MOJOWARNO – Peninggalan masa silam selalu menyimpan beribu cerita yang sangat disayangkan jika tidak dituliskan seluk beluknya sebagai wawasan sejarah. Termasuk jenis-jenis peninggalan bersejarah yang umum ditemui ialah bangunan atau rumah dengan usia yang tak lagi muda.

Ragam arsitektur bangunan-bangunan tersebut mulai dari bernuansa Eropa dan Jawa masih bisa ditemui disekitar kita. Salah satunya rumah milik R. Setiawan Jeboes di Desa/Kecamatan Mojowano. Dilihat sepintas dari kejauhan hanya nampak seperti bangunan tua pada umumnya.

Namun, tahukah bahwa rumah yang kini ditempati kakek dengan tiga orang cucu ini, sudah berusia 120 tahun. Menjadi salah satu rumah dengan usia tertua di wilayah selatan Kabupaten Jombang. Menurut keterangan R. Setiawan Jeboes, rumah yang kini dia tinggali bersama istrinya tersebut, merupakan peninggalan dari kakeknya.

Sampai saat ini saya hanya merenovasi lantai dalam dengan keramik dan membagi separuh ruang belakang untuk kamar mandi, sebab jika memakai kamar mandi yang asli letaknya agak jauh.

“Persisnya, rumah ini didirikan pada tahun 1901. Dulu didirikan oleh R. Wirjosentono Muso Jeboes atau yang lebih dikenal masyarakat dengan Mbah Bau. Mbah Bau sendiri adalah kakek saya yang dulu menjadi pegawai di Kecamatan Mojowarno di era Hindia-Belanda. Kemudian sepeninggalan kakek saya, maka rumah ini menjadi waris ke ayah saya yakni, R.Wirjosantoso Jeboes mulai 1941 dan sampai meninggal pada 1983 akhirnya berganti diwariskan ke saya,” ujar R. Setiawan Jeboes.



Peralihan kepemilikan rumah yang bergaya Jawa dan Madura tidak lepas dari silsilah R. Setiawan Jeboes yang merupakan keturunan dari Raden Abdulkadirun Sultan Cakraadiningrat II dari Madura dan Kasunanan Kartasura yakni Pakubuwono I. R. Setiawan Jeboes mengungkapkan bahwa garis keturunan tersebut dia dapatkan dari Kakek Buyutnya, R. Karulus Wirioguno yang dari Bakalan, Madura menjadi pembuka wilayah Mojowarno atau dulu disebut Hutan Keracil menikah dengan RR. Siti Badariah.

“R. Karulus Wirioguno memang turunan keempat dari Cakraadiningrat II dan tertulis sebagai pembuka Hutan Keracil yang sekarang dikenal dengan Kecamatan Mojowarno ini. Sedangkan untuk garis keturunan dari Kasunanan Kartasura, ini mewarisi dari silsilah nenek buyut yang berasal dari Pakubuwono I,” jelas R. Setiawan Jeboes.

Fungsi Hingga Filosofi

Sepulang dari merantau di Jakarta, R. Setiawan Jeboes baru menempati rumah bersejarah tersebut pada tahun 1990. Selama kurun waktu 30 tahun tersebut, banyak kisah dan pengalaman R. Setiawan Jeboes dalam merawat rumah bersejarah ini. Perpaduan dua budaya antara Jawa dan Madura membuatnya begitu teguh untuk mempertahankan bentuk arsitektur aslinya.



“Sampai saat ini saya hanya merenovasi lantai dalam dengan keramik dan membagi separuh ruang belakang untuk kamar mandi, sebab jika memakai kamar mandi yang asli letaknya agak jauh. Selebihnya untuk kayu ukiran khas Madura dan tiang penyangga dengan motif ukiran cakra tidak saya ubah, sebab mengandung nilai filosofis yang tidak semua rumah memilikinya,” tegas R. Setiawan Jeboes.

Bagi R. Setiawan Jeboes, rumah yang kini ditinggali untuk menghabiskan masa tuanya, tidak sekedar menjadi hunian untuk berlindung dari panas dan hujan. Bersama istrinya, R. Setiawan Jeboes merawat segala ingatan mengenai sejarah jasa para pendahulunya. R. Setiawan Jeboes juga menceritakan bahwa rumahnya dulu menjadi saksi kala kakeknya mengadakan pertemuan dengan seluruh lurah di Mojowarno.



“Rumah ini memang memiliki catatan sejarah yang panjang dan menjadi makna tersendiri bagi saya dan keluarga. Secara filosofi tentu memberikan ketentraman baik lahir maupun batin, karena ini merupakan warisan dari moyang dan pantang untuk dijual,” pungkas pria berkacamata ini.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama