DIWEK – Bulan Maret yang telah berlalu, masih cukup terasa istimewa bagi Akhmad Zainuddin. Hal tersebut cukup beralasan, sebab pada bulan ketiga tersebut memori kesejarahannya selalu disegarkan kembali, lewat kisah perjuangan kakek buyutnya.

Keistimewaan yang dirasakan oleh Guk Din, sapaan akrab Akhmad Zainuddin, bukan suatu imaji atau rekaan fiktif belaka. Pasalnya, Buyut Barnawi yang menjadi kakek buyut Akhmad Zainuddin dan masyarakat Dusun Babatan, merupakan anggota pasukan telik sandi Semut Ireng Laskar Pangeran Diponegoro dibawah kepemimpinan Nyi Ageng Serang.

Merunut pada catatan Historiografi Nasional, pasca Pangeran Diponegoro berhasil dijebak dalam sebuah perundingan di Magelang, Jawa Tengah pada 28 Maret 1830 oleh tentara kolonial Belanda. Lalu diasingkan di Manado dan dipindahkan ke Makassar sampai akhir hayatnya pada 8 Januari 1855.

Tidak ingin identitasnya terungkap oleh tentara kolonial Belanda di wilayah baru, Buyut Barnawi segera mengadakan sayembara tersembunyi ke penduduk sekitar. Sayembara tersebut berisi, bagi siapapun yang bersedia merawat sampai menguburkan jenazah noni Belanda tersebut, maka wilayah alas yang dibuka oleh Buyut Barnawi, menjadi imbalannya.

Hal itu membuat kobaran api perang Jawa, semakin meredup. Maka menyikapi hal tersebut, banyak para punggawa Laskar Pangeran Diponegoro yang menyebar ke pelbagai wilayah, mulai dari ujung barat hingga timur Nusantara, termasuk yang dilakukan oleh Buyut Barnawi.

Akhmad Zainuddin berkisah, setelah taktik penjebakan berhasil, maka muncul maklumat pada tahun 1832, yang berisi sebuah instruksi bagi para Laskar Pangeran Diponegoro untuk menyebar ke penjuru Nusantara, termasuk Jombang. Terpilihnya Jombang sebagai tempat pelarian, atas dasar wilayahnya yang merupakan bekas imperium Majapahit dan cukup strategis untuk membangun basis baru perlawanan terhadap tentara kolonial belanda.

Baca Juga: Benahi Kurikulum, Motivasi Guru, dan Peserta Didik

“Para Laskar Pangeran Diponegoro yang sudah menyebar ke pelbagai daerah, selalu menyembunyikan identas aslinya, termasuk Buyut Barnawi. Dulu nama aslinya, Kiai Abdurrohim dan berasal dari Demak Jawa Tengah. Namun ketika sudah sampai di Kedawong sini, nama beliau berganti Barnawi. Ini dilakukan sebagai bentuk strategi menyamarkan identitas, sebab pada masa perang Jawa berkobar, nama-nama punggawa Laskar Pangeran Diponegoro sudah tercatat oleh pihak tentara kolonial Belanda,” tutur Akhmad Zainuddin.

Sesampainya Buyut Barnawi di Kedawong pada sekitar 1834/1835, maka tidak lama pembukaan wilayah pun dilakukan. Di tengah melakukan babat alas tersebut, Buyut Barnawi terkejut ketika menemukan jasad perempuan berdarah Belanda di sisi selatan tapal batas desa.

Tidak ingin identitasnya terungkap oleh tentara kolonial Belanda di wilayah baru, Buyut Barnawi segera mengadakan sayembara tersembunyi ke penduduk sekitar. Sayembara tersebut berisi, bagi siapapun yang bersedia merawat sampai menguburkan jenazah noni Belanda tersebut, maka wilayah alas yang dibuka oleh Buyut Barnawi, menjadi imbalannya.



“Itulah yang menjadi keunikan dari Dusun Babatan. Secara teritorialnya, dari Desa Kedawong letaknya lumayan jauh. Namun lebih dekat dengan Desa Mayangan, Kecamatan Jogoroto dan Desa Bandung, Kecamatan Diwek. Maka tak heran, banyak masyarakat yang masih menyebut, Bandung Babatan untuk Dusun kecil ini. Padahal jika dirunut sejarahnya dari penuturan para pendahulu di sini, penamaan Dusun Babatan yang masuk Desa Kedawong, karena dulu yang segan merawat jenazah noni Belanda ialah salah satu warga Kedawong,” jelas Akhmad Zainuddin.

Pegiat sejarah yang masih keturunan Pangeran Diponegoro di Jombang, Eko Junaidi menjelaskan, bahwa secara umum Laskar Pangeran Diponegoro terbagi menjadi dua kelompok, yakni, Santri dan Bangsawan. Termasuk jejak Buyut Barnawi sebagai golongan santri yang memang mendapat perintah untuk lari ke wilayah timur.

Meski Buyut Barnawi tidak mengimbuhkan kata Santren di Dusun Babatan, karena resikonya cukup besar jika identitasnya terungkap. Namun di wilayah lain, banyak para eksponen Laskar Pangeran Diponegoro yang berdiaspora pasca tahun 1830 dan menamakan wilayahnya dengan imbuhan kata Santren. Tujuannya, agar identitas kesantrian tidak serta merta hilang,” terang Eko Junaidi.

Kini, baik Akhmad Zainuddin dan Eko Junaidi serta cucu keturunan trah Pangeran Diponegoro lainnya masih memegang teguh anjuran hidup sederhana dan mengedepankan kerukunan. Dalam hal ini, pohon Sawo Kecik adalah simbol pemersatu identitas di antara mereka.

Dimana pohon Sawo Kecik adalah pengejawentahan dari perintah Sawwu Shufu Fakum Fainna Taswiyata, Sahffi Min Tamamis Shalah yang berarti meluruskan dan merapatkan barisan salat.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Data Dusun Babatan Desa Kedawong Kecamatan Diwek

· Jumlah Kepala Keluarga : 54 Kepala Keluarga

· Terdiri : 1 RW dan 27 RT

· Mayoritas Profesi : Pedagang
Lebih baru Lebih lama