Suasana ketika moderator, narasumber, dan, pemantik diskusi saling mengemukakan gagasannya. (donny)


MOJOAGUNG – Ilustrasi ibarat sebuah bahasa untuk menyampaikan pesan, begitupula dengan puisi. Di tangan Mutiara Adiparamytha keduanya berhasil ditautkan secara elok. Bait serta penggalan rima dari puisi Sapardi Djoko Damono, diolah kembali dengan ditambahkan pelbagai ilustrasi. Karya yang sudah dilahirkan oleh perempuan kelahiran Mojoagung tersebut, juga tidak terlepas dari statusnya sebagai mahasiswi aktif di Prodi Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Dijelaskan oleh Muti, sapaan akrabnya, saat menjadi narasumber utama dalam diskusi bertajuk Bincang Proses Kreatif Ilustrasi Desain Puisi Sapardi Djoko Damono atau SDD (27/6) di Mojag Coffe Mojoagung. Bahwa kumpulan sajak dari SDD sengaja dipilihnya, sebab tidak terlalu panjang untaian katanya.

“Jika naskah yang digunakan sebagai bahan dasar ilustrasi cukup panjang, maka tidak akan mendapat ruang. Karena dalam karya saya ini, mengutamakan pengejawentahan makna puisi dari SDD,” ujar Mutiara Adiparamyhta.

Jika sebuah foto bisa menjelaskan sejuta kata, maka karya ilustrasi bisa melampauinya. Ini tidak terlepas dari dari banyak latar belakang yang turut mengikuti perjalanan lahirnya sebuah karya ilustrasi.

Ditambahkan perempuan berkamacata ini bahwa proses yang dibutuhkan dalam membuat ragam ilustrasi dari puisi SDD memakan waktu satu setengah bulan. Kurun waktu tersebut lebih banyak habis untuk menggali dan menentukan konsep dasar dari ilustrasi. Pasalnya, karya yang lahir dari tugas kuliahnya ini mesti melewati beberapa revisi dan masukan dari para dosen mata kuliah bersangkutan.

Bertindak sebagai narasumber pembanding MS. Nugroho, pegiat dunia sastra di Kota Santri mengatakan, karya Mutia Adiparamytha dari segi teknik sudah cukup familiar, terlebih pada konteks dewasa ini. Dari sisi teknik manual, digital, drawing, painting, maupun fotografi. Akan tetapi dari keseluruhan ilustrasi masih dominan berkiblat pada visualisasi gaya Eropa dan masih minim eksplorasi gaya lokal serta kepribadian diri.

Baca Juga: SMP Negeri 6 Jombang Konversi Pembelajaran Hingga Kurir Tata Tertib

“Melalui beberapa ilustrasi bergaya surealis, dia pun mampu menerjemahkan gaya puisi SDD yang terkenal memiliki daya imaji sendiri. Sehingga ada semacam koherensi antara teks dan visual,” tembah MS. Nugroho yang juga merupakan guru di SMP Negeri 3 Peterongan.

Narasumber pembanding kedua, Arief. F. Budiman yang sudah malang melintang dalam jagad desain grafis di Jombang ini menuturkan, karya Mutia Adiparamytha sudah cukup baik dan berimbang jika disejajarkan dengan prosesnya. Baik deadline maupun beberapa revisi yang mesti dilalui. Termasuk unsur pembangun di dalamnya.

“Jika sebuah foto bisa menjelaskan sejuta kata, maka karya ilustrasi bisa melampauinya. Ini tidak terlepas dari dari banyak latar belakang yang turut mengikuti perjalanan lahirnya sebuah karya ilustrasi,” tutur pria yang gemar bersepeda ini.

Koordinator acara sekaligus pegiat literasi Mojag Coffe, Muhammad Mansur ketika ditemui di sela diskusi. (donny)

Diskusi berjalan semakin menarik, karena dalam suasana pandemi, semua yang hadir memenuhi standar protokoler kesehatan. Di penghujung acara, salah seorang peserta diskusi mengajukan pertanyaan terkait ilustrasi dalam puisi bertema sosial politik, seperti karya WS. Rendra dan Wiji Thukul.

Tidak menunggu lama, MS. Nugroho menimpali pertanyaan tersebut. Baginya puisi bertema sosial atau dalam istilah puisi transparan juga tidak ada permasalahan jika divisualkan secara realis. Berbeda dengan MS. Nugroho, Arief F. Budiman, berpendapat dalam memvisualkan puisi realis terdapat dua parameter, yakni seni dan pesan sosialnya. Sehingga ketika akan diilustrasikan keduanya memiliki porsi berimbang.

Reporter/Foto: Donny Darmawan

Lebih baru Lebih lama