JOMBANG – Persoalan lingkungan dewasa ini, bak bola salju yang terus menggelinding dan kian membesar. Perubahan iklim menjadi dampaknya. Selain itu mengurai problematika lingkungan juga perlu diruntut dari hal yang paling mendasar. Dalam hal ini ialah tata kelola sampah. Meski terlihat remeh, jika tidak ada metode khusus dan tepat dalam upaya pengelolaan sampah, maka hal tersebut akan mempercepat siklus kerusakan lingkungan.

Menukil dari kompas.com, terdapat penelitian baru bahwa tingkat konsumsi plastik sampai tahun 2040 mencapai angka 1,3 miliar ton. Berkaca pada besaran angka tersebut, tentu dibutuhkan langkah-langkah sederhana nan konsisten sekaligus membawa perubahan lingkungan ke arah yang lebih baik, guna menekan laju konsumsi plastik yang makin meninggi.

Seperti halnya yang dilakukan oleh para perempuan ini. Selain menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga, mereka juga menjalankan peran ganda sebagai garda depan penyelamat lingkungan, di kampungnya masing-masing. Meski upaya penyelamatan tersebut, berupa kegiatan yang sederhana.

Memang dibutuhkan strategi kreatif, agar gerakan semacam ini tetap terjaga nyala semangatnya. Sebab tata kelola sampah sampai hari ini belum terakomodir dengan baik. Meski regulasi sudah ada, namun pelaksanaannya masih lemah di lapangan.

Namun berkat kreativitas, keuletan serta kekompakan anggota komunitas, mereka memiliki upaya penyadaran lingkungan, utamanya pengelolaan sampah. Upaya tersebut masih bisa dijalankan secara konsisten dengan prinsip kegotongroyongan.

Laiknya yang sudah diperjuangkan oleh Desy Wulandari beserta anggota Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Mojowarno, Kecamatan Mojowarno. Berawal dari kegiatan pelatihan Sistem Informasi Desa (SID), kesadaran akan lingkungan mulai muncul. Terhitung sejak tahun 2016, dibantu sembilan ibu lainnya, mulai bergerilya dari rumah ke rumah untuk mengumpulkan sampah non-organik.

“Perjalanan awal Bank Sampah di RW 03 Dusun Mojowarno ini memang penuh liku. Asam garamnya sudah pernah kita rasakan semuanya. Dari mengambil sampah berjalan kaki antar RW sembari menggendong buah hati, sudah kami lalui. Syukur, sejak terbentuk administrasi di tahun 2017 dan resmi bernama Bank Sampah Mak Karman (Makmur Karya Mandiri), nasabah kami bertambah. Dari awal 20 nasabah, kemudian menjadi 200 nasabah aktif,” tutur ibu satu orang putra ini.

Baca Juga: Bersama IGI Mari Melek Teknologi

Desy Wulandari menceritakan bahwa faktor yang memperkuat komunitas Bank Sampah Mak Karman yang diprakasainya bersama anggota PKK adalah kekeluargaan dan kekompakan dalam menjalankan berbagai program yang ada. Selain itu, pendekatan persuasif dari pintu ke pintu yang dilakukan kader Bank Sampah Mak Karman, semakin membuat gerakan kelola sampah ini mudah diterima masyarakat.

“Memulai kegiatan semacam ini memang tidak mudah. Perlu pendekatan yang sederhana dan utamanya memberikan langsung contoh dan manfaat konkretnya di masyarakat. Terlebih kaum ibu, yang kerap beraktivitas di dapur seharian. Maka metode yang kami lakukan untuk mengajak mereka, dengan bahasa sederhana, dan utamanya mengedepankan prinsip ekonomi,” ungkap Desy tersenyum

Kini Desy Wulandari yang juga alumnus SMK Pariwisata Tantular Surabaya tahun 2003 ini, bisa bernafas lega. Pasalnya perkembangan Bank Sampah Mak Karman, tidak hanya dari RW 03 melainkan juga dari enam RW lain yang tergabung. Otomatis, para pengurus Bank Sampah Mak Karman juga bertambah menjadi 14 orang.



Selang berjalannya waktu, metode tata kelola sampah di tingkat lokal juga berubah. Secara teknis pihaknya mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah pada hari minggu di tiap RW. Kemudian dibuat ecobrick yang mendapat wawasannya dari hasil berjejaring dengan komunitas Bank Sampah lainnya. Semakin berdaya ketika ada yang melakukan pinjaman ke PKK maka wajib membawa ecobrik. Akhirnya lambat laun dapat diterima dengan baik karena merasakan manfaatnya.

Penuh kebanggan Desy Wulandari mengisahkan, “Dari rentang tahun 2017 sampai 2021 ini, kami juga tergabung menjadi anggota Bank Sampah Induk Jombang (BSIJ). Dari situlah, kami mendapat bantuan 1 unit kendaraan operasional dan 1 unit gedung dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jombang pada tahun 2019. Bantuan ini semata untuk mempermudah kegiatan kami di lapangan.”

Dari Mojowarno, kisah perjuangan serupa juga terhimpun dari sosok Shanti Ramadhani. M.Pd. Ibu tiga orang anak ini terjun di dunia sampah sejak 2015. Perjalanan tersebut diawali ketika menjadi Guru pembina Bank Sampah bagi sekolah adiwiyata. Selang berjalannya waktu, semakin gelisah dengan keberadaan sampah yang tidak terkelola dengan baik di lingkungan masyarakat. Maka atas dasar kegelisahan dan didukung oleh latarbelakang S2 Pendidikan Lingkungan Hidup, Shanti Ramadhani menemukan metode unik.



Di rumahnya di Kelurahan Kaliwungu Jombang, dia membuka kursus Bahasa Inggris yang tiap peserta didiknya diwajibkan membawa sampah. Mendapat respon yang bagus oleh masyarakat sekitar, perjalanan Shanti Ramadhani makin jauh. Dua tahun berjalan perempuan berambut sebahu ini didapuk untuk ikut mengelola BSIJ. Setelah dirasa efektif, akhirnya mendirikan Sanggar Hijau Jombang yang berbasis komunitas dan menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat di bidang lingkungan hidup.

“Dari perjalanan komunitas dan ratusan workshop lingkungan yang saya ikuti, semuanya seolah terangkum menjadi sebuah perjalanan spiritual. Mendapat ilmu baru, kemudian diberikan kembali pada orang-orang yang harus dan ingin tahu, adalah kebahagiaan tersendiri,” ujar Shanti Ramadhani.

“Meski di tengah perjalanan pendirian komunitas sampai berbentuk lembaga, banyak yang datang dan pergi, itu bisa dimaklumi. Sebab diperlukan komitmen yang kuat. Dulu ketika menyisakan beberapa orang anggota, program yang sudah disusun kami siasati dengan sosial media,” sambungnya.



Bagi Shanti Ramadhani dalam membangun wadah komunitas yang bergerak di bidang lingkungan, peran anak muda cukup siginifikan khususnya untuk ide dan tenaganya. Guna semakin mendekatkan diri dengan kalangan muda Kota Santri, maka Sanggar Hijau Jombang membuat kafe sebagai ruang edukasi.

“Memang dibutuhkan strategi kreatif, agar gerakan semacam ini tetap terjaga nyala semangatnya. Sebab tata kelola sampah sampai hari ini belum terakomodir dengan baik. Meski regulasi sudah ada, namun pelaksanaannya masih lemah di lapangan. Maka dibutuhkan cara penyampaian yang sederhana serta konkert di masyarakat, agar isu strategis mengenai lingkungan bisa menjadi kesadaran bersama dan tidak hanya miliki lembaga atau komunitas,” tandas Shanti Ramadhani.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama