WONOSALAM – Kutipan kata-kata mutiara dari WS.Rendra di atas, cukup tepat untuk menggambarkan tragedi yang pernah terjadi di Puncak Pegunungan Anjasmara, tepatnya di Dusun Banyon, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam.

Pada 1969, masyarakat yang masih beraktivitas di ladang persawahan dan perkebunan, dikejutkan dengan suara ledakan yang berasal dari puncak Pegunungan Anjasmara. Tak dinyana, ledakan tersebut berasal dari pesawat amfibi jenis Albatross ALR-302 milik TNI-AL yang jatuh dan mengalami kecelakaan saat sedang terbang melintasi Pegunungan Anjasmara.

Sontak, hal tersebut cukup mengejutkan masyarakat, bahkan tak jarang ada yang langsung pulang ke rumah ketika mendegar kerasnya ledakan. “Saya masih ingat betul, waktu itu saya belum genap usia 15 tahun, dan saat ikut bapak ke ladang siang hari, saya sekilas melihat ada pesawat terbang melintas. Namun hanya sekejap pandangan, pesawat tersebut terlihat hilang dengan diiringi letupan api dan suara ledakan dari Puncak Anjasmara,” ingat Saodah saat dihubungi via Whatsapp.

“Bukan maut yang menggetarkan hatiku, Tetapi hidup yang tidak hidup karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya.”

Saodah yang kini berdomisili di Pacet, Kabupaten Mojokerto semula memang warga Dusun Banyon, namun setelah pernikahan putrinya, Saodah memutuskan untuk ikut putrinya beserta suaminya ke Mojokerto. Ingatan Saodah masih tajam, menginjak usia 69 tahun, ia masih cakap untuk menuturkan kronologi jatuhnya pesawat di tanah kelahirannya.

Baca Juga: Membangun Student Wellbeing Melalui Pembelajaran Synchronous di Masa Pandemi Covid-19

“Tragedi pada tahun 1969 itu masih cukup segar di ingatan masyarakat Dusun Banyon, khususnya di keluarga besar saya. Sebab ada cerita menarik, yang belum banyak terungkap dari Tragedi Albatross ini. Dulu ketika banyak masyarakat yang melihat dan mengetahui persis jatuhnya pesawat amfibi milik TNI-AL tersebut, tidak lama kemudian masyarakat mencoba mencari puing-puing pesawat dan korban yang ada, namun tidak membuahkan hasil,” tutur Saodah.

Sampai akhirnya, selang beberapa hari kemudian, banyak relawan dan tim SAR gabungan yang datang, pun sama hasilnya. Bangkai pesawat dan korban tak kunjung ditemukan, bahkan sampai tujuh hari lamanya. Lalu, di sinilah yang paling membekas dalam ingatan keluarga besar saya dan masyarakat Dusun Banyon. Kakek saya, Mbah Karsosari memberikan petunjuk lewat jalan spiritual. Dan ketika hampir jam dua belas malam, bangkai pesawat Albatross ALR-302 berhasil dievakuasi bersama enam korban lainnya, sambung Saodah.

Membenarkan apa yang dituturkan oleh Saodah, Sucipto yang juga cucu menantu dari Mbah Karsosari dan selaku suami dari Saodah, menambahkan bahwa penemuan bangkai pesawat Albatross serta proses evakuasi para korban, tidak bisa dipisahkan dari peranan Mbah Karsosari.



“Dulu memang tidak banyak yang tahu pasti, perjalanan yang akan ditempuh oleh rombongan TNI-AL dalam pesawat Albatross ALR-302. Yang jelas, setelah melakukan pencarian dengan dibantu oleh Mbah Karsosari, dan sebagai bentuk imbalan jasa, pihak TNI-AL dari Juanda Surabaya banyak memberikan bantuan berupa lampu, listrik dan diesel untuk membantu seluruh aktivitas masyarakat Dusun Banyon. Setelah beberapa bantuan listrik dan lampu masuk di Dusun Banyon, maka TNI-AL mengajak masyarakat untuk bergotong-royong membangun sebuah monumen kecil sebagai penanda dan warisan sejarah sebagai anak cucu kedepan. Maka berdirilah monumen dalam bentuk tugu kecil yang disertai nama-nama korban dan tanggal peresmiannya,” ungkap Sucipto.

Tugu kecil yang diresmikan oleh Letkol Laut Suhendro pada 26 Januari 1979, dan masih kokoh berdiri persis di halaman rumah Sucipto ini, terbuka bagi siapa saja yang ingin menyibak masa lalu dari tragedi jatuhnya Pesawat Albatross ALR-302. Putri dari Saodah dan Sucipto, Iin yang kini menempati rumah dan halaman yang digunakan sebagai pendirian Tugu Albatross juga mengungkapkan, dirinya akan senang untuk memandu pengunjung yang datang.

“Pendirian Tugu Monumen Albatross ALR-302 ini memang sengaja didirikan di depan rumah yang saat ini saya huni bersama bapak dan anak-anak saya, sebab suami dan ibu saya tinggal di Mojokerto. Dulunya alasan pendirian Tugu Monumen Albatross didirikan di depan rumah ini, karena, disinilah tempat Mbah Karsosari melakukan meditasi spiritual untuk membantu proses evakuasi,” jelas iin.



“Memang, Mbah Karsosari dulu dikenal dengan sebagai sosok yang Linuwih. Memiliki ilmu serta dimensi spiritual yang tinggi, selain itu Mbah Karsosari juga menjabat sebagai lurah mulai dari masa mudanya ketika akhir masa Hindia-Belanda sampai tutup usianya. Dan atas jasanya tersebut, masyarakat bersepakat mengabadikan nama Mbah Karsosari sebagai nama jalan di Dusun Banyon, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam” jelas Iin.

Kini baik keluarga besar Mbah Karsosari dan segenap keluarga besar korban tragedi Albatross-302, tetap menjalani fitrah kehidupan seperti yang ditulis oleh WS.Rendra. Fitrah untuk merawat sejarah sebagai pedoman hidup sehari-hari, dan tuntunan dari generasi ke generasi.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama