Rahmat Sularso Nh.*

Sebagian besar dari kita pasti merindukan kehidupan yang dahulu. Di mana bisa melakukan sesuatu dengan bebas tanpa batasan. Tak ada protokol kesehatan yang membuat perubahan pola berinteraksi. Sehingga sekadar bertemu di jalan ingin menyapa, harus memastikan bahwa dia adalah orang yang tepat dengan anggapan kita.

Demikian pun di ranah pendidikan, semua pasti merindukannya. Manakala peserta didik diberikan kebebasan menempuh dan menggali keilmuan, seraya menemukan potensi yang ada dalam dirinya.

Memang benar, ketika rutinitas sekolah membuat peserta didik jenuh. Keinginan sekadar pulang pagi atau libur sangat besar. Seolah menjadi berkah tersendiri bak kejatuhan durian runtuh. Namun jikalau terlampau lama seperti sekarang yang melebihi satu tahun rasanya ada sesuatu yang hilang dari diri peserta didik.

Biarpun ada Pembelajaran dari Rumah (BDR) rasanya akan berbeda dan bermacam kesulitan kerap kali hadir. Misalkan saja di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang notabene membutuhkan sebuah perhatian dan teladan langsung dari para gurunya. Seketika terhenti serta ada semacam dimensi yang membatasi keduanya dalam menempuh pendidikan dengan baik.

Meskipun pendidikan tatap muka berjalan, niscaya tidaklah sepenuhnya akan masuk dalam waktu yang sama. Bahkan kemungkinan terbesar ada dua jalan yang bakal dilakoni dalam pembelajaran selain bertatap muka, juga masih mempertahankan daring.

Seperti diketahui, anak didik butuh sebuah sentuhan berbeda daripada peserta didik di jenjang lebih tinggi serupa dengan SD/SMP/SMA/SMK dan sederajat. Melihat dari usia mereka (baca: anak-anak) semestinya ada pola pembelajaran yang mengkombinasikan antara belajar serta bermain. Kalau dijalankan hanya melalui dari balik layar telepon genggam, rasanya kentara sekali sangat berbeda.

Tiap jenjang pendidikannya pasti berbeda tantangannya. Sebab, menelaah dari komposisi yang ada pada tiap jenjang pendidikannya juga berbeda. Baik unsur internal dan eksternal dari sekolah tersebut.

Jika di mulai lagi sekolahnya rasanya masih penuh tanda tanya besar. Tanda tanya tersebut bukan berarti tidak tahu kapan dilakukan. Melainkan keraguan yang sangat pekat menyelimuti. Apalagi kondisi Covid-19 di Jombang sendiri masih terbilang belum menunjukkan grafik perubahan signifikan.

Baca Juga: Perjalanan Musik di Indonesia

Meskipun sekarang tak sesanter dahulu, namun harus diakui penularan Covid-19 masih sangat cepat. Sehingga perlu adanya pertimbangan matang dengan segenap kolaborasi antara hasil survei lapangan dengan data yang ada. Dikatakan seperti itu wajar saja, karena kalau hanya melihat data namun tanpa mengetahui catatan perjalanan masyarakat sekitar. Rawan sekali karena potensi penularan pasti ada. Lebih-lebih kini ada varian baru yang patut dicermati juga.

Kesiapan Sekolah dan Guru

Sekolah sebagai medium belajar peserta didik menjadi fokus perhatian pertama. Mengapa demikian? Tentunya sebagai tempat berlangsungnya pelaksanaan pembelajaran tatap muka, harus memastikan semuanya siap serta terkandali keadaannya. Jangan sampai menjadi pangkal penularan Covid-19.

Perilaku yang biasa dilakukan di sekolah sebelumnya wajib di ubah. Lebih menyadari menjaga diri sendiri demi kesehatan individu lain pula. Sebab, kalau sampai diri sendiri terinfeksi pasti akan berpeluang menular kelain. Situasi terburuk bisa saja membuat pembelajaran tatap muka dihentikan kembali.

Dari kesiapan ketika peserta didik datang dari pintu gerbang, tempat cuci tangan, hingga pengaturan formasi duduk saat pembelajaran. Jelas dibutuhkan jarak yang tepat, juga perlindungan lain macam faice sheild. Memang meskipun dalam proteksi yang sangat rapat seperti itu, belum tentu 100% menutup penularan Covid-19 namun ada usaha yang dilakukan.

Begitu pun guru, di sini keberadaan guru sangatlah potensial. Bahkan ketika pembelajaran tatap muka sah dilangsungkan, maka guru adalah salah satu pihak yang bakal dibuat repot. Hal ini bukanlah tanpa sebab, bisa dibayangkan sendiri keberhasilan pembelajaran terletak pada daya guna guru dalam menyampaikan materi ajar. Di mana kondisinya telah berubah dari sebelum Korona menghampiri dan enggan enyah hingga kini di Jombang.

Meskipun pendidikan tatap muka berjalan, niscaya tidaklah sepenuhnya akan masuk dalam waktu yang sama. Bahkan kemungkinan terbesar ada dua jalan yang bakal dilakoni dalam pembelajaran selain bertatap muka, juga masih mempertahankan daring. Iklim semacam ini jelas harus membutuhkan energi ekstra tersendiri, seperti yang dikatakan sebelumnya. Guru harus mampu mengkondisikan dua medium yang berbeda. Pastinya dengan pelbagai keterbatasan pada tiap medium tersebut. Baik dari jangkauan, waktu, hingga menciptakan lingkungan belajar tersebut tetap kondusif.

Pasti tergambar sekarang betapa rumitnya nanti. Ditambah jika dilakukan dalam waktu yang sama mengajar di dua medium berbeda. Guru harus segera beradaptasi dan menyesuaikan diri. Oleh karena itu, dalam media pembelajaran pun harus dibuat sevariatif mungkin. Sehingga bisa menjadi jurus ampun menarik minat belajar peserta didik. Terlebih lagi tak ada perubahan kurikulum yang substansial, tetapi waktu penyampaiannya tak seluwes sebelumnya.

Jika tak mampu beranjak melakukan perubahan. Kehadiran pendidikan tatap muka ini malah menjadi jebakan batman yang kembali menjadi lubang hitam bagi guru.

*) Pemimpin Redaksi Majalah Suara Pendidikan

Lebih baru Lebih lama