BARENG - Dusun Banjarsari, Desa Kedungwinong, Kecamatan Bareng, berada di kaki Gunung Anjasmoro. Kawasan ini telah lama di kenal sebagai lumbung padi Kota Santri. Selain hamparan sawah yang luas, juga hasilnya relatif berkualitas.

Tak dielakan pelbagai tradisi melekat berkaitan dengan aktivitas pertanian masih dijaga dan dilestarikan hingga kini. Salah satunya adalah Clorotan, sebuah tradisi bentuk rasa syukur para petani dan berharap tak sampai ada marabahaya yang menimpa.

Sesepuh Dusun Banjarsari, Lawi menceritakan bahwa tradisi ini sudah ada sejak lama. Bahkan ketika dirinya masih kecil, yakni ketika masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) sekitar tahun 1950-an, tradisi tersebut sudah ada.

Menariknya dalam tradisi Clorotan ini wajib ada tiga jenis kue, yaitu Clorot, Brondong, dan Pasung. Ketiganya memiliki makna tersendiri sehingga menjadi simbol perwujudan pengharapan yang dikehendaki.

Menurut lelaki paruh baya ini, “Tradisi Clorotan memang dilakukan tiap Jumat Pahing sebelum musim tanam padi dimulai. Tujuannya tak lain meminta perlindungan kepada Tuhan YME agar para petani tak sampai tersambar petir ketika bekerja.”

Lawi menambahkan, warga percaya bahwa menjadi petani sangat berpotensi tersambar petir ketika hujan datang. Dikarenakan bekerja di area terbuka yang bisa menjadi sasaran empuk ketika petir menyambar.

Baca Juga: Himpaudi Kabupaten Jombang Dampingi Akreditasi Lembaga

Menariknya dalam tradisi Clorotan ini wajib ada tiga jenis kue, yaitu Clorot, Brondong, dan Pasung. Ketiganya memiliki makna tersendiri sehingga menjadi simbol perwujudan pengharapan yang dikehendaki. Clorot dimaknai petir yang menyambar, brondong (Jawa: memberondong/berulang-ulang), serta Pasung memiliki semiotika menangkal atau memasung.

Dalam arti luasnya, kue-kue itu dimaksudkan walaupun petir menyambar berulang kali namun dapat ditahan dan dipenjarakan. Perhelatan kali ini berbarengan dengan memasuki tahun baru, sehingga ada kemasan lain dari pada biasanya. Terlebih lagi di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, kekreatifan menjadi jalan keluar.



Tokoh masyarakat Dusun Banjarsari, Samiaji mengatakan ada pembeda dalam gelaran Clorotan sekarang ini. Lantaran diperlombakan dalam pembuatan kue Clorot, Brondong, serta Pasung. Setiap RT/RW berkreasi sebaik mungkin, baik dari segi rasa, tampilan, hingga aneka macam variasi lain.

“Bukan perkara hadiah yang diperebutkan. Melainkan lebih pada membangun tradisi Clorotan agar semakin membumi. Sehingga walaupun kedepannya tak dilaksanakan dalam rangka musim tanam, kue berbahan dasar tepung beras, gula, dan nangka ini tetap bisa disajikan dengan bermacam-macam kegiatan dusun,” ungkap Samiaji.



Senada dengan Samiaji, Kepala Dusun Banjarsari, Siswanto pun melihat lain bahwa tradisi Clorotan mampu membangun kerukunan dan gotong royong warga. Lantaran setelah berdoa bersama, kue yang dibawa akan dibagikan merata ke semua tetangga. Dengan demikian, rasa kebersamaan dan rasa memiliki semakin tumbuh dengan baik.

Siswanto mengatakan, “Tradisi yang ditinggalkan oleh leluhur pasti memiliki nilai kebaikan. Dari Clorotan kita bisa belajar pentingnya kerukunan dan persatuan di tengah warga.”

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama