana, termasuk merangsang peserta didik, untuk berani menghargai serta mengemukakan pendapat yang beragam. Sehingga nantinya peserta didik sudah memiliki bekal untuk hidup di masyarakat.

“Bentuk kedua praktik keagaman tersebut masih cukup banyak pertetangannya. Namun sudah jelas bahwa di dunia pendidikan kita butuh bentuk keagaman yang inklusi substantif. Ini penting agar ruang-ruang kebersamaan terjaga. Terlebih banyak sekolah yang mencatumkan ketaqwaan dalam visis misinya. Untuk mencapai nilai ketaqwaan tersebut, harus dilandasi dengan penumbuhan nilai keragaman serta sistem pendidikan yang adil dan berimbang,” ujar putri sulung Gus Dur tersebut.

Konsep keadilan yang menjadi marwah keragaman dalam praksis pendidikan, juga diungkapkan oleh Donny Koesoema selaku pengamat pendidikan. Kegiatan di sekolah juga harus tertuju pada keragaman. Ini cukup penting agar praktik intolenrasni bisa dikikis di lingkungan sekolah. Metodenya bisa lewat menjalankan supervisi sekolah, yang harus melibatkan seluruh perangkat di sekolah tersebut.

Donny Koesoema menjelaskan, “Terutama bagi sekolah bertatus negeri, yang memiliki peserta didik dengan ragam latar belakang, maka sudah mesti dan harus menjadi embrio keragaman dalam pendidikan.

Baca Juga: Menjemput AKM dengan Kebiasaan Baru

Menurut data di Kementeria Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI mengenai keragaman pendidikan yang disampaikan oleh Totok Suprayitno bahwa lingkungan sekolah ibarat sebuah miniatur dari masyarakat. Maka untuk menciptakan keragaman tersebut, harus diawali oleh pembelajaran yang tidak satu arah dan hanya terpusat dari guru.

“Tentu bisa dari hal-hal yang sederhana, termasuk merangsang peserta didik, untuk berani menghargai serta mengemukakan pendapat yang beragam. Sehingga nantinya peserta didik sudah memiliki bekal untuk hidup beragam di masyarakat,” jelas Totok Suprayitno.

Keragaman memang menjadi sebuah anugerah yang harus bijak disikapi. Ini yang juga disampaikan oleh Alissa Wahid dalam penutupnya. Upaya menjaga keragaman telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang terdapat program kebijakan menjalankan moderasi agama.

Terakhir, Henny Supolo selaku Ketua Yayasan Cahaya Guru juga berpesan agar semua pihak baik sekolah, pendidik dan terutama media, turut aktif untuk senantiasa menggemakan pentingnya hidup dengan keragaman.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama