PETERONGAN – Desa adalah muara kebudayaan. Pernyataan tersebut secara lugas mewakili segala bentuk ikatan sosial masyarakat desa yang hari ini masih terus ‘bertahan’. Ikatan sosial tersebut juga tidak terlepas dari tradisi tutur sebagai pembentuk ruang imaji historis yang memiliki peran sebagai pengikat identitas masyarakat. Tradisi tutur sebagai kebudayaan lokal, telah meresap dalam nadi masyarakat, dan tumbuh melewati segala rintangan zaman, dan berfungsi sebagai pedoman laku hidup sehari-hari.

Seperti halnya di Desa Senden, Kecamatan Peterongan Kabupaten Jombang. Tradisi tutur mengenai cikal bakal tanah kelahiran masyarakat dari lintas generasi, masih terus dipelihara dan dibalur dengan beragam tradisi yang bersifat kolektif. Diantaranya, ruwah desa, sedekah desa, maupun malam jemuah legi.

“Dinamakannya Desa Senden ini, sebab awal mulanya terdapat peristiwa munculnya ular yang menyebabkan pepohonan tumbang. Tumbangnya pohon inilah yang disebut senden, atau secara harfiahnya diartikan roboh atau bersandar.”

Kepala Dusun Senden Jaenuri menuturkan bahwa awal mula wilayah ini ditandai oleh pohon asam dan jati di sudut persawahan desa. Tanda wilayah berupa pohon asam dan pohon jati tersebut menjadi bukti kesaktian serta ketangkasan Ki Singosetro Sakti yang kuat dalam menjalani tirakat serta tanggap dengan marabahaya, selama melakukan pembukaan kawasan hutan Desa Senden bersama Dewi Pucung Sari.

Baca Juga: Baik Buruknya Berbuka Puasa dengan yang Manis

“Tradisi serta kepercayaan masyarakat Desa Senden tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin sosok Ki Singosetro Sakti beserta Dewi Pucung Sari. Dari kisah turun temurun para tetua Desa Senden, Ki Singosetro Sakti merupakan utusan Kerajaan Majapahit bersama Dewi Pucung Sari yang bertugas membabah alas. Keduanya sampai hari ini masih diharumkan namanya lewat tradisi yang masih lestari,” ungkap Jaenuri.



Sesepuh Desa Senden, Susila, menambahkan bahwa terdapat suatu peristiwa yang menjadi awal penamaan Senden. Menurut tradisi lisan lokal yang berkembang, kesaktian Ki Singosetro dalam membuka wilayah Senden, ditandai oleh munculnya seekor ular besar di ujung hutan. Kemunculan ular ini disebabkan oleh kesaktian Ki Singosetro yang mampu menjaga keasrian hutan Senden dari segala marabahaya, termasuk ancaman hewan buas.



“Berdasarkan kisah turun temurun dari kakek buyut saya, dulu ketika Ki Singosetro melakukan pembabatan hutan, secara tiba-tiba muncul ular yang bukan kepalang besarnya. Sehingga ular tersebut mengamuk dan memporak-porandakan seluruh sisa hutan yang ada. Walhasil dari peristiwa tersebut, pepohonan banyak yang tumbang, roboh berserakan. Maka disebutlah kata Senden yang berarti roboh atau bersandar,” tutur Susila.



Susila yang sudah berusia hampir satu abad ini, masih begitu lugas dan bersemangat dalam mengisahkan sisik melik tanah kelahirannya. Sembari mencoba mengumpulkan ingatannya, perempuan renta ini menambahkan, versi lain lain dari Desa Senden bermula dari seringnya wilayah Hutan Senden dijadikan tempat peristirahatan dan persinggahan para punggawa Majapahit termasuk kerabat Ki Singosetro. Mereka kerap beristirahat dengan menyandarkan badan, atau Senden.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama