KESAMBEN – Dunia seni memang cukup luas, begitupula ragam jenisnya. Sebagai hasil olah daya rasa, karsa, dan cipta selalu hadir mewarnai sendi-sendi kehidupan. Laiknya yang dilakukan oleh Trubus Sukamto. Bagi bapak tiga anak, kelahiran Dusun Segunung, Desa Jombok Kecamatan Kesamben, Desember 1973 ini, telah menjadikan seni sebagai bagian perjalanan hidupnya yang tak terpisah.

Cak Trubus, panggilan akrabnya, bukan seorang alumnus pendidikan seni formal, laiknya seniman tersohor pada umumnya. Namun berkat keteguhan serta kepiawaiannya mengelaborasi cerita rakyat Dusun Segunung dalam bentuk seni tradisi Dadung Awuk, bisa memberikan wadah baru bagi pemuda-pemudi Dusun Segunung, untuk berkreasi sesuai pakem tradisi yang ada.

“Pada tahun 2015, sepeninggal mertua saya yang juga seorang Dalang di Desa Jenis Gelaran, Kecamatan Bareng, perkakas gamelannya saya boyong kemari. Tujuan awalnya waktu itu untuk memberikan wadah kreasi generasi muda Dusun Segunung, agar tidak larut dalam arus kenakalan remaja,” katanya.

Menjaga serta menuturkan cerita rakyat, akan lebih hidup jika dibarengi dengan seni tradisi.

“Sebab saya gelisah, kala sering melihat dan mendengar pemuda-pemudi di sini terlibat dalam urusan hukum. Maka dengan dukungan serta dorongan perangkat desa setempat, berdirilah Sanggar Sabdo Budoyo yang fokus mengusung seni tradisi Dadung Awuk Si Rojokoyo,” lanjut Trubus Sukamto membuka cerita.

Pria berkumis tipis tersebut bercerita, bahwa Dadung Awuk Si Rojokoyo yang diusung kelompok sanggarnya tersebut cukup beralasan. Sebab hal tersebut berkelindan erat dengan Babad Dusun Segunung, di mana Dadung Awuk merupakan jelmaan sosok kerbau raksasa yang menjadi pengacau suasana. Lambat laun direpresentasikan dalam sebuah upacara ruwatan dan sedekah bumi yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Segunung.

Baca Juga: Rebahan Malah Jadi Pegal-pegal

“Upacara Ruwatan memang menjadi prosesi sakral dalam tiap pementasan Sabdo Budoyo. Terdapat dua sesi dalam ruwatan itu. Pertama, arak-arakan bersama Dadung Awuk Si Rojokoyo (kerbau raksasa berbentuk reog). Kalau prosesi arak-arakan sudah selesai dilakukan pada siang atau sore hari, maka malam harinya dilanjut dengan wayang orang dan ludruk. Wayang orang pun memainkan lakon Dadung Awuk dalam kisah Joko Tandur. Sedangkan untuk ludruk, dipentaskan sebagai penghibur sejenak. Semuanya tetap berpakem pada seni Jawa Timuran,” ujar Trubus Sukamto.

Bagi Trubus Sukamto mendirikan sebuah sanggar dengan seni tradisi yang menyadur cerita rakyat setempat, bukan sebuah hal mudah. Tidak jarang terdapat oknum yang mencuplik nama sanggarnya demi reputasi pribadi. Meski demikian tak membuatnya patah arang.

Tekad untuk melestarikan seni tradisi asli tanah kelahirannya masih membara di dadanya. Ini dibuktikkan dengan setiap sedekah bumi maupun ruwatan massal beberapa tahun silam, Trubus Sukamto tidak keberatan mengeluarkan biaya pribadi untuk konsumsi dan uang lelah para anggota sanggarnya.

Penuh rasa gembira Trubus Sukamto mengungkapkan, “Saya amat bersyukur, bisa mendirikan sanggar ini berkat dorongan dari masyarakat. Meski awalnya juga harus telaten dan sabar untuk mengenalkan serta mengajari pemuda-pemudi Dusun Segunung dalam hal seni tradisi. Namun saya senang. Mereka bisa berkreasi dalam wadah seni tradisi dan utamanya terlepas dari arus kenakalan remaja pada umumnya.”

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama