JOMBANG – Magrib baru saja berlalu, jam dinding menunjukkan pukul 18.15 WIB. Ketenangan warga Dusun Banjarsari, Desa/Kecamatan Bareng berubah menjadi kepanikan, Senin (1/2/2021). Suara bergemuruh terdengar. Air yang sungai naik ke permukiman dan menerjang dusun tersebut. Banjir bandang telah datang.

Intensitas air bah yang cukup deras ini, juga memutus jembatan sebagai infrastruktur penghubung wilayah antar dusun di Banjarsari. Menurut penuturan warga setempat, peristiwa serupa di Dusun Banjarsari terakhir terjadi pada 1969. Dan tepat pada Februari 2021 inilah kali kedua banjir bandang memporak-porandakan kampong mereka.

Catatan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana) Jombang menyebut, wilayah Bareng termasuk dalam enam kecamatan di Kabupaten Jombang yang menjadi titik rawan bencana alam. Lima kecamatan lain meliputi Wonosalam, Mojowarno, Mojoagung, Sumobito dan Plandaan. Banjir dan tanah longsor mengintai wilayah-wilayah tersebut.

Langkah yang harus diambil dalam penganggulangan bencana, yaitu beberapa tindakan preventif. Mulai dari penguatan komunitas tangguh bencana sampai konservasi di kawasan resapan.

Sekretaris BPBD Jombang, A.Lumban Gaol SH.Ms.i mengatakan bahwa kerentanan enam wilayah kecamatan tersebut didominasi oleh fenomena hidrometrologis. “Hidrometrologis yang menghasilkan banjir dan tanah longsor, di enam kecamatan yang sudah terdata, terbagi dalam 10 desa. Diantaranya Wonosalam terdapat tuga desa, yakni Carangwulung, Jarak dan Galengdowo,” ujarnya.

“Kemudian Kecamatan Bareng terdapat satu desa, yakni Ngrimbi. Lalu Kecamatan Mojowarno ada dua desa yakni Karanglo dan Selorejo. Sedangkan Mojoagung terdapat dua desa yakni Gambiran dan Kademangan. Sementara Sumobito ada satu desa yakni Madyapuro dan terakhir di Kecamatan Plandaan ada satu desa, yaitu Plabuhan,” sambungnya.

Baca Juga: Selama Berpuasa Perhatikan Nutrisi Tubuh

Menurut A Lumban Gaol, upaya yang dilakukan BPBD dalam menanggapi fenomena Hidrometrologis di Kabupaten Jombang adalah membentuk program komunitas tingkat desa yang disiagakan untuk tanggap bencana. Program yang dikenal dengan nama Destana atau Desa Tanggap Bencana ini diluncurkan sejak 2017. Adapun tim pelaksana di lapangan, diambil dari seluruh masyarakat desa setempat termasuk para perangkat desa.

“Desa tanggap bencana ini merupakan program dari pusat, yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Untuk di Kabupaten Jombang sendiri, terbentuklah 10 desa dari enam kecamatan yang rentan tersebut. Tentu tujuannya untuk mengedukasi masyarakat agar lebih peka dan tanggap terhadap wilayahnya sendiri,” katanya.

“Oleh karenanya, bentuk pelatihan dalam program Destana, yang meliputi sosialisasi, simulasi hingga penentuan jalur evakuasi ini kami kemas dengan melibatkan pengetahuan lokal yang ada. Sebab masyarakatlah yang lebih paham dan mengenal wilayah mereka sendiri. Jadi program Destana ini juga akan berhasil jika masyarakat turut aktif di dalamnya,” imbuh A Lumban Gaol.



Semenjak disosialisasikan pada 2017 hingga hari ini, pelaksanaan Destana terpaksa banyak terhenti akibat pandemi. Meski demikian A Lumban Gaol beserta jajarannya berharap bahwa apa yang telah diupayakan selama ini bisa dipratikkan secara optimal oleh masyarakat, mengingat fenomena hidrometrologis yang sukar ditebak.

Menanggapi hasil dari program tersebut, Kepala Urusan Keungan Desa Ngrimbi Kecamatan Bareng, Arif Novianto, menerangkan bahwasannya pembentukan Destana sudah memberikan hasil berupa bertambahnya pengetahuan masyarakat Ngrimbi tentang mitigasi bencana.

“Setelah Ngrimbi ditimpa longsor besar pada 2014, program Destana mulai digiatkan di desa kami. Tentunya ini membawa perubahan positif bagi masyarakat. Perubahan ini terlihat dari adanya papan peringatan titik rawan longsor, papan evakuasi, papan titik kumpul yang ditentukan oleh masyarakat dengan didampingi BPBD,” ungkapnya.

“Pelaksanaan program tiap dua Minggu sekali dan dilaksanakan pada Jumat, tidak serta merta berkutat pada teori kebencanaan, tapi juga melaksanakan praktik secara langsung di titik-titik yang rawan. Kegiatan semacam ini tentu penting, dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat di wilayah rawan bencana,” jelas Arif Novianto.

Pemetaan Ulang Wilayah Resapan

Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, seja dua tahun terakhir Kota Santri sering menjadi langganan banjir. Pada 2019, lebih dari lima desa desa di 3 Kecamatan terendam banjir dengan wilayah terparah Kecamatan Mojoagung di Desa Betek, Kademangan dan Tanggalrejo. Sementara di tahun 2020 ada enam desa terdampak banjir. Dari jumlah itu, lima diantaranya ada di Kecamatan Mojoagung.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama banjir di Kabupaten Jombang, termasuk beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sudah kritis. Diantaranya Kali Gunting (Mojoagung, Sumobito), Pilang Hilir (Gudo-Perak), dan Brantas. Juga Sungai Marmoyo (Kabuh).



“Kritisnya wilayah DAS tersebut, berdasarkan kajian yang ada menunjukkan bahwa 50% tutupan dan lajur erosi tanah sudah menghilang. Sementara itu, faktor Banjir lainnya ialah berkurangnya wilayah tangkapan air atau catchment area akibat alih fungsi lahan yang massif, seperti di Wonosalam. Tercatat sejak 2019, wilayah tangkapan air di Wonosalam berkurang sebanyak 2,36 hektar,” ungkap Staff Kampanye Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan S.Psi. saat dihubungi via whatsapp.

Selanjutnya, Wahyu Eka Setyawan memberikan peta solusi untuk menanggulangi fenomena alam yang terjadi. Menurutnya seluruh stakeholder Kabupaten Jombang, mesti jeli untuk menyusun serta memanajemen resiko bencana. Ini bisa ditempuh lewat pengubahan status wilayah rawan menjadi kawasan resapan dan kawasan lindung. Termasuk pembangunan wisata di Kecamatan Wonosalam yang harus berprinsip ecowisata. Serta harus bertindak tegas ketika banyak tambang baik illegal dan legal yang merusak lingkungan sekitar.

“Penguatan komunitas tanggap bencana, yang ada harus disertai dengan penguatan di ranah pendidikan. Terlebih pada jenjang pendidikan dasar, ini bisa dilakukan dengan cara mengenalkan dasar-dasar sains. Seperti mencontohkan pentingnya menanam pohon, karena membawa sejuta manfaat mulai dari mengurangi emisi karbon, sampai fungsinya sebagai daya serap air agar tidak terjadi banjir. Selain itu peserta didik di tingkat dasar perlu dikenalkan tentang pengelolaan sampah daur ulang, agar menekan konsumsi plastik,” terang Wahyu Eka Setyawan.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama