Nampak depan keasrian rumah yang didominasi cat hijau. Begitu bersih dan terawat. (donny)


JOMBANG – Hingar bingar kepadatan di Jalan Kusuma Bangsa yang tiap harinya sebagai jalan poros serta alternatif para pelajar maupun pekerja kantoran berangat dan pulang tak terdengar di rumah masa kecil Suwarni. Perempuan 62 tahun ini menghabiskan waktu kecilnya di rumah bergaya kolonial Belanda di Gang Pulo Tawangsari, RT 06 RW 03.

Suwarni yang merupakan cucu Mbah Kaminah sang pemilik rumah terdahulu, yang kini sudah dimiliki dan ditempati Farokah. (donny)

Diceritkan oleh Suwarni, dulunya dia tinggal bersama almarhum nenek, ibu, dan kakaknya. Tak tahu pastinya kapan dibangun rumah tersebut. Namun yang pasti sejak dia dilahirkan pada tahun 1959, rumah dengan pilar-pilar kokoh khas era kolonial itu sudah ada.

Rumah yang kini bercat hijau merupakan warisan dari leluhurnya. Dia masih sempat mengetahui ketika rumah itu ditinggali oleh neneknya Mbah Kalimah yang seorang tukang pijat tradisonal. Juga memelihara sapi serta ayam di pekarangan sisi Timur. Sementara gabah hasil pertaniannya yang dikerjakan orang lain, disimpan di teras rumah.

“Masih segar di ingatan saya, halaman rumah yang luas ini dulu dimanfaatkan sebagai peternakan kecil dan tempat penyimpanan gabah,” ungkap perempuan berhijab ini.

Delapan pilar penyangga rumah yang sudah di renovasi oleh keluarga besar Farokah pada beberapa dekade silam. (donny)

Dilanjutkan oleh Suwarni, bahwa rumah yang kini bercat hijau merupakan warisan dari leluhurnya. Dia masih sempat mengetahui ketika rumah itu ditinggali oleh neneknya Mbah Kalimah yang seorang tukang pijat tradisonal. Dahulunya Mbah Kalimah selain menerima pasien yang hendak dipijat, juga menyempatkan memelihara sapi serta ayam di pekarangan sisi Timur. Sementara gabah hasil pertaniannya yang dikerjakan orang lain, disimpan di teras rumah.

Baca Juga: PIGP Menuju Guru Profesional

Sementara itu diungkapkan pemiliknya sekarang, Kalami yang tinggal tepat di sebelahnya. Dia membelinya dari Bidan Faroka di awal 2000-an, yang sebelumnya juga memilikinya setelah dijual oleh cucu Mbah Kalimah. Saat ini rumah tersebut semakin terawat dengan baik, dari sisi luar terlihat bersih dan demikian pula di bagian dalamnya.

Beranda belakang rumah yang masih terawat. Terlihat dua tiang penyangga yang kokoh dan tidak mengalami renovasi. (donny)

Kalami mengatakan, “Sejumlah renovasi dilakukan. Baiknya tak sampai mengubah struktur dasar bangunan. Sekadar memperbaiki supaya tak lapuk dimakan usia. Selain itu juga mengganti bahan-bahan utama bangunan yang dirasakan sudah tak cukup kuat sekarang ini. Selaiknya pilar utama diperkuat secara permanen. Saya memulainya pada tahun 2010 dan sengaja tak mengubah susunan awal rumah ini.”

Lekukan dinding yang ikonik, menjadi ciri khas arsitektur budaya indis pada masa Hindia-Belanda. (donny)

Sekarang di tangan Kalami rumah dengan enam pilar utama di depan ini dimanfaatkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Dari balai pertemuan, arisan, hingga Posyandu pun disilakan.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama