DIWEK – Angin sore nan semilir menemani perjalanan saya menuju kediaman Tajuk Sutikno yang berada di Dusun Butuh, Desa Pandanwangi, Kecamatan Diwek, pada (8/5). Tidak sampai 30 menit perjalanan, saya sampai disebuah rumah bergaya arsitektur lama, lengkap dengan nuansa asrinya.

Disinilah Tajuk Sutikno, istri, anak, ayahnya tinggal satu atap. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya saya bertemu dengan sosok lelaki renta berpawakan gempal. Inilah sosok Tajuk Sutikno, salah seorang maestro Ludruk Jombang yang masyhur pada periode 1970 hingga 1990-an.

Ketika mengawali percakapan, Tajuk Sutikno mengisahkan perjalanan karirnya sebagai seorang seniman Ludruk, tidak terlepas dari faktor genetik ayahnya yang juga tokoh Ludruk Jombang generasi ketiga setelah era Cak Durasim.

Guna menyiasati padatnya jadwal pentas saat itu, maka atas dasar kesepakatan bersama seluruh pengurus Grup Sari Murni, didirikanlah Sari Murni unit II pada tahun 1984 di Desa Pandanwangi. Hingga akhirnya, melebur kembali menjadi Sari Murni sampai hari ini, dan memiliki anggota sebanyak 80 orang yang terdiri dari beberapa kabupaten/kota lain, seperti Blitar, Kediri, Mojokerto, Sidoarjo dan Malang.

“Memang darah seniman yang mengalir di nadi saya, ibarat peribahasa Jawa berbunyi Notos Netes Nitis dari ayah. Dulu kala seniman Ludruk kerap nobong (pentas) dari satu tempat ke tempat lain, saya hampir tidak pernah absen untuk hadir menyaksikannya. Termasuk saat ayah juga nobong ke Surabaya bersama kawan-kawannya. Saya menjadi barisan belakang, untuk mempelajari tiap gerak Tari Remo maupun khidmatnya Kidung Jula Juli yang menjadi pembuka tiap pertunjukkan Ludruk,” tutur Tajuk Sutikno.

Di era Ludruk meraja sebagai seni pertunjukkan rakyat, Tajuk Sutikno masih duduk di bangku Kelas III Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1963. Meski masih terbilang cukup junior, namun tekad untuk mendalami pakem ilmu Ludruk, semakin kuat. Ini ia buktikkan, dengan membentuk grup Kumpul Baru pada tahun 1968 di Desa Jombok, Kecamatan Ngoro.

Baca Juga: Afifa Syamsun Zulfikar Raih Palmes Academiques

Tajuk Sutikno bercerita, “Kumpul Baru saya dirikan sebagai wadah belajar para remaja yang gandrung akan Ludruk. Dulu aktivitas berkesenian di Kumpul Baru sering berpindah-pindah tempat, karena memanfaatkan rumah-rumah kosong di sekitaran Desa Jombok. Pun, aktivitas latihannya masih sebatas berlatih Panjak, Kidung, Remo, yang kami pelajari secara bertahap dan berurutan. Semua ilmu dunia Ludruk selain kami dapat dari ayah saya, juga beberapa senior Ludruk, seperti Almarhum Cak Markeso dan Cak Bolet.”

Sebagai seni rakyat, Ludruk juga tidak serampangan dalam menyeleksi anggota baru. Dua tahun berselang, tepatnya pada tahun 1970 pasca mendirikan Kumpul Baru, kiprah Tajuk Sutikno di dunia Ludruk baru dimulai. Namun belum sebagai pemeran utama dalam sebuah lakon, melainkan sebatas penananggung jawab perlengkapan pertunjukkan.

“Tidak lama setelah saya menjadi penanggung jawab perlengkapan di grup Jombang Selatan, setahun berikutnya, pada tahun 1971 ayah bersama alhamrhum mertua saya mendirikan Grup Sari Murni di Kecamatan Lengkong, Kabupaten Mojokerto. Awalnya memang tidak di Jombang, karena pemilihan wilayah ini berdasarkan fasilitas beserta perkakas nobong sudah tersedia di sana,” kata Tajuk Sutikno.



Sebetulnya, nama Sari Murni ini serapan dari grup Ludruk Sari Budaya yang dipimpin oleh Carik Suraji Desa Kedunglosari, Kecamatan Tembelang. Oleh sebab, almarhum mertua Tajuk Sutikno pernah menjadi penari remo di Sari Budaya. Hingga akhirnya bertemu dengan ayahnya dan bersepakat mendirikan Ludruk Sari Murni.

Seni telah menjadi bagian perjalanan hidup Tajuk Sutikno, bukan isapan jempol semata. Di tengah padatnya jadwal pentas Grup Sari Murni yang diampu ayah dan almarhum mertuanya di era 1970- an, kemudian tongkat estafet Sari Murni beralih ke dirinya.

Tajuk Sutikno menjelaskan, “Guna menyiasati padatnya jadwal pentas saat itu, maka atas dasar kesepakatan bersama seluruh pengurus Grup Sari Murni, didirikanlah Sari Murni unit II pada tahun 1984 di Desa Pandanwangi. Hingga akhirnya, melebur kembali menjadi Sari Murni sampai hari ini, dan memiliki anggota sebanyak 80 orang yang terdiri dari beberapa kabupaten/kota lain, seperti Blitar, Kediri, Mojokerto, Sidoarjo dan Malang.”



Kendati hari ini aktivitas berkeseniannya meski terhenti akibat gelombang pandemi, Cak Tik, sapaan akrabnya, tidak putus asa. Nanar matanya begitu menyala, saat menegaskan sikap yang mesti diambil para seniman seni pertunjukkan, ketika menghadapi kondisi runyam saat ini. Menurutnya, momentum saat ini menjadi cambuk pelecut kreativitas para pelaku seni pertunjukkan, supaya mengemas pertunjukkan semenarik mungkin dengan durasi yang tidak terlalu lama.

“Selaiknya sebagai seorang seniman semuanya harus mulai belajar, untuk mengemas pertunjukkan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Tujuannnya tidak lain agar seni pertunjukkan, khususnya Ludruk yang menjadi ciri khas Jombang, tetap lestari. Misalnya, jika durasi pertujukkan semula sebelum pandemi, bisa sampai tengah malam, maka hari ini bisa dipadatkan menjadi dua atau tiga jam saja. Saya kira ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh seluruh pelaku seni pertunjukkan,” tandasnya.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Profil Tajuk Sutikno

Lahir : Jombang, 27 April 1953

Usia : 68 Tahun

Prestasi : Juara III Nasional Ludruk Terbaik Tahun 1992, dalam Pertunjukkan Seni

Rakyat, oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia.

Lebih baru Lebih lama