KESAMBEN – Legenda mengenai pertarungan Surontanu melawan Kebokicak tentu sudah tidak asing di telinga sebagian masyarakat Kota Santri Jombang. Duel sengit antara keduanya, tidak sekadar menjadi cerita rakyat yang tersuruk di tepian modernisasi peradaban. Meski bermunculan banyak versi beserta tafsirannya, namun sejatinya eksistensi kisah adu kekuatan antara Surotanu melawan Kebokicak masih terawat melalui tradisi tutur.

Laiknya di Desa Gumulan, Kecamatan Kesamben. Riwayat historis berdirinya desa yang berpenduduk 2.452 jiwa dan terdiri dari 978 kepala keluarga ini, tidak terlepas dari tradisi tutur para pini sepuh terdahulu.

Sekretaris Desa Gumulan Ahmad Harun tidak menampik hal tersebut. Saat ditemui di kantor Desa Gumulan, Rabu (5/5) pria berpawakan tambun ini memamparkan bahwa berdasarkan catatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) yang disusun oleh perangkat desa terdahulu, wilayah Gumulan muncul tidak terlepas dari cerita Surotanu melawan Kebokicak.

Berdasarkan tradisi tutur yang turun temurun, Desa Gumulan tidak terlepas dari kata Gumul, yang berarti berkumpul.

“Memang demikian cerita yang telah berkembang. Nama Gumulan diambil dari kata dasar gumul atau pergumulan, di mana pertarungan antara Surotanu menghadapi Kebokicak berlangsung di permukaan tanah cembung, bernama Jepun yang ada di ujung desa. Kontur tanah yang demikian, makin memudahkan Surotanu dan Kebokicak untuk bergumul saling adu kekuatan di dalamnya. Maka diambilah kata harfiah gumul, yang sampai hari ini dipatenkan menjadi nama Desa Gumulan,” papar Ahmad Harun.

Baca Juga: Pengharapan

Selain versi Surotanu melawan Kebokicak, awal mula Babad Tanah Gumulan juga berasal dari tradisi masyarakat yang gemar melakukan gumulan atau pertemuan. Pertemuan ini dilakukan di beranda rumah masing-masing, sembari berbagi tembakau sebagai pengakrab suasana.

“Kisah lain Desa Gumulan yang juga banyak diyakini oleh masyarakat, bermula dari akar tradisi nenek moyang kami yang gemar mengkonsumsi tembakau dengan dibungkus klobot atau kulit jagung tua. Seiring perkembangan zaman, justru ini tidak pernah menghilang. Melainkan berkembang dalam rupa yang lain. Misalnya, Desa Gumulan dikenal sebagai ‘surganya’ para penjaja makanan. Sebab masyarakatnya gemar njajan serta bergumul atau istilahnya cangkrukan,” imbuh Ahmad Harun.



Dijelaskan pula oleh Kepala Urusan Umum Desa Gumulan, Abd. Rohman, dari dua versi cerita yang sudah ada. Pihak pemerintah desa setempat akan melakukan komunikasi intens dengan sesepuh Desa Gumulan, guna menemukan titik temu cerita yang seutuhnya.

“Kami akui memang sampai hari ini, masih terus menggali khazanah tradisi tutur desa agar tidak salah tafsir dan sesuai dengan cerita para pendahulu,” pungkasnya.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Sekilas Tentang Desa Gumulan
  • Wiayah Administrasi : Dusun Gumulan I (wilayah utara), Dusun Gumulan II (wilayah selatan) terbagi sejak 1984.
  • Mayortas Profesi : Petani
  • Lembaga Pendidikan : 1 SD dan 2 Madrasah.

Lebih baru Lebih lama