Purwanto


Purwanto*

--Prolog--

Pembacaan saya pada teks-teks Jawa yang berisi ajaran tentang budaya Jawa masih sangat sedikit. Demikian juga petuah-petuah lisan dari orang tua --dan para guru ketika masih sekolah-- belum banyak saya dapat. Tetapi berdasarkan bekal yang terbilang minim ini saya semakin tertarik pada kebudayaan Jawa yang seharusnya benar-benar saya ugemi (pegang teguh). Tulisan singkat ini saya persembahkan kepada orang tua dan seluruh guru saya, khususnya yang telah membuka kesadaran tentang pentingnya menjadi manusia Jawa yang Njawani. Betapapun menyadari banyak sisi dari dunia Jawa yang menarik, ada satu hal dari Jawa yang saat ini begitu menggelitik dan masih sering menjadi perdebatan di berbagai kalangan, yaitu tentang ajaran kebatinan.

--Kebatinan Bagian dari Kekayaan Jawa--

Dunia batin (baca: kebatinan) orang Jawa dalam beragam konteks sering kali diartikan sebagai suatu hal yang bersifat mistis, ganjil, gaib, dan bahkan sesat. Tak jarang bermacam pernyataan tentang kebatinan bermunculan; bahwa kebatinan identik dengan klenik atau takhayul, kebatinan identik dengan aliran hitam. Pernyataan-peryataan seperti ini sebenarnya sangat mengganggu ketentraman pikiran saya sebagai orang yang terlahir di tanah Jawa. Walaupun sangat sulit memahami secara menyeluruh tentang hakikat konsep kebatinan Jawa (sulit membatasi pengertiannya), untuk memperjelas persoalan ini setidaknya harus ada bukti konkrit yang menguatkan pernyataan di atas benar atau malah sebaliknya; salah. Dalam hal ini perlu adanya penjelasan-penjelasan logis tentang kebatinan agar bisa dimaknai secara lebih objektif.

Kebatinan secara mendasar sebenarnya tidak hanya sekadar kristalisasi dari nilai-nilai spiritual dan intisari pengalaman hidup orang Jawa, namun juga sebagai representasi jalan pencarian jati diri (yang bermuara pada pencerapan makna eksistensi manusia sebagai manusia, manusia sebagai makhluk di tengah semesta, dan manusia sebagai makhluk di hadapan Tuhannya). Oleh Panca Dahana, hasil pencarian ini disebut sebagai penemuan filosofis (philosophical discovery). Dengan kata lain bahwa kebatinan layak disejajarkan dengan ilmu filsafat. Lebih tepatnya bisa disebut sebagai salah satu aliran filsafat, bahkan falsafah Jawa ini sudah mencapai puncaknya yaitu sudah menyentuh pada kearifan tertinggi (memasuki ranah pemahaman tentang jati diri manusia dan hakikat Ketuhanan).

Kebatinan dalam khasanah kebudayaan Jawa sering juga disebut sebagai ajaran kejawen, karena memang berasal dari ajaran leluhur Jawa. Kata Jawa sendiri konon memiliki makna “mengerti”. Secara terminologi bahasa kata kejawen bisa bermakna segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan adat dan kebudayaan Jawa. Jika dihubungkan antara kedua istilah tersebut (Jawa dan kejawen) maka terdapat satu gambaran tentang kejawen yang lebih cenderung bermakna “mengerti tentang segala hal yang berhubungan dengan kejawaan”. Dengan demikian titik temu antara kebatinan, kejawen, dan manusia Jawa berada pada lingkup pemahaman manusia Jawa terhadap kejawaan secara menyeluruh, termasuk memahami dunia batinnya sebagai warisan filsafat Jawa.

--Laku Batin Lebur dalam Dimensi Hidup--

Manusia Jawa diberi anugerah kerangka bernalar yang khas sehingga sangat perhatian terhadap semua yang ada pada diri dan sekitarnya. Menelusuri diri sendiri menggunakan jembatan perenungan dengan batin telah dijalani oleh para leluhur untuk menjadi manusia sejati yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga bagi semesta. Sebagai gambaran singkat telah dijelaskan oleh Endraswara bahwa kebatinan diidentikkan dengan diam. Diam dianalogikan dengan batu. Keterkaitan antara diam dan batu seolah tak bisa dilepaskan karena sifat diam yang dimiliki batu menjadi ilham pendalaman batin manusia Jawa. Proses diam (bisa berarti; bermenung, mengheningkan cipta, tafakur, semedi, meditasi, dsb.) inilah yang akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Jika boleh diumpamakan; aneka pualam dan emas pun terdapat dalam batu yang diam. Batu selayak dengan ketenangan. Ketenangan yang tetap ada dan atau mengada.

Seperti yang telah dibahas dalam banyak kajian, bahwa konsepsi ajaran dari tanah Jawa ini tidak serta merta hadir tanpa dasar-dasar yang jelas. Bagaimana bisa dianggap sebagai sesuatu yang klenik jika yang diajarkan adalah permenungan untuk tata laku menuju kesempurnaan hidup. Tata laku itu terbaca jelas dalam petuah-petuah (lisan dan tertulis) yang dianggap sebagai tolok ukur ajaran kebatinan. Semua ajaran itu selanjutnya dirumuskan secara bijaksana untuk menyeimbangkan setiap tindakan dengan seluruh unsur kehidupan. Penegasannya terletak pada; hidup tidak untuk diri sendiri tetapi keteraturannya berhubungan dengan kehidupan sosial, tata krama diri, hubungan orang tua dan anak, ilmu pengetahuan, norma-norma, keberagamaan/ religiusitas, dan spirit hidup. Kesekian persoalan tersebut oleh leluhur Jawa dirumuskan juga pemecahannya. Betapa semua itu hanya dimaksudkan untuk satu tujuan mencapai kesempurnaan; yaitu menuju Tuhan. Untuk bisa mencapai tujuan itu, tentu saja manusia Jawa tidak bisa dipisahkan dari lika-liku laku batin.

Laku batin manusia Jawa tidak bersifat kaku hanya untuk kalangan tertentu, namun lebih bersifat universal (bisa diterapkan oleh semua elemen masyarakat; tidak memandang perbedaan agama). Hal ini bisa dicermati pada ajarannya yang memang menggiring manusia agar memiliki kejernihan hati dalam menjalani hidup. Perkara individu penganut agama apa pun yang menerapkan ajaran leluhur ini biasanya melakukan penyesuaian dengan sudut pandang masing-masing tanpa mencederai aturan agamanya. Sebagai contoh ajaran tentang kejawaan itu secara turun temurun memiliki dinamika kesejarahan yang unik karena diajarkan oleh para leluhur dengan latar belakang zaman dan keberagaman agamanya. Pada masa kejayaan Hindu-Budha sebut saja tokoh ternama bernama Empu Kanwa dan Empu Tantular dengan karya besarnya yang memberi ajaran untuk keluhuran budi. Pada masa masuknya Islam di tanah Jawa terdapat nama-nama tokoh seperti Yasadipura I, Yasadipura II, Paku Buwana IV, R. Ng. Ranggawarsita, Mangku Negara IV, sampai pada Ki Ageng Suryamentaram yang mengajarkan laku hidup menuju kesempurnaan.

Para leluhur tersebut di atas dalam menyebarkan ajarannya memiliki kemiripan antara satu dengan yang lain (dengan esensi tujuan yang sama), bahkan beberapa tokoh di antaranya semacam melakukan penegasan ajaran pendahulu dengan cara yang berbeda. Kesengajaan itu dimaksudkan agar bisa diterima oleh masyrakat di zamannya. Hal ini bisa dilihat dari sebagian ajaran yang didokumentasikan dalam bentuk tulisan (misal dalam bentuk syair bercerita; Kakawin Arjunawiwaha, Sutasoma, Macapat Dewa Ruci, prosa; Serat Wirid Hidayat Jati, dan syair-syair pandangan hidup; Kalatidha, Wedhatama, Wulangreh). Ajaran-ajaran itu seolah lebur dalam laku hidup dan terintegrasi dengan laku batin yang berkutat pada usaha pemecahan persoalan sangkan paraning dumadi (awal-akhir alam semesta), sangkan paraning manungsa (awal-akhir manusia), dumadining manungsa (pencipataan manusia) yang berakhir pada kesimpulan Tuhan sebagai awal-akhir segalanya.

--Laku Batin dan Implementasi Proses Menuntut Ilmu--

Jika dibaca dan dicermati, ajaran dari tanah Jawa ini memang harus dimaknai secara bijaksana, bukan dengan cara yang “semena-mena”. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan tafsir yang terlalu jauh. Untuk mencapai pendalaman dan pemaknaan optimal pada ajaran-ajaran ini secara sistematis orang Jawa telah mengenal sebuah tahapan proses pencarian yang biasa dikenal dengan istilah ngelmu. Kata ngelmu ini tidak bisa secara harfiah dimaknai hanya sebagai ilmu pengetahuan. Jika pengertian ilmu menurut bahasa berarti pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu, maka ngelmu adalah proses panjang melakukan sesuatu untuk mencapai penguasaan optimal terhadap ilmu itu. Dalam pengetahuan jarwadhosok (memaknai istilah, mirip dengan uthak-athik mathuk namun lebih terhubung dengan prasangka baik), ngelmu diartikan angel yen durung tinemu (susah jika belum mendapatkan). Ngelmu tidak hanya mengandalkan logika-logika dan kecerdasan, tetapi juga melibatkan hati (intuisi). Secara kompleks ngelmu bisa dipahami seperti ajaran Mangku Negara IV yang termaktub dalam Serat Wedhatama bagian tembang Pucung, berbunyi sebagai berikut:

Ngelmu iku,

kalakone kanthi laku,

lekase lawan kas,

tegese kas nyantosani,

setya budya pangekese dur angkara.

Terjemahan bebasnya:

(proses mencari) ilmu itu,

Hanya dapat dicapai/ dikuasai dengan laku (sesuai dengan teori yang diajarkan dan harus dipraktikkan)

Laku itu harus disertai kemauan yang tulus/ bersungguh hati,

Yang terpenting keteguhan iman menghadapi semua godaan,

Menjauhkan sikap laku yang serba negatif.

Kompleksitas ngelmu diurai dengan sederhana dalam kutipan di atas dengan mengarah secara langsung pada implementasi nyata. Tujuannya untuk menjelaskan kronologi langkah yang harus ditempuh dalam memaknai hakikat ilmu dan perjalanan menuntut ilmu. Jika ingin mendapat pencapaian ilmu yang maksimal, proses ngelmu tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan perbuatan. Sedangkan perbuatan harus disertai dengan kemauan yang tulus dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak terpuji. Perbuatan yang dimaksud adalah perwujudan dari laku (termasuk laku batin). Laku batin yang diharapkan bisa memupuk keteguhan iman dalam menghadapi semua godaan dalam perjalanan mencapai tujuan. Dengan berpegang pada aturan main ini (tidak keluar dari koridor ngelmu dan laku yang baik), sesungguhnya sulit terjadi penyimpangan-penyimpangan pemahaman terhadap ajaran Jawa. Bahkan cenderung lebih bisa dengan cermat dan hati-hati menimbang tiap ajaran itu agar sesuai dan berjalan penuh harmoni dengan keyakinan atau agamanya.

Syahdan, di era yang semakin modern seperti saat ini tak bisa dielakkan bahwa ajaran-ajaran luhur kejawaan telah benar-benar teralienasi, tersisih dan kehilangan makna. Namun demikian, dengan segala keterlambatan kesadaran, saya masih bersyukur karena terlahir di tanah Jawa dan pernah sedikit tersentuh oleh ajaran-ajarannya. Dengan sepenuh keyakinan berharap tulisan ini bisa sebagai sarana publisitas untuk menengok ajaran Jawa dari sisi yang lebih objektif. Dimulai dari penghayatan yang benar tentang ajaran Jawa dan usaha penerapannya yang sesuai dengan kebenaran-kebenaran yang telah ditemukan. Setidaknya harapan ini bisa memulihkan kembali ketentraman saya seperti masa kanak-kanak dulu saat mendengar suara ibu yang menembangkan syair sebelum tidur;

Turu-turu. Badan turu ati muji.

Muji ing ngarsane Gusti Kang Maha Suci.

Iyun-iyun. Iyun badan, sing diiyun susahing ati.

Nora ana tamba.

Kejawi salat, istighfar,

lan salawat dumateng Kanjeng Nabi.

Terjemahan bebasnya:

Tidur-tidur. Tubuh tidur hati memuji.

Memuji di hadapan Tuhan Yang Maha Suci.

Ayun-ayun, Mengayun tubuh, yang diayun gelisah hati.

Tiada obat apapun.

Kecuali menjalankan salat, beristighfar (mohon ampun),

dan bersalawat kepada Baginda Nabi.

*) Aktif di Kelompok Alief Mojoagung, LPU Al-Ikhsan dan Sanggar Belajar Sama-sama Saat ini bertempat tinggal di purwanto_all@yahoo.com

BIODATA SINGKAT PENULIS

Nama : Purwanto

Tempat/ Tanggal Lahir : Jombang, 02 Maret 1984

Jenis Kelamin : Laki-laki

Nomor HP : 085 655 200 073

e-mail : purwanto_all@yahoo.com

no. rekening BNI : 0369934588

Alamat Rumah : RT 02 RW 01 Dusun Winong Timur

Desa Karangwinongan

Kec. Mojoagung Kab. Jombang 61482

Lebih baru Lebih lama