Dwi Fatmalasari*

Banyaknya ulasan dampak negatif K-13 memang lebih menekankan pada kompetensi dan performansi guru sebagai tangan panjang kebijakan pemerintah dan peserta didik sebagai hasil dari sistem pendidikan. K-13 bukan hanya mengubah aturan main dalam pembelajaran, melainkan juga pada kemampuan berpikir. Baik kemampuan berpikir peserta didik, maupun guru sebagai pengatur kendali penuh pembelajaran. Peserta didik dapat terlatih dengan berpikir tingkat tinggi dalam pembelajaran dan guru bisa lebih kreatif dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran di kelas merupakan tujuan utama kurikulum luncuran terbaru ini.

Seharusnya tanggapan kritis, kritikan, dan kesinisan atas carut marut pelaksanaan K-13 tidak dialamatkan pada penyusun kebijakan saja, tapi pada diri kita sendiri sebagai penerus kelangsungan negeri ini. Seringkali guru digunakan sebagai dasar utama alasan ketidaksiapan pelaksanaan K-13, selain buku yang belum kunjung datang, kesiapan peserta didik, dan penerapan kurikulum yang prematur. Secara pribadi sebagai guru, saya berpikir tidak ada yang salah dengan konten K-13, baik secara validitas konstruk dan isi untuk beberapa mata pelajaran yang memang bisa mengarahkan peserta didik untuk dapat berpikir tingkat tinggi dan memacu kekreatifan guru mendesain pembelajaran yang mengacu pada capaian akhir materi.

Carut marut penerapan inovasi kurikulum bisa diredam jika masing-masing elemen memiliki kesadaran dan motivasi yang tinggi akan perannya dalam pendidikan. Pembenahan motivasi terpenting harus dimulai dari tonggak pelaksana pendidikan, yaitu guru. Pembenahan motivasi guru lebih ditekankan pada kesadaran untuk melaksanakan tugas dengan baik. Secara tidak sadar sikap pesimistik yang ditunjukkan guru memberikan energi negatif pada pelaksanaan K-13. Sikap inilah yang kemudian membentuk praanggapan-praangapan pada diri peserta didik bahwa K-13 Sulit. Kendatipun buku pegangan untuk peserta didik belum datang, guru sudah diberikan perangkat pembelajaran yang dapat digunakan untuk menyusun materi dan aktivitas pembelajaran. Masalah penilaian yang rumit juga tidak menjadi masalah, jika guru menyadari bahwa menilai berarti harus mengenal dan memahami peserta didik yang diajar. Jika guru mempunyai masalah ketika mengajar, tersedia MGMP yang bisa digunakan sebagai wadah penyelesaian masalah. Guru memang bukan pesulap yang bisa mengubah desain pembelajaran sesuai dengan aturan K-13 seketika, tetapi mencoba menyesuaikan adalah cara terbaik.



Motivasi yang perlu diperbaiki selanjutnya adalah kesiapan peserta didik. Kebiasan-kebiasan konvensial belajar-mengajar memberikan gegar kurikulum tersendiri untuk peserta didik. Kecenderungan K-13 yang menuntut penilaian kompetensi dan performansi peserta didik secara rijid, menjadi beban tersendiri bagi peserta didik yang kurang aktif dan terlambat di kelas. Hal tersebut juga diperparah dengan buku pegangan peserta didik terlambat datang. Di sinilah lagi-lagi peran guru benar-benar dibutuhkan untuk membentuk semangat dan motivasi peserta didik belajar. Motivasi peserta didik perlu dibentuk untuk membangun kesadaran diri akan pentingnya belajar. Long life education seharusnya ditanamkan pada diri anak agar keterbatasan belajar tidak menjadi halangan. Perlunya kendali guru untuk mengontrol tugas dan membatasi beban yang ada pada pelajaran akan membuat kesan bahwa K-13 ini mudah. Adanya tuntutan untuk mendapatkan dan mengembangkan sumber materi belajar akan lebih menyenangkan, jika anak bisa mengambil contoh dari lingkungan sekitar dan bukan terpacu pada bahan tematik yang ada pada buku paket. Karena itulah dasar discovery learning methode dan scientific approach yang ditekankan pada K-13. Hasil bentukan dari metode discovery learning methode dan scientific approach diharapan anak terbiasa memiliki motivasi belajar untuk bisa learning to do, learning to be, dan yang terpenting terampil pada learning to life together.

Jika kedua aspek penting dalam pembelajaran dan penerapan kurikulum (guru dan peserta didik) ini saling menyadari dan berbenah, maka bukan menjadi hal yang mustahil penerapan K-13 yang prematur bisa ditekan. Penerapan dua kurikulum di negeri ini merupakan satu bukti bahwa negara ini masih mencari celah untuk mengasihi diri sendiri dalam mengadapi tuntutan yang ada. Kekurangfokusan pelaksana kebijakan dan sistem penyelenggara pendidikan yang terburu-buru adalah dua hal yang perlu dibenahi. Pembenahan tersebut tentunya bukan ditekankan pada pembuat kebijakan saja, melainkan juga pada pelaksana dan yang terpenting masyarakat sebagai produk dari bentukan pendidikan yang telah dijalankan.

Kebijakan pendidikan memerlukan keselarasan dan ketegasan. Pelaksanaan dua kurikulum ini, KTSP dan Kurikulum 2013 disadari benar telah memberikan dampak kesenjangan antara sekolah percontohan dengan sekolah non-percontohan yang diwajibkaan menggunakan kurikulum 2013 . Baik kesenjangan yang teramati dari peserta didik maupun guru. Dari sisi peserta didik kesenjangan berdampak pada hasil, kemampuan, dan keterampilan yang akan dicapai peserta didik. Lebih miris lagi kesenjangan pada kemampuan guru untuk dapat menerjemahkan dan melaksakan konten Kurikulum 2013 tidak sama lantaran keterbatasan pemahaman. Ketegasan waktu pembenahan (atau mungkin penggantian) Kurikulum 2013 sangat dinantikan bagi kami, guru, sebagai pelaksana pendidikan guna memberikan kesiapan terbaik untuk pendidikan Indonesia.

*) Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 5 Jombang, pernah aktif sebagai pengajar BIPA di Universitas Negeri Malang.



Lebih baru Lebih lama